Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

vumloAvatar border
TS
vumlo
Angka Kematian Covid-19: Versi Pemerintah Tidak Sesuai Standar WHO


Angka kematian resmi karena Covid-19 lebih kecil dibanding angka kematian sesuai standar WHO. Ini kembali membuka borok sikap tertutup dan gagap pemerintah dalam penanganan wabah.

Pernyataan resmi dari Pemerintah kembali terbukti tak sesuai kenyataan. Pada Senin (20/4/2020) lalu Presiden Joko Widodo membantah tuduhan bahwa Pemerintah menutupi data Covid-19.

Namun, temuan masyarakat dan komunitas media menunjukkan data kematian Covid-19 yang diumumkan Pemerintah tidak sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Panduan WHO menyebut kematian karena Covid-19 dapat diketahui bila pasien meninggal akibat penyakit klinis yang terkait Covid-19. Ini misalnya pneumonia (peradangan paru-paru) dan gangguan pernapasan berat . Gejala pasien meninggal berupa sesak napas, demam, dan batuk berdahak.

Menurut WHO, pihak berwenang mesti mencatat setiap kematian orang terduga dan pasien positif sebagai kematian akibat Covid-19. Sementara di Indonesia, orang yang belum terbukti positif lewat tes PCR tetapi diduga terjangkit Covid-19 disebut Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Kementerian Kesehatan mendefinisikan ODP sebagai orang yang memiliki gejala gangguan pernapasan, tidak menderita penyakit lain yang menimbulkan gejala tersebut, dan pernah berhubungan langsung dengan pasien positif Covid-19. Sementara, PDP memiliki definisi sama seperti ODP dan sudah terkonfirmasi mengidap Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) atau pneumonia berat.

Pasien ODP dan PDP dengan riwayat penyakit jantung, diabetes, dan HIV yang meninggal seharusnya juga dilabeli kematian akibat Covid-19. Pasalnya, banyak bukti menunjukkan Covid-19 meningkatkan risiko kematian penderita penyakit kronis. Di lain sisi, WHO memberi contoh, orang yang meninggal karena kecelakaan bermotor, meski diduga terjangkit Covid-19, mesti dicatat meninggal bukan karena Covid-19.

Mengikuti panduan itu, tim relawan Kawal Covid-19 mengumpulkan data yang menunjukkan jumlah kematian karena Covid-19 jauh lebih tinggi dari angka resmi. Hingga 6 Juli 2020 data mereka menyebut 6.173 PDP dan 434 ODP meninggal karena Covid-19. Hari itu pemerintah mengumumkan pasien positif Covid-19 yang meninggal hanya setengahnya, 3.241 orang. Bila seluruh data digabungkan, angka kematian yang didapat adalah 9.848 orang atau 3 kali lipat lebih banyak dari data resmi.

Jumlah kematian itu kenyataannya masih kalah dibanding angka yang dikantongi pemerintah. Pada 24 Juni di Istana Negara, anggota Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah menunjukkan pasien meninggal mencapai 11.477 orang. Di hari yang sama juru bicara pemerintah Achmad Yurianto mengumumkan kematian karena Covid-19 hanya 2.573 orang. Angka dari tim pakar lebih dari empat kali lipat angka kematian yang diumumkan.

Hingga 3 Juli lalu, majalah Tempo mencatat data kematian karena Covid-19 dari sistem Bersatu Lawan Covid-19 mencapai 13.885 orang. Sistem Bersatu Lawan Covid-19 dibuat oleh Gugus Tugas. Angkanya lagi-lagi lebih dari empat kali angka kematian yang diumumkan.



Tertutup

Pernyataan Jokowi yang menyebut pemerintah tidak pernah menutupi data wabah berkebalikan dengan pernyataannya pada kesempatan lain.

“Memang ada yang kita sampaikan dan ada yang tidak kita sampaikan. Karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarakat," kata Jokowi pada Jumat (13/3/2020).

Evan Laksmana, peneliti Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) menyebut pemerintah mengadopsi pendekatan militeristik dalam penanganan wabah. Perwira aktif dan pensiunan militer di lingkaran pemerintah dianggap berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Di Gugus Tugas penanganan wabah saja ada lima orang tokoh militer, baik pensiunan maupun jenderal aktif, yaitu Jenderal Doni Monardo, Prabowo Subianto, Luhut Binsar Pandjaitan, Fachrul Rozi, dan Moeldoko.

"Ini tipikal cara berpikir militer, sebisa mungkin informasi ditahan dan enggak dibuka. Ini bukan pertimbangan yang tepat dalam kasus public health seperti Covid-19," tuturnya kepada jurnalis ABC Hellena Souisa.

Imbasnya, masyarakat pun menganggap enteng wabah. “Tidak melaporkan kematian, mereka [pemerintah] berarti mengecilkan efek dan skala wabah ini di Indonesia, yang efeknya ya masyarakat pun jadi menggampangkan," kata Elina Ciptadi dari tim Kawal Covid-19.

