robbolaAvatar border
TS
robbola
diantara dua rasa

Selamat membaca . . .
.
.
.

__________

"Aku akan melamar Marwah, Yash. Bagaimana menurutmu?" tanyanya kala itu. Saat kami tengah duduk berdua di dekat jendela, di sebuah kafe di pusat ibu kota.

"Good," jawabku tersenyum sekilas. Menyembunyikan segala sesak yang tiba-tiba menyeruak memenuhi segala rongga dada. Aku menyeruput latte di hadapanku, berusaha menetralisir rasa sakit yang ada. Menjelma di ulu hati dengan sendirinya, tanpa pernah aku minta.

"Aku juga sudah mengutarakan niatku ini pada ayah dan bunda. Dan alhamdulillah mereka mendukungku."

Sambung Zain dengan begitu antusias. Menceritakan rencana lamarannya terhadap marwah. Tanpa sedikit pun ia tau bahwa aku sangat terluka mendengar hal itu. Aku membiarkannya terus bercerita tanpa jeda. Ku lihat raut bahagia begitu terpancar jelas di wajahnya.

Tak taukah kau Zain. Bahwa aku sangat terluka mendengarkan ceritamu kali ini? Semua ini benar-benar menyayat hati.

"Memangnya selama ini kalian sudah melakukan pendekatan sejauh mana?" tanyaku masih terus berusaha baik-baik saja. Meski sesak kini mulai memenuhi rongga dada. Degup jantung yang mulai tak beraturan, juga mata yang sudah mulai memanas menahan cairan bening yang siap tumpah kapan saja.

"Mungkin sudah sekitar dua atau tiga bulan terakhir," jawabnya dengan senyum yang terus merekah sempurna. Dimana aku hanya bisa menikmatinya, tanpa bisa menjadi alasan terciptanya senyum manis itu.

"Oh. Lumayan. Pantas saja kamu begitu jarang menghubungiku akhir-akhir ini. Bahkan, saat akhir pekan pun kita tidak pernah punya waktu lagi untuk menghabiskan waktu bersama, seperti dulu. Meski hanya sekedar menemaniku untuk menikmati bakso pinggir jalan."

Ucapku sedikit mencibik. Sedangkan, Zain hanya terkekeh melihat raut wajahku.

"Sorry, Nona. Bukan karena di sengaja aku tidak ingin menghabiskan waktu denganmu. Tapi, kau tau kan kalau selama ini Marwah begitu sangat aku idamkan?"

"Ya. Aku tau itu. Tapi, tidak seharusnya kamu melupakan sahabatmu begitu saja."

"Sebenarnya bukan karena bersama Marwah saja aku tak punya waktu untukmu. Tapi, jadwal piketku juga padat akhir-akhir ini, Yash," ucap Zain lalu menyesap latte miliknya.

"Sebenarnya kalau dengan Marwah sendiri aku tidak pernah menghabiskan waktu berdua dengannya. Karena dia begitu terjaga, tidak pernah keluar rumah dengan laki-laki yang bukan mahromnya."

Sambung Zain setelah ia menyesap lattenya. Membuatku sedikit mengernyit bingung.

"Lalu? Bagaimana selama ini kalian melakukan penjajakan dan pendekatan?" Tanyaku penasaran.

"Datang kerumahnya," jawab Zain dengan begitu enteng. Seraya senyum-senyum sendiri. Aku yakin dia sedang mengingat Marwah.

"Kerumahnya?" Ulangku yang langsung di balas anggukan kepala olehnya.

"Yups. Kerumahnya."

"Bagaimana kamu bisa langsung tau rumahnya? Bukankah selama ini kamu dan Marwah hanya sebatas kenal? Dekatpun tidak."

Sambungku yang mulai penasaran. Bagaimana ceritanya ia bisa melakukan pendekatan dengan Marwah tanpa mengajak gadis itu jalan-jalan keluar. Kadang Zain memang terlalu rumit di pahami. Tapi, itulah yang aku suka. Dia selalu punya cara yang berbeda dalam setiap langkah hidupnya.

