Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rainaylnaAvatar border
TS
rainaylna
Nyawa (Santet Pembawa Kematian)



"Shhh, sa-kit!" Seorang pria tengah meringkuk di balik jeruji besi, memegangi perut. Dia beranjak mendobrak-dobrak besi, memanggil polisi yang bertugas.

"Saya mau ke toilet."

Polisi ini memberi tatapan tak sedap. Memutar bola mata dengan sebal.

"Cepat, Dana! Saya sibuk. Kau ini sudah berapa kali ke toilet. Merepotkan, saja!" Pria berseragam dengan raut sebalnya membuka pintu penjara. Menggiring tahanan menyebalkan ini menuju toilet.

Dana memasuki toilet dengan sedikit meremas perut. Terlalu sakit di bagian dalam sana. Seolah sedang ditusuk-tusuk sesuatu. Pria bermuka codet dimana-mana ini menjongkokan diri. Tapi tidak ada kotoran yang hendak keluar satu pun.



"Rasakan itu, pria sialan!" ejek seorang lelaki berusia enam belas tahun. Dia tengah terduduk di kamar panti asuhan.

"Kak Dito! Mainin boneka terus. Ayo, main sama, Nia." Seorang gadis kecil langsung menarik tangan bocah lelaki yang tengah menjamah sebuah boneka.

Dito mengangguk mendengar permintaan adik tersayangnya. Menaruh boneka tadi pada meja belajar.



"Sudah?" Lelaki berseragam memastikan keadaan Dana. Mukanya tampak pucat. Dia hanya menjawab dengan anggukkan.

"Eh, Dana. Jika kau sakit katakan saja. Aku akan membawamu ke dokter," ujar polisi yang mengantar Dana. Dia tidak tega melihat keadaannya. Ya, hukuman serta pukulan yang membekas pada muka Dana dan juga tubuhnya, sudah cukup memberi pelajaran pada Dana akibat ulahnya.

Lelaki berparas tegas ini hanya mengangguk mendengar perkataan polisi yang bertugas. Memasuki sel kembali, merebahkan diri.



"Kak Dito, Nia lapar.' Gadis cilik berambut ikal menarik ujung baju Dito.

Dito menggiring Nia menuju dapur. Beberapa anak berpapasan dan bertukar sapa dengan mereka. Tinggal di panti asuhan bukanlah hal yang menyulitkan. Hanya perlu waktu saja.

Seperti Dito yang memerlukan waktu begitu banyak untuk mengingatkan adiknya Nia, bahwa mereka hanya tinggal berdua. Tidak ada orang tua.
Nia hanya mendengar ibu dan bapak sudah pergi, ibu pergi ke tempat yang indah serta menenangkan.

Dito harus menjelaskan secara perlahan agar tidak menyakiti hati Nia, dia tidak ingin membuat adik kecilnya bersedih. Pria beranjak remaja ini pun mencari pelampiasan dari kesedihan serta rasa sakit atas kepergian sang ibu.

Tangannya menggenggam sebuah boneka. Boneka yang tampak usang dan mengerikan di mata adik kecilnya. Setelah mengantarkan Nia, dia merebahkan diri di atas kasur.
Paku yang tergeletak pada meja diraihnya. Bibir Dito tersenyum kecut.

"Dasar biadab!" maki Dito perlahan. Tangannya bergerak, paku ditusuk-tusukkan pada bagian kepala boneka.



"Argh!!!" Dana mengerang. Kepalanya berdenyut-denyut. Seolah sebuah paku menusuk tiap bagian kepala.

"Sa-kith …." Pria bermuka codet ini, meremas rambut. Sesekali menjambak penuh tenaga. Berharap rasa sakitnya hilang saat itu juga.

"Heh, Dana. Ada apa denganmu?" Salah satu teman selnya risau melihat tingkah Dana. Keningnya berkerut. Heran.

"Kepala-ku, sakit." Tidak tahan lagi. Lelaki ini memukul-mukul kepala dengan kasar. Gigi-giginya bergemelutuk.



"Pasti sakit, ya?" Dito berceloteh sembari memerhatikan boneka dan tangannya yang terus menghujamkan paku. "Rasakan itu, sialan!" Matanya menembus jendela kamar. Mengingat kejadian gila itu.



"To-long!" Napas Dana terengah-engah. Tak kuat menahan rasa sakit, pria ini membenturkan kepal pada tembok. Temannya segera menarik tubuh Dana. Berteriak minta tolong pada petugas.

"Ada apa ini?"

