Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

pionic24Avatar border
TS
pionic24
Penyewekan [Pengasih] Bagian ke-XV Kisah dan Strategi
             “Engken (bagaimana)?, ba ada ne nadi (sudah ada kejadian)?”, lintingan tembakau menyala di mulut tuanya, aku hanya bisa mengangukkan kepala menyetujui tebakanya

                “Ba orahang sing ngugu, (sudah dibilang tidak percaya)”, asap itu kembali mengepul dari kedua lubang hidungnya, aku kehabisan kata untuk bisa mengucapkan sesuatu pada teman ayahku ini.

                “Nah engkenang men (iya mau bagaimana lagi)”, ucapnya pasrah sambil memperbaiki posisi duduk bersilanya diatas tikar pandan.

                “Ki, ngidaang nulungin Yu? (bisa membantu Yu?)”, tanyaku pada orang tua itu, bukannya menjawab dengan kata2 dia malah batuk2 meludah keember plastik di sebelahnya.

                “Sekonden ne misi keneh ne nyakitin sing ja bakal leb luhe ento!, (sebelum puas keinginan yang menyakiti, dia tidak bakal dilepaskan!)”, kali ini Kaki Balian seolah kembali menjadi sosok yang aku kenal, serius dan bijak tidak seperti saat aku dan gadis itu kesini.

                Kembali aku kehabisan kata2 hanya bisa diam menatap kopi hitam yang sudah dingin dihadapanku. Tanganku meraih gelas itu dan memasukan isinya kedalam mulutku, perlahan rasa pahit itu memberikanku sebuah ide.

                “Ki apa bisa rumahnya dia di Sengker (pagar gaib) saja?”, ku utarakan ide ku pada kakek, yang jutru tersenyum menghisap klobotnya.

                “Untuk apa?, percuma saja”, jawabya singkat.

                “Bukannya kalo disengker maka yang menguincar tidak bisa masuk kerumah itu?”, aku mencoba menjelaskan pengetahuan yang aku peroleh dari tutur dimargane (cerita di jalan) itu pada seseorang yang tentunya mengetahui dan menguasai itu secara langsung,

                “Tidak ada gunanya, semua sarana untuk menyakitinya sudah ada dialam pekarangan rumah itu”, ucap kaki balian dengan seolah bisa melihat seisi rumah yang aku maksud.

                  “Yen sengekr patuh dogen ngejang macan di kandang kambinge  (sama saja dengan mengurung harimau didalam kandang kambing) hahaha!”, tawanya justru membuatku bingung mencari cara untuk membantunya.

                “Nden malu, ngudiang saat san Yu nulungin ye? (tunggu dulu kenapa Yu semangat sekali membantu wanita itu?), bukannya wanita itu sudah mempunyai gegelan (pacar)?”, kakek menanyakan sebuah pertanyaan yang susah untuk aku jawab, hanya tatapan mata yang bisa aku berikan pada kakek tua itu.

                “Ada keneh jak ye? (punya niat dengan dia?)”, pertanyaan dengan suara pelan itu semakain susah utnuk menjawab dengan kata2, terkecuali hanya diam tidak merespon.

                “Ki apa Yu ambil saja benda yang ditaruh dirumahnya?” aku memotong pertanyaan yang berusaha menelanjangiku, berusaha kembali ke topik yang mengharuskanku datang kerumah tua ini. “Kaki (kakek) pasti tau ditaruh dimana?” sambungku berusaha mempercepat penyelesaian masalah ini.

               “Anaknya sendiri gelem putag pantig gen sing gugune (sakit pontang-panting tidak dipercayai), apalagi kamu yang entah siapa datang kerumahnya dengan alasan aneh ngaba tambah serampang (membawa cangkul dan garuk) menggali dipekarangannya, jelas Polisi yang akan datang menjemputmu”   entah bagaimana caranya kakek bisa tau dan menyindir dengan tepat sosok yang selama ini membuat aku selalu emosi ketika menjengkuk Mira di Rumah Sakit.