"Awalnya aku tidak sengaja bertemu dengannya di jalan. Saat itu aku pulang awal dari rumah sakit. Dan tanpa sengaja aku melihatnya yang sedang menunggu angkot di pinggir jalan, di depan gerbang sekolah tempat dia mengajar. Entah kenapa ia tidak memesan ojol atau taxi online saat itu. Mungkin juga dia tidak bisa berkendara sendiri. Karena kasihan, jadi aku mengajaknya untuk pulang bersamaku saja. Aku ingin memberinya tumpangan. Awalnya dia menolak, dan bersikekeuh tidak mau. Tapi, karena aku sedikit memaksanya dan cuaca cukup mendung sata itu. Maka akhirnya dia mau juga pulang bersamaku."

Jelas Zain panjang lebar. Seraya mencocol potatto di hadapannya dengan saos sambal. Aku yang mendengarnya hanya manggut-manggut.

"Jadi, sekarang dia mengajar?"

"Ya."

"Dimana?"

"Di sebuah SMA tuna bangsa."

"Oh."

Balasku singkat, lalu ikut menikmati potatto yang tersedia di hadapan kami. Sedangkan, gerimis terus saja turun berjatuhan membasahi bumi. Hingga rintiknya merembes di kaca jendela. Di samping kami duduk. Kami memang begitu suka duduk di dekat jendela. Entah di restorant atau kafe. Karena nyaman saja rasanya jika duduk di dekat jendela. Pandangan kita bisa menelusuri jalanan raya, memandang alat transportasi yang sedang lalu lalang. Juga beberapa orang pejalan kaki di trotoar.

"Lalu saat sampai di rumahnya dia memintaku untuk mampir. Karena sudah keburu turun hujan, ibunya pun begitu ramah padaku saat itu. Jadi, menurutku tidak ada salahnya juga aku mampir. Sekaligus bersilaturahmi."

Sambung Zain yang terus saja menceritakan awal mula kedekatannya dengan Marwah. Membuat ulu hatiku terasa nyeri.

"Iseng-iseng aku meminta no WAnya. Eh gak taunya dia memberikannya padaku. Jadi, ya begitu. Hubungan kami berlanjut di chat. Dan tak jarang aku selalu berkunjung kerumahnya, hingga akhirnya aku menceritakan niatku pada ayah bunda. Merekapun langsung setuju-setuju saja."

"Apa Marwah tau kalau kamu akan melamarnya?" tanyaku penasaran. Padahal aku tau semakin aku mendengar lebih banyak cerita Zain. Maka hatiku semakin menjerit sakit. Tapi, entah kenapa aku begitu keras kepala dan egois pada perasaanku sendiri.

"Heum. Ya dia tau. Semalam aku mengutarakannya kalau aku akan melamar dia," jawab Zain kembali menyeruput lattenya.

"Lalu? Bagaimana? Dia setuju?" Tanyaku untuk yang kesekian kalinya. Membuat Zain senyum-senyum seketika mendengarnya.

"Kalau dia tidak setuju bagaimana mungkin aku akan membagi kabar bahagia ini denganmu, Yash? Hehehe," jawab Zain seraya mengacak rambutku pelan. Membuat hatiku betdesir hangat merasakan sentuhannya di pucuk kepala. Namun, seiring itu juga rasa nyeri juga menyertainya.

"Syukurlah kalau begitu. Aku ikut senang mendengarnya. Semoga semuanya berjalan lancar dan kamu bahagia ya."

Sambungku. Lalu menyesap latteku. Menetralisir segala sesak dan rasa tak nyaman di hati. Bagaimanapun, Zain berhak memilih jalan hidupnya sendiri. Termasuk dengan perasaan dan cintanya. Dia berhak bahagia dengan cinta yang ia impikan selama ini. Maka biarkan saja aku berdebat dengan rasaku. Aku yakin, sakit ini hanya sementara. Setelah itu semuanya akan pergi tak tersisa. Entah rasa perihnya atau rasa cintanya. Aku yakin waktu akan menyembuhkan segalanya. Mengganti degan cerita baru yang lebih menarik, dari sekedar mencintai Zain dalam diam selama ini.