"Dana sakit kepala. Dia membenturkan kepalanya ke tembok, tadi."

Petugas ini segera membuka sel. Menarik Dana dan membawanya ke tempat kesehatan.



"Kak Dito kenapa main boneka terus?" tanya Nia. Dito hanya membalas pertanyaan dengan senyuman serta gelengan kepala.

"Nia, tidur, ya. Sudah malam," perintah Dito. Adik kecilnya menjawab dengan anggukan. Menaiki kasur dan mulai memejamkan mata.

Dito menunggu malam semakin larut, serta tidur Nia semakin lelap. Bocah ini mengendap-ngendap keluar dari panti. Berusaha mengunjungi seseorang, rumahnya tidak terlalu jauh dari panti. Hanya berkisar 20 langkah, saja.

"Anakku, bagaimana kabarmu, Dito?" Pria berpakaian serba hitam merentangkan tangan, menyambut kedatangan Dito. Keduanya berpelukkan.

"Dito, baik, Mbah."

Pria ini yang telah membawa Dito dan Nia ke panti asuhan. Rumahnya terlalu sempit jika ditinggali dua bocah. Hanya muat untuk diri sendiri.

"Bagaimana? Kamu suka boneka itu?"

"Suka. Tapi sayang, Dito tidak bisa melihat dia menderita."

Pria ini tersenyum. Dirinya menundukkan diri di balik meja. Menatap air dalam wadah, bibirnya komat-kamit, kemudian menaburkan bunga tujuh rupa di atasnya.

"Dia menderita, Dito. Sini, Nak! Lihat ini!" Pria tua menunjukkan sebuah kilasan gambar pada permukaan air. Dito merasakan kepuasan, sekaligus keperihan pada dirinya.

"Pilihan kamu tepat, menyiksa dia seperti ini," puji si Mbah.
Dito hanya mengangguk. Hati kecil dia sebenarnya menolak, tapi bagaimana pun pria itu perlu diberi pelajaran.

"Kamu lakukan saja. Biar dia menderita. Seperti apa yang telah dilakukannya. Oh ya, besok malam kamu harus datang kemari. Ada yang ingin aku sampaikan." Si Mbah berucap, jemarinya menaburkan sesuatu ke atas air tadi. Dito kembali mengangguk.

Si Mbah meraih sebuah gundukkan kain lusuh di pinggir meja. Menggesernya ke hadapan Dito.

"Gunakan ini, jika kamu mau membunuhnya sekaligus. Baca mantra di dalamnya. Tusukkan benda itu pada bagian jantung boneka."

"Dito, tidak tahu, Mbah."

"Bunuh saja. Dia sudah membunuh ibumu juga kan? Nyawa pantas dibalas dengan nyawa," hasut pria tua, bibirnya tersungging senyuman pekat.

Lelaki baru beranjak remaja ini menatap kosong. Kilasan-kilasan menyakitkan kembali terulang. Rasa sakit kembali menjalar. Api kebenciannya mengamuk dan memberontak.

Gadis bermanik sendu, memerhatikan berapi-api. Sesekali gurat mukanya menahan rinai pada pelupuk mata. Hidungnya kembang kempis mengubur sakit yang perlahan mengikis diri.

"A-aku minta maaf, Naya. Aku khilaf."

Perempuan bernama Naya menghunuskan tatap pada pria di hadapannya. Jiwa serta logikanya terasa ingin meledak. Mencakar tiap rasa sakit yang baru saja hadir.

"Kasihan anak-anak. Aku minta maaf."

Tidak tahan. Naya mengangkat tubuh, berdiri tegap. Meremas jemari begitu kuat. Satu tarikan napas, perempuan ini meledak, melawan gemuruh badai di bawah langit rumah tangga.

"KASIHAN KATAMU? BAJINGAN! baik! TIDAK USAH SOK PEDULI DENGAN ANAK-ANAK! KAU HANYA MEMENTINGKAN NAFSUMU." Naya melemparkan vas yang sejak tadi hanya bertengger di atas meja.

Pria itu menggeser tubuh, menghindari amukkan wanitanya.

"Maaf, Nay. Aku tidak sengaja."

Naya tidak habis pikir. Pupil hitamnya melotot. Api kebencian semakin meradang menjalari lorong hati, padahal dulu di sana tempat kesejukan serta kehangatan tumbuh. Tapi, kini sudah luntur, bahkan luluh lantak sejak dua jam lalu.