                “Men kenken (lalu bagaimana)?”, aku menggaruk kepala kehabisan ide, “Pesunag ye uli ditu (keluarkan dia dari sana)”, suara serak orang tua itu membuatku berhenti meremas rambut.

                “Onyangan (semuanya)?”, aku berusaha memperjelas, kakek menggeleng menyentil abu diujung kulit jagung,

                “Buka lipi ngamah, uli tendas mara ke ikut. Ne luh to alihe simalau, ye pesuang (seperti ular menelan mangsa, dari kepala baru ke ekor. Wanita itu yang diincar pertama, keluarkan dia saja)”, aku tersenyum lebar menggukan kepala memahami kode layaknya kode buntut, rasanya tidak percuma aku meminta saran dari mantan serdadu ini.

                Segera aku ambil ponsel dikantong, bersiap memberi kabar kepada orang yang mara dadian (baru baikan) tapi memasksakan diri tetap mengajar.

                “Orahin nginep sik misane ow Ki? (suruh menginap dirumah kerabatnya ya Ki?)”, aku mengetik beberapa kata tetapi belum sempat aku kirim kepalaku kebutru menoleh menyaksikan Kaki Balian tertawa ngakak sampai batuk beberapa kali.

                “Berarti Wahyu bakal nginsanang kambing di umah kambinge buin? (menitipkan kambing dikandang kambing lagi?)”, perumpamaan keluar dari mulutnya yang membuatku berfikir mengupas maknanya.

                “Yen dot seken nginsanang kambing mebelat di kandang singa mara ye, pang pada macan mepalu lawan singa (kalau mau serius menitipkan kambing disekat dalam kandang singa baru bagus, biar seimbang harimau bertarung lawan singa)”, aku tidak paham dengan yang dimaksudnya, cerita macan dan kambing ini membuatku susah paham.

                “ija ada kandang singa? (dimana ada kandang singa?)”, aku berusaha memahami, tapi tidak mampu memngerti, Kaki Balian mengembuskan asap dan memadamkan lintingan ditangannya keedalam asbak potongan buluh, memaliangkan wajah menatapku yang masih kebingungan, dia berucap singkat “Aba jumah Wahyune (bawa kerumah Wahyu)”
-----------------------------------------

                “Gimana kak?, disuruh apa?”, aku mendengar ucapan itu, tapi hanya bisa melamun duduk nyender diatas motor, sementara yang bertanya terlihat celingukan menatap kanan kiri disekitar gerbang belakang sekolah takut ada yang melihat dia bertemu dengan ku, mungkin dia malu kalau digosipkan dekat dengan pemuda pemabuk sepertiku.

                “Kak?”, katanya lagi dengan terburu2, aku tidak memandangnya “Belum ada, masih diusahakan”, jawabanku tidak membuatnya tersenyum atau cemberut datar saja.

                “Oh, iya dah”, jawabnya singkat dan datar kemudian berbalik melangkah menuju gerbang, aku memandanginya melangkah pergi, tidak aku sangka cukup drastis perubahan fisiknya sekarang setelah kemarin keluar dari rumah sakit.

                Aku palingkan wajah memutar kunciku untuk segera pergi ke ladang menengok sapi yang sudah telat aku beri makan sekalin juga aku beli nasi bungkus karena buru2 ke rumah kaki jadi dirumah tadi tidak sempat memasukan nasi dan lauk ke kotak makanku.

                “Kak!”, suara itu mengejutkam memaksa aku menoleh menghentikan motorku yang sudah setengah putaran.

                Mira kembali berdiri di depan gerbang yang ditutup setengah pintu, “Kamu sudah makan?”, sebuah pertanyaan yang dulu sempat ingin aku tanyakan padanya, tapi kini balik di tanyakan padaku, aku tidak ingin menjawab sebab akan serba susah kalau bilang sudah maupun belum.