"Iya aamiin. Terima kasih, Yash." Ucap Zain tersenyum bahagia. Senyum yang mungkin takkan pernah ada aku di balik alasannya. Sedangkan, kini aku sedang bergemelut dengan rasaku. Dengan segala rasa cinta dan luka yang bercampur aduk menjadi satu.

"Sama-sama."

Balasku tersenyum getir. Menyembunyikan segala rasa sakit dan terluka. Jujur aku kecewa. Namun, aku juga tidak bisa apa-apa. Selain merapalkan doa semoga Zain bisa bahagia dengan pilihannya. Bagaimanapun, aku juga harus segera mengubur perasaan ini dalam-dalam. Agar tak semakin menyulut luka yang ada.

Sore itu aku dan Zain saling berbagi cerita. Tentang beberapa kejadian yang kami lewati beberapa pekan tarakhir ini. Saat aku dan Zain tidak sedang bersama, dan mulai tidak punya waktu untuk menghabiskan waktu bersama sesering dulu lagi. Karena kini Zain yang sudah mulai menemui dunianya, juga sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang dokter. Padahal dulu ruang lingkup duniaku hanya sebatas Zain. Dan ruang lingkup Zain hanya sebatas aku. Namun, seiring berjalannya waktu, semuanya mulai berubah. Sedikit demi sedikit, waktu mulai tak lagi berpihak pada kami.

Bukan hanya Zain. Akupun juga jarang memiliki waktu senggang beberapa pekan ini. Selalu sibuk dengan urusan kantor yang sedang menjalankan proyek besar. Dan menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan luar negeri. Setelah lulus S1 aku memilih untuk membantu ayah menjalankan perusahaan. Tapi, setelah mendengar cerita Zain sore ini. Mungkin, lebih baik aku mengikuti kemauan ayah selama ini. Yaitu melanjutkan S2 ke canada. Aku rasa itu lebih baik, dari pada harus melihat Zain melamar wanita lain.

"Hey, Mine." Sapa seseorang, seraya menepuk bahuku pelan. Membuat lamunan masa laluku tentang Zain buyar seketika. Hingga air mata yang sempat menggantung di kelopak pun urung untung menetes.

"Hey, Lex."

Balasku tersenyum sekilas. Ketika wanita berambut ikal itu duduk di kursi depanku. Saat aku sedang menghabiskan waktu di kantin, setelah selesai mengikuti kelas mata kuliah pertama, sekitar satu jam yang lalu.

"What's wrong?" tanyanya riang.

"Nothing," jawabku menggeleng pelan. Seraya tersenyum getir, menarik nafas panjang. Membuat gadis bernama Alexa yang duduk di hadapanku sedikit mengernyit bingung.

"Come on, Yash. Cerita ada apa?" Tanya gadis itu dengan gaya suplenya. Membuatku begitu nyaman berteman dengannya. Gadis sederhana dengan perangai yang sedikit kelaki-lakian. Tomboy bahasa kerennya.

"Nothing, Lex." Jawabku mengelak, dan yang terus saja menggeleng.

Karena enggan untuk berbagi cerita dengan Alexa. Sebab, jika aku ceritakan apa yang aku rasa, itu sama saja dengan aku membuka luka lama. Dan aku akan kembali tenggelam di dalamnya. Luka, yang tak sengaja tertoreh di hatiku. Sebab akibat dari rasaku sendiri.

"Really?" tanya Alexa mendekatkan wajah tirusnya, di hadapan wajahku. Seakan menelisik wajahku dengan begitu lamat, mencari sebuah kebenaran disana. Namun, aku tetap berusaha bersikap biasa-biasa saja.

"Yes. Really i'm fine," jawabku mengangguk cepat, meyakinkan.

"Okey. Tak apa jika kau tak mau bercerita. Tapi, jika kau butuh teman untuk membagi ceritamu, aku selalu siap mendengarnya, Yash."