"BAGAIMANA BISA KAMU BERKATA BEGITU, MAS? TIDAK SENGAJA? TIDAK SENGAJA KATAMU, MAS DANA? IYA?" Naya mengangkat lampu tidur. Melemparkannya pada lelaki itu. Telak! Lampu mengenai wajah si pria, dia menggaduh. Memegangi muka sembari meringkik kesakitan. Darah mengucur dari wajahnya.

"Kurang ajar kau, Naya!"

Naya mundur perlahan, pria itu melangkah sembari menahan rasa sakit, penglihatan buram berusaha menangkap Naya. Dia mempercepat langkah, tangan kanan terangkat. Tangan kirinya memegangi bahu Naya.

Plakk

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kuning langsat Naya. Perempuan ini meringis. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Hujan yang sejak tadi ia tahan, turun begitu deras. Menghantam putihnya keramik bersamaan dengan cairan merah dari keduanya.

Yang sakit saat ini bukan hanya segumpal daging perasa, melainkan fisik Naya. Dunianya telah hancur dan tiada. Tusukan tombak dari belakang selalu membunuh perlahan dan menyakitkan.

"Kak Dito, bapak sama ibu kenapa?" Seorang gadis kecil menyuguhi tatap berembun pada sang kakak. Tangan mungilnya memeluk hangat boneka barbie.

Dito memeluk sang adik. Mengusap ari matanya. Dia tahu adik kecilnya ketakutan mendengar teriakan itu.

Mereka berada di depan pintu kamar, mencuri dengar kegaduhan di dalam sana. Dito memejamkan mata, berusaha menahan tangis. Bocah laki-laki berusia lima belas tahun ini menempelkan gigi begitu kuat. Jemarinya mengelus rambut sang adik, tanpa tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa memberikan sedikit kehangatan ditengah kengerian ini.

Dia ingin menangis dan meneriaki takdir. Padahal, bocah ini senang sekali berada di keluarga ini. Hangat.

Tapi, sejak beberapa hari lalu. Saat, Dito melihat perubahan yang begitu mencolok dari sang ibu, rumah sederhana terasa dingin dan mencekam. Puncaknya malam ini. Teriakan-teriakan mengerikan keluar dari mulut sang ibu. Suara tamparan, isak tangis memenuhi keheningan malam.

Naya mengeluarkan rasa sakitnya sembari sesegukan. Amarah Dana semakin memuncak setelah merasakan rasa sakit yang semakin menjalari pada mukanya. Pria ini beranjak, mengambil sebuah pisau pada laci.

Naya menatap ngeri sekaligus tak percaya. Pria itu perlahan mendekati perempuan di sudut kamar.

"Tidak, Mas," ucap Naya. Kelimpungan. Dia menarik tubuh semakin rapat pada tembok.

"Kamu tidak mau memaafkan aku kan? Kamu tidak dapat memuaskan aku, Naya. Aku butuh perempuan itu. Ini salahmu juga. Kau harus mati!" Dana menyeringai di balik luka wajah.

"Tidak! Jangan bunuh aku!" Naya berteriak.

Dito seketika langsung terperanjat.

"Nia, tunggu di sini, ya." Dito melepas pelukan pada adik kecilnya. Dirinya langsung membuka pintu kamar.


"Bapak! Apa-apaan ini? Jangan sakiti, Ibu!"

Dana menyambut perkataan itu dengan tatapan tak peduli. Seolah jiwa baiknya telah hancur ditelan kegelapan.

"Bagus kamu di sini. Saksikan ibumu mati." Dana berucap sembari melangkah pada Naya, tangannya menggenggam pisau begitu kuat.

Akalnya telah hilang. Dia menjambak Naya. Perempuan tersakiti ini hanya pasrah, tubuhnya terlalu lemah untuk beranjak. Rasa sakit pada hati melumpuhkan jiwa serta raganya. Dana menusukkan pisau tepat pada jantung Naya. Dito hanya bisa diam. Menyaksikan. Tanpa berbuat apa-apa. Hatinya remuk bahkan hancur lebur.

"Per-gi, Nak …." ujar Naya didetik terkahir nafasnya pada Dito. Matanya sayu dan mulai meredup.

Bocah lelaki ini langsung beranjak setelah mendapati tatapan tajam bapaknya. Tangan Dito cekatan mengambil salah satu foto, untuk dijadikan kenang-kenangan. Setalah itu, dia segera menarik sang adik pergi dan berlari dari rumah yang dulu hangat, menjadi panas terbakar api.


Kilasan berakhir, Dito menarik gundukkan kain. Berpamitan pada si Mbah. Sampai di kamar panti, dia langsung memejamkan mata, menembus alam mimpi.