Ironisnya pemerintah juga memakai pendekatan militeristik untuk menghadapi warga yang membandel. Sejak akhir Mei lalu pemerintah mengerahkan 340.000 personel TNI/Polri ke empat provinsi dan 25 kabupaten/kota “untuk mendisiplinkan warga” menuju “normal yang baru”.

"Dalam menangani masalah ini, pemerintah, termasuk TNI dan Polri, harus tunduk pada otoritas kesehatan. Pemerintah harus memprioritaskan masalah kesehatan, agar krisis sosial ekonomi yang lebih buruk dapat dihindarkan," kata Feri Kusuma dari KontraS.

Kinerja Buruk

Tim relawan Lapor Covid-19 menyatakan, akses data saat ini lebih baik dibanding saat awal pandemi. Namun data mesti dapat dipertanggungjawabkan pula. “Kita harus skeptis pada kualitas data dari otoritas yang sekadar mengintegrasi data dari berbagai sumber, tidak bisa dijamin validitas,” cuit Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono terkait data Gugus Tugas.

Menurut Pandu dalam kesempatan lain, data bisa penuh bias. Bisa saja ada kesalahan dalam pengumpulan data dan pengambilan sampel. Sebab itu keterbukaan diperlukan untuk mendiskusikan data.

“Karena selama ini data tidak dipakai untuk pengambilan keputusan. Tidak dianalisis. Tidak tahu kelemahan data atau dibiarkan saja dan diasumsikan datanya akurat,” kata Pandu. Jika data tidak akurat ini digunakan untuk mengambil kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial, gelombang kedua wabah bisa lebih besar menerpa.

Kritik Pandu ini terkait proses pengetesan spesimen swab. Kapasitas pengetesan Indonesia sudah naik sebulan terakhir. Pada rentang 2-8 Juni 2020, Tim Kawal Covid-19 mencatat rata-rata pengetesan harian adalah 11.366 spesimen. Sedangkan pada rentang 2-8 Juli 2020, rata-rata pengetesan harian mencapai 20.372 spesimen. Peningkatan ini belum mencapai kapasitas maksimal pengetesan yang seharusnya mencapai 30 ribu tes per hari.

Bukan cuma itu. Peningkatan jumlah pengetesan itu tidak menghilangkan keterlambatan (lagging) penggambaran realitas penularan. Masih ada jarak antara waktu pengambilan sampel atau spesimen dengan waktu keluar hasil pemeriksaan.

Jumlah kasus konfirmasi tambahan tidak sama artinya dengan jumlah kasus baru. Angka jumlah kasus harian yang dilaporkan tidak bisa menjelaskan laju infeksi harian pada hari sebelumnya,” tulis sebuah tim pakar kesehatan dan statistik.

Sebab itu, para epidemiologi sejak Mei menyarankan pemerintah membuat kurva epidemi sesuai standar epidemiologi, alih-alih sekadar membuat kurva kasus harian. Kurva epidemi ini lebih dapat diandalkan untuk menggambarkan penambahan kasus dan pembuatan kebijakan.

Penelusuran Majalah Tempo menunjukkan masalah data ini terkait kelambanan kerja Kementerian Kesehatan dalam perbaikan data. Ada pula resistensi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto terhadap upaya integrasi data di bawah Gugus Tugas dan sistem Bersatu Lawan Covid. Menteri Terawan meminta sistem pelaporan kembali berada di bawah Kemenkes. Hal itu mendapat penolakan dari pekerja medis di berbagai laboratorium.

Lebih jauh, kinerja buruk kabinet pemerintah juga bisa terlihat dari pencairan dana insentif pekerja medis yang lamban, bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, kebijakan kartu prakerja yang gagal dan akhirnya dihentikan.

Dengan rekam jejak begitu, wajar bila masyarakat tidak mempercayai pemerintah dan memilih melanggar protokol kesehatan untuk bekerja dan bertahan hidup. Hal itu sayangnya direspon dengan pendekatan militeristik.

Presiden Jokowi menyampaikan kekesalannya terhadap kinerja kabinet dan ketiadaaan “sense of crisis” pada 18 Juni dan kemudian diunggah di kanal Youtube Sekretariat Presiden pada 28 Juni. Ekspresi kesal itu terlambat berbulan-bulan. Namun, hal yang lebih penting ditanyakan adalah bagaimana perbaikan kinerja kabinet ke depan? Atau akankah pernyataan presiden lagi-lagi berakhir sebagai gimik belaka?



Kalau tertarik, baca juga yuk berita politik dan hukum lainnya:

1. Guru Besar UGM Pertanyakan Uji Klinis Kalung Korona Kementan
2. Sosiolog NTU: AS Lebih Transparan Soal Jumlah Kasus Corona
3. Muncul di Mongolia, Dunia Diminta Waspada Penyebaran Virus Pes
Diubah oleh vumlo 09-07-2020 02:43
nomoreliesAvatar border
cleavesAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
1
1.1K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.6KThread41.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.