Ucap Alexa tersenyum. Menunjukkan persahabatan yang hangat, membuat aku begitu nyaman berteman dengan gadis tomboy berambut ikal di depanku. Dia memang sangat perhatian padaku selama ini. Juga dia adalah salah satu teman terdekatku di sini. Di canada, tempat di mana aku lari dari luka. Sebab aku tidak ingin selalu menyiksa hatiku, jika aku terus-terusan berada di dekat Zain, di indonesia.

"Thanks,"

"Welcome."

Balas Alexa lalu menyeruput lemon tea milikku. Yang berada di meja depan kami. Melihat tingkah sembrautannya itu, membuatku hanya terkekeh pelan. Seraya melipat tangan di dada. Memperhatikan tingkah konyol Alexa, yang langsung menyeruput lemon teaku. Seakan ia tidak pernah memiliki rasa sungkan pada siapapun.

"Hmm. Yash," ucapnya pelan. Setelah ia menyeruput lemon teaku. Lalu, menempatkannya kembali diatas meja.

"What?"

"When you will come back to indonesia?" Tanyanya seketika. Karena memang sudah empat tahun terakhir ini aku tidak pernah pulang keindonesia.

"Entahlah. Mungkin, setelah wisuda. Atau mungkin dua sampai tiga tahun lagi."

"Kenapa memangnya? Kau ingin mengusirku dari negaramu ini?" Sambungku terkekeh pelan, membuat Alexa juga terkekeh mendengarnya.

"Bagaimana mungkin Canada akan mengusir gadis secantik dirimu, Yash? Hehehe."

Balas Alexa terkekeh pelan. Membuatku hanya geleng-geleng kepala mendengarnya. Dia memang gadis konyol, yang punya segudang cara untuk membuat orang lain merasakan bahagia.

Jujur sudah empat tahun lamanya aku di Canada. Membawa lari segala luka, yang di sebabkan Zain. Pagi itu, Zain ingin melangsungkan acara lamarannya dengan Marwah. Tanpa ia tau, bahwa semalaman aku menangis terisak, mengurung diri di kamar. Sebab tidak ingin orang tuaku tau, kalau keputusanku mengikuti saran ayah ke Canada hanya untuk menghindari Zain.

Pagi itu aku berangkat, tanpa memberi kabar kepada Zain. Hp aku matikan sejak semalam. Dan saat aku aktifkan kembali pagi harinya, sebelum aku terbang ke Canada. Ternyata sudah ada puluhan panggilan tak terjawab dari Zain. Juga puluhan chatnya yang tidak aku balas. Aku hanya membacanya sekilas. Lalu kembali mematikan Hp, menguatkan hati untuk tidak lagi menangisi Zain yang telah menemukan cintanya. Sebab aku tau, menikah dengan Marwah adalah cita-cita kedua Zain selama ini. Cita-cita pertamanya adalah menjadi dokter. Dan dia berhasil mencapainya. Kini, ia kembali mencapai cita-cita keduanya. Yaitu menikahi gadis yanh ia suka selama bertahun-tahun lamanya.

pagi itu aku terbang ke Canada membawa segala luka dan perih di hati. Tanpa mengabari Zain, hingga saat ini. Hingga empat tahun telah berlalu. Aku sudah tidak pernah kagi mendengar kabarnya. Terakhir kali aku menemuinya, saat kami bertemu di kafe. Menghabiskan waktu hingga petang. Bahkan, hingga gerimis datang. Membasahi jalanan. Hari itu, adalah hari terakhir aku menatap wajah sahabatku. Sekaligus orang yang teramat aku cinta.

Meski, selama ini dia hanya menganggap rasaku sebuah lelucon, untuk bercanda belaka. Tanpa pernah ia sadari bahwa aku sangatlah terluka di buatnya. Mungkin, sekarang dia sudah hidup bahagia bersama wanita impiannya. Bahkan, mungkin sudah memiliki beberapa buah hati. Sedangkan, aku disini masih terus meradang menahan nyeri. Meski sudah tidak separah dulu lagi.