"Masih sakit, Dan?" Polisi yang berajaga menatap Dana. Kemarin kesakitan, hari ini biasa saja. Aneh. Pria yang ditanyai menggeleng.

"Aneh, kau ini sering kesakitan tidak jelas. Dokter yang memeriksa perut dan sakit lainmu pun, tidak menemukan ada penyakit pada tubuhmu." Teman sel Dana yang berambut panjang berujar. Memerhatikan Dana dengan saksama.

"Tidak tahu, sakit kepala dan sakit perut yang aku rasakan seperti ditusuk-tusuk sesuatu. Sakit sekali," tutur Dana. Penglihatannya menerawang penuh tanda tanya.


"Kak Dito mau main boneka lagi?" tanya Nia. Mata bulatnya mengerjap-ngerjap memerhatikan sang kakak yang tengah menggenggam boneka. Dito mengangguk.

"Ya, sudah. Nia main di luar, dahhh kak!" Nia berlari ke luar kamar.

Dito memulai kembali ritualnya. Paku terangkat, boneka di taruh pada kasur. Amarah yang semalam tertunda meluap-luap. Brutal, remaja ini menusuk sekujur tubuh boneka. Berkali-kali. Tanpa ampun.

Semua pasang mata menatap ngeri pada Dana. Pria dengan codet di muka menggeliat tak karuan. Tangannya memegangi kepala, kaki-kainya menghentak lantai begitu kuat, deru napasnya begitu cepat.
Teriakan kesakitan terdengar di seluruh sudut penjara. Polisi berdatangan menghampiri sel yang terdengar gaduh. Segera mereka memegangi Dana.

"Lepas! Lepaskan! Sakiiit! Sakit! Tolong!" Dana mengerahkan seluruh tenaga untuk terlepas dari genggaman polisi dan rasa sakit.

Dito menghentikan aktivitasnya. Jemarinya membuka bingkisan usang. Terlihat sebuah tulang rusuk tampak kotor. Tanpa pikir panjang. Dito membaca mantra dan menancapkannya pada bagian dada boneka. Darah merembes sedikit dari boneka tadi.

Mata Dana melotot, membeliak. Napasnya tercekat. Seluruh tubuh mengejang. Suara leher yang tercekik keluar dari mulut Dana.

Tiba-tiba tubuhnya lunglai, bersamaan dengan napas yang tiada. Semua yang berada dalam sel tercengang.

"Selesai." Dito menunduk. Merasa sedikit lelah.



Malam mulai menapaki langit. Dito lari tergesa menuju rumah si Mbah.

"Bagus, Dito. Dia memang tidak pantas hidup." Si Mbah mengusap kepala Dito. Dito menyerahkan tulang dan boneka yang telah digunakannya tadi.

"Duduklah. Kamu pasti lelah, Nak," ujar Mbah. Dia beranjak dari tempat duduk, pergi ke dapur.

Dito memandangi boneka yang digunakannya untuk menyantet. Bulir keperihan perlahan turun dari mata. Timbul rasa bersalah secara tiba-tiba.

"Arghhh!" Dito meringis. Sebuah benda tajam telah menusuk lehernya dari belakang. Tangan Dito gemetar merasakan darah mengucur.

"Maaf Dito," terdengar suara Mbah di telinga Dito. Dia semakin bergetar dan terpukul. Dia pikir si Mbah adalah orang baik.


Pikirannya melayang, ia teringat seorang pria tua menyapa serta bertanya padanya dan Nia. Dengan rasa takut Dito memberanikan diri menjawab serta menceritakan seluruh kejadian pahit pada pria ini, yang tak lain adalah si Mbah. Kedua kakak adik diajak mbah pada sebuah panti asuhan. Manis sekali. Dia baik.

Kenangan manis sekaligus menyakitkan ini menjadi pengantar Dito terlelap dari kejamnya hidup. Air matanya meleleh. Teringat Nia, adik kecilnya yang akan hidup sebatang kara.

"Tentu saja, nyawa harus dibalas dengan nyawa. Bayarannya pun harus nyawa. Tidak ada yang gratis. Terima kasih, Dito. Persembahan ini untuk tuanku. Akan membuat ilmuku semakin tinggi." Suara si Mbah menggelegar.


Selesai.

Sukabumi, 24 Juni 2020
Diubah oleh rainaylna 19-07-2020 03:17
KiyudiAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan Kiyudi memberi reputasi
2
592
2
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Supranatural
SupranaturalKASKUS Official
15.6KThread10.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.