                “Ini”, sebuah benda dibungkus kresek merah yang dia sembunyikan di belakang punggungnya dihadapkan padaku, “Aku ada..”, dia terlihat gugup melanjutkan kata2nya.

                Aku tdak berkata apapun, hanya mataku melirik ke pojok kiri atas memberi syarat padanya bahwah dilobi lantai dua sana beberapa orang guru memperhatikan kami berdua,

                “Udah gak apa2”, dia langsung melangkah menggantungkan kresek itu di sepion motorku, dia menatapku “Ampura (maaf)”, sebuah kata yang sering aku ucapkan terlontar dari mulutnya. “Aku selalu ngerepotin kamu”, dia melangkah mundur kembali mendekati gerbang, sementara aku memacu motor meninggalkannya, dengan sebuah kata yang begitu sulit aku ucapkan padanya. “Terimakasih”.

                Kotak karton berisi Ayam geprek yang dibungkus kresek pemberiannya mau tidak mau aku makan meski sebelumnya sudah aku banting2 ke tanah, siang ini aku harus menemukan cara selain rencana bodoh mengungsikan dia kerumahku, dia harus pergi dari rumahnya, kalau seandainya kerumah kerabatnya bakalan diendus, berarti diam2 harus kerumah orang lain yang tidak ada hubungan darah dengannya, “Umah timpalne! (rumah temannya!)”, aku mendapat ide brilian yang segera aku utarakan kepadanya.

Mira : kak yakin dengan ide itu?

Aku : astungkara yakin, kamu bisa?

Mira : aku gak yakin dikasi ijin sama bapak

Aku : ulehang (usahakan)

Mira : aku coba dlu, tar aku chat temen mudh2an ada yg nrima aku

Aku :  iya.

          Aku masukan posel ke dalam tas selempang, bersiap untuk kembali menyebar pupuk di pematang pohon kacang, ketika aku akan gantung tasku di paku yang menacab di tiang bambu, kembali tersa getar dalam tas itu.

Mira : kamu lagi apa?
    
Aku : kerja

Mira : oh, udah makan?

Aku : udah baru aja

Mira : kamu pasti ragu sma yg aku kasi ya?

Mira : aku tau km gak suka klo aku bahas gini

Mira : ayam geprek tu aku beli online, bukan buatan pacarku

Aku : iya makasi

          Entah kenapa aku sadar selama ini telah menjadi manusia yang tidak tau diri, kenapa dendan ini begitu lama aku simpan padanya, dia sudah minta maaf dan juga sudah berusaha menebus kesalahanya, justru aku terlihat sebagai orang yang tidak punya hati memperlakukan seorang wanita dengan cara seperti ini, aku hela nafas panjang sambil memejamkan mata mengenggam layar ponsel yang masih menunjukan dia online, “aku ulang dari awal lagi” jariku kembali mengetik.

Aku : klo kamu sudah makan siang?

Mira : belom pengen

Aku : kok gitu?

Mira : gak pengen aja.

Aku  : belum makan berarti belum minum obat juga?

Mira : hmm...

Aku  : seneng sakit?

Mira : gak lah, ngapain sakit di plihara

Aku  : ya udah makan trus minum obat

Mira : iya

Mira : tapi lambungku perih klo makan

Aku  : jangan makan yg pedes dulu

Mira : dikantin pedes smua

Aku  : beli bubur diluar

Mira : jam segini udh gak ada

Aku  : bawa bekel dari rumah

Mira : gak sempet ibu subuh dh jualan ke pasar

               Beberapa saat aku berfikir kasian juga dia, seandainya pacarnya tau pasti akan setiap hari dibuatkan bubur dan pastinya setiap hari dia akan menelan benda2 aneh, aku mencoba mengingat sesuatu yang dulu ingin aku tawarkan padanya tapi malu aku ungkapkan.

Mira : P

Mira : dah mulai kerja ya?