Awalnya niatku ingin menyelesaikan kuliahku selama tiga tahun disini. Tapi, mengingat aku masih belum sepenuhnya bisa melupakan perasaanku pada Zain. Maka aku putuskan, untuk mengambil kuliah jalur biasa. Tidak ingin cepat pulang keindonesia. Aku masih belum cukup kuat untuk kembali bertemu dengan Zain. Sahabat sekaligus cintaku di masa lalu.

Saat ini aku juga sedang menjalin hubungan dengan pria berdarah prancis. Dia juga sedang melanjutkan S2nya di sini. Hubungan kami sudah berjalan, tiga bulan terakhir ini. Awalnya aku selalu menolak ajakannya untuk menjalin hubungan.

Namun, setelah di pikir ulang. Mungkin, tidak ada salahnya aku mencoba untuk kembali membuka hati. Meski, aku sadar. Michael hanya aku jadikan pelampiasanku selama ini. Pelampiasan yang aku rasakan akbiar sakit masa laluku, yang sampai saat ini masih terus menjeratku.

Jujur aku menerima Michael bukan karena aku juga punya rasa. Tapi, hanya karena sebatas rasa kasihan saja. Karena sudah beberapa kali dia mengutarakan perasaannya padaku. Dan aku tau, bagaimana sakitnya hati, saat perasaan itu tidak terbalas. Sebab aku sendiri mengalaminya.

Michael sangat menyayangiku, dia begitu perhatian dan selalu ada untukku. Namun, sekuat apapun aku berusaha untuk mencintainya. Rasaku benar-benar tidak bisa di paksa. Aku hanya mampu bersandiwara di hadapannya selama ini. Pura-pura bahagia hanya untuk menutupi luka yang ada. Luka yang tercipta beberapa tahun silam lamanya. Luka yang ku bawa dari indonesia, terbang menuju canada. Dan sekarang, luka itu masih terus menganga meski waktu dan tahun tak lagi sama.

"Hey, Nona. What's wrong?" Alexa menjentikkan jemarinya di depan wajahku. Kembali membuatku sadar dari lamunanku. Aku hanya tersenyum dan menggeleng cepat.

"Nothing, Lex." Jawabku cengengesan di depannya. Lalu, dengan cepat aku menyeruput lemon tea di hadapanku. Untuk menetralisir degub jantung yang bertalu. Memacu ritme dengan derap langkah waktu.

"Kenapa kamu begitu suka melamun, Yash?"

"Melamun? Siapa? Aku? Hahaha. Mana ada aku melamun, Lex."

Elakku tetap berusaha rilexs dan biasa-biasa saja. Padahal gemuruh di dada sudah menerpa, saat sekelebat bayangan Zain kembali muncul di benakku. Juga segala rasa bersalah, yang tiba-tiba muncul di hatiku terhadap Michael. Sebab sudah terlalu sering membohonginya. Berusaha pura-pura mencintainya, padahal nyatanya tidak sama sekali.

Ah ...aku memang jahat dan egois. Begitu tega mempermainkan perasan dan hati pria berdarah prancis itu. Tapi, aku harus bagaimana? Aku sudah terjebak dalam drama cintanya.

"Good. Kamu begitu pandai bersandiwara, Yash."

Sambung Alexa yang begitu menusuk tepat di ulu dada. Membuatku tersenyum getir mendengarnya, sebab apa yang di katakan Alexa benar adanya. Selama ini, aku memang begitu terlatih dalam bersandiwara. Bersandiwara dalam mendustai perasaaanku sendiri pada Zain selama ini. Juga bersandiwara pura-pura mencintai Michael yang sudah begitu baik padaku.

Tiba-tiba saja gawaiku berdenting. Pertanda ada chat masuk. Dengan cepat aku membukanya, melihat siapa yang mengirim chat padaku. Dan ternyata itu adalah Michael, yang mungkin sudah selesai mengikuti mata kuliah pertamanya.

[Where are you, Dear?]

Begitulah chat yang ia kirim padaku. Aku hanya tersenyum sekilas. Lalu membalasnya dengan cepat.

[In canteen] ketikku mengirimkan balasan. Sedang, Alexa hanya terdiam di depanku.