Aku  : masih diem

Mira : kirain udah lama balesnya

Aku  : mau aku yang bawakan makannanya?

Mira : kmu mau beli dimana?

Aku  : aku bikin sendri

Mira : gak ah ngerepotin

Aku  : gak apa2 daripada kamu gak makan gak sembuh2 juga

Mira : hmm..

Aku  : gmna cara kamu mau ngelindungin keluarga kamu kalo kamu sendiri msih                     sakit?

Mira : iya..

Aku  : tar aku ke skolah lagi, kalau udah didepan aku chat.

Mira : iya, makasi bnyk kak.
************

                “Berarti sejak saat itu kamu membawakannya bekal makan siang, wihh sweet gati nani cing (sweet sekali kamu njing), seandainya aku ada yang...”

                “Cang sing perlu nawang cerita ci ne to! (aku tidak perlu tau ceritamu itu!)”, Odik membentak karah Wahyu dengan memotong perkataaanku,

               “Yang perlu aku tau, tadi kamu bilang menyarankan Mira ke rumah temannya!, lalu kenyataanya kenapa dia bisa ada dirumahmu?, kamu membuat alasan saja supaya bapaknya mengijinkan Mira menginap ke rumah teman padahal aslinya menginap dirumah kamu!!, daya amonto aluh ban cang nawang! (taktik sepertii itu mudah aku tau!)”, Odik memaparkan sebuah strategi yang membuat aku dan Wahyu justru bengong.

                “Tiang sing ada makeneh corah keketo bli! (saya tidak pernah punya fikiran berniat buruk begitu)” Wahyu menggelengkan kepala, sementara aku menganggukan kepala “Kenapa baru terfikir ide yang briliant seperti itu”, gumamku

                “Lalu apa rencananya kamu sebenarnya?”, kembali aku menyakan informasi dari Wahyu untuk bisa mendapat kepingan menyusun sebenarnya apa yang terjadi sehingga aku perlu susah payah beteg (matirasa) berdiri lama begini

                “Mira memang pergi dari rumah, dan meminta ijin pada orang tuanya untuk menginap di salah satu rumah teman kuliahnya yang kebetulan kerja didaerah ini” Wahyu melanjutkan ceritanya sambil menunduk membuat aku susah percaya dengan gerak-geriknya itu.

                “Bukannya Bli juga sempat kesana juga?, apa Bli lupa?”, Odik berusaha mencerna ucapan Wahyu, mengingat kapan dia bertemu dengan Mira saat kejadian itu, Odik kemudian mengagguk.

                “Perumahan *******?”, Odik mengingat tepat yang lumayan dekat dengan pusat kota, Wahyu mengguk membenarkan tempat itu.

                “Hanya saja ahirnya tidak bagus”, Wahyu mendongak menatapku tajam lagi menujukan tidak ada rasa takut akan kebohongan dan berbicara jujur dari seluruh ucapanya
************

                “Hah ngudiang buin nelfon ne? (kenapa kembali nelfon lagi ini?)”, aku berjalan cepat menuju dapur kearah lemari pendingin yang diatasnya aku letakan ponselku, terpampang di layar kontak yang sekitar 15 mnt lalu menelfonku, dan baru tadi juga si pemilik ponsel disana mengatakan

               “Kak udah dulu ya aku mandi sebentar, temenku dah selesai mandi, tar aku telfon lagi”

                “Duutt..Duutt.Duutt..”, segera aku ambil sebelum terlalu rama berisik membangunkan ibuku yang sudah tertidur lelap.

                “Halo.., Suastiastu, kenapa lagi Mir?”, HP menempel di telingaku, “Bli Wahyu!”, suara seorang wanita menjawab membuatku heran asing dengan suara yang aku dengar biasanya.

                Bersambung..........
mastercasino88Avatar border
mastercasino88 memberi reputasi
1
292
0
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Supranatural
SupranaturalKASKUS Official
15.6KThread10.9KAnggota
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.