"Who? Michael?" Tanya Alexa seketika, membuka suara. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Alexa memang tau banyak hal tentang hubunganku dengan Michael beberapa bulan terakhir ini.

[Okey. Aku menyusul kesana] Sambung Michael mengirimkan balasan.

[Okey] Balasku singkat, lalu kembali menyimpan HP di saku baju.

"Hubunganmu dengan Michael baik-baik sajakan?" Tanya Alexa, menatapku lekat.

"Hmm. Ya," jawabku tersenyum sekilas. Alexa yang mendengarnya hanya manggut-manggut. Seraya bergumam "Okey".

Mungkin, Alexa pikir Michael adalah alasanku melamun tadi. Sebab, ia tidak pernah tau dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku kini. Aku hanya mampu menikmati kebahagian palsu selama menjalin hubungan dengan Michael. Kebahagian fana, yang ku cipta dengan sendirinya.

Tak lama kemudian Michael datang, melambaikan tangan padaku dari arah luar. Aku pun melambaikan tangan padanya saat ia mulai memasuki pintu kantin, seraya tersenyum hangat menyambut kedatangannya.

"Hallo, Honey."

Sapanya seraya mengacak rambutku pelan. Persis seperti apa yang sering Zain lalukan padaku dulu. Michael pun menarik kursi di sampingku, lalu mendudukkan dirinya. Kadang, sikapnya membuatku merindukan Zain. Seperti yang ia lakukan barusan, mengacak rambutku pelan. Sebagai tanda sapaan.

"Hey," balasku singkat. Alexa hanya memperhatikan kami. Sebelum akhirnya ia pamit untuk pergi.

"Okey. Aku pergi dulu. Selamat menikmati waktu berdua."

"Okey." Balas Michael, sedang aku hanya mengangguk pelan. Setelah itu Alexa benar-benar melenggang pergi, meninggalkan aku dan Michael berdua.

"Kamu sudah makan siang, Sayang?" Tanyanya. Aku hanya menggeleng pelan. Sebab, dari tadi aku hanya termangu di sini. Di pojokan kantin, di temani secangkir latte sebelum akhirnya Alexa datang menemani.

"Okey kalau begitu, kita makan siang sekarang. Kamu mau makan di sini atau kita pergi ke restaurant?"

Tanya Michael dengan begitu antusias. Bersama senyum hangat yang selalu ia suguhkan padaku. Selama ini, dia memang sangat mengerti diriku. Tak pernah egois, dan selalu memprioritaskanku. Namun, meski begitu aku tetap tidak bisa mencintai ia dengan sebenarnya.

"Here," jawabku singkat, tersenyum sekilas memandangnya.

"Oh. Okey. Sekarang, Kamu mau pesan apa? Pizza? Hot dog? Or Spaget ..."

"Humbergur saja," jawabku dengan cepat. Michael hanya mengangguk cepat mengiyakan. Makanan di kantin ini memang lengkap. Sudah seperti di restauran. Jadi, aku pikir untuk apa pergi keluar jika di sini juga sama. Selain, itu aku sedang malas untuk pergi kemanapun. Setelah ini aku hanya ingin langsung pulang. Ketempat penginapanku selama ini. Sebuah rumah yang aku tumpangi, milik keluarga berdarah jerman. Namun, menetap di negara ini.

"Okey."

"Juga segelas minuman soda."

Sambungku. Dan lagi-lagi Michael hanya mengangguk paham. Hingga tak lama kemudian, pesanan kamipun datang. Seporsi Pizza dan humbergur kini sudah terhidang di hadapan kami. Dengan dua gelas minuman soda. Sejujurnya kadang aku juga merasa tidak tega dengan Michael. Namun, aku juga tidak tau sampai kapan aku harus mendustai rasa. Maafkan aku Michael. Karena hanya menjadikanmu pelarian dari lukaku.

________

Jangan lupa bahagia.🍁
EnisutriAvatar border
nitajungAvatar border
anwarabdulrojakAvatar border
anwarabdulrojak dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.6K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.