Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

anna1812Avatar border
TS
anna1812
Cinta di Ujung Penantian
Cinta di Ujung Penantian

Part 1


Senin adalah hari yang paling menyebalkan. Setidaknya demikian menurutku. Selain harus berangkat lebih awal karena wajib mengikuti upacara bendera, sekarang adalah giliranku menjaga wartel sekolah. Begitulah peraturan bagi siswa kelas satu. Karena sekolah ini memang sekolah kejuruan, jadi kami--para murid baru--secara bergantian sesuai jadwal kelas masing-masing, dilatih untuk berwirausaha. Salah satunya sebagai penjaga wartel, toko atau kantin menurut daftar absensi kelas.

Tepat pukul tujuh, bel berbunyi. Semua siswi berhamburan ke lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Aku, seperti biasa. Menempatkan diri di barisan paling belakang. Rasanya tidak nyaman saja jika harus bertatapan dengan para guru yang berjejer rapi di depan sana.

"Kamu jadwal piket di wartel, kan, sekarang, Na?" Sisil--teman sebangkuku--mengeluarkan buku dari dalam tas setelah kami memasuki kelas dan duduk di bangku deretan paling belakang usai upacara.

"Iya. Tapi males banget gue, Sil. Di sana, tuh sepi. Gak ada makanan pula," sahutku santai.

"Makanan mulu dipikirin! Pr udah belom? Kumpulin bareng sama punyaku. Ntar kena setrap lagi kalo nggak ngumpulin." Sisil berkata sambil menoyor kepalaku. Itu anak memang senang sekali menganiaya sahabatnya yang baik ini.

"Asem, lu! Tambah bego ntar gue ditoyor elu mulu." Aku membalas perlakuan Sisil dengan memukul tangannya pelan memakai buku yang baru saja kukeluarkan. "Nih, gue nitip."

Dia hanya tertawa menanggapi omonganku.

Lima menit kemudian, Pak Adam--guru ekonomi--memasuki kelas. Ruangan yang tadinya bak pasar ikan, mendadak sunyi seperti kuburan. Tanpa menunggu lebih lama, aku bangkit dan segera meminta izin untuk tidak mengikuti pelajaran beliau. Sayang sebetulnya jika harus melewatkan senyum itu saat menjelaskan materi. Konon katanya, banyak siswi klepek-klepek dibuatnya. Termasuk aku? Oh, tentu tidak! Aku hanya mengagumi cara laki-laki berperawakan ceking itu mengajar. Sabar, tapi tegas. Juga senyum yang selalu tersungging selama menyampaikan materi, menjadi magnet tersendiri bagiku untuk menyimak deretan kalimat yang keluar dari bibirnya.

Setelah mengantongi izin beliau, aku bergegas keluar kelas dan menyusuri koridor-koridor yang telah sepi. Ruangan yang baru saja kutinggalkan memang berada di bagian paling belakang gedung ini. Jadi, untuk mencapai wartel yang letaknya di bagian paling depan gedung, harus melewati lorong panjang serupa rumah sakit.

Aku terus mengayun langkah sambil mengamati pepohonan yang tumbuh di sisi kiri koridor atau lebih tepatnya di tanah antara karidor yang sedang kulewati dengan koridor di seberang sana. Segerombol burung gereja bertengger di ranting pohon akasia yang tidak begitu tinggi. Kawanan hewan kecil itu serempak terbang manakala mendengar suaraku menghalau mereka disertai kibasan tangan. Mungkin mereka kaget, ya, ketika sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba ada suara menggelegar. Aku tertawa pelan menyadari keabsurdanku barusan, hingga tiba-tiba ....

Bruug!

Aku ditabrak oleh seseorang, maksudku, lebih tepatnya aku yang menabrak karena terlalu asyik mengamati tingkah kawanan burung kecil yang baru saja mengudara, mengepakkan sayap kecil mereka.

Kaget, aku buru-buru berjongkok tanpa memperhatikan sosok yang menjulang di hadapan, lalu segera memunguti kertas-kertas yang tercecer di lantai.

Sedikit gemetar, kuulurkan lembaran putih itu kepada pemiliknya. "Ma-maaf, saya gak sengaja."

"Terima kasih. Lain kali kalo jalan jangan meleng," ucapnya sesaat setelah menerima lembaran yang kuserahkan.

Aku meringis salah tingkah. "Iya, maaf. Saya buru-buru soalnya, Pak."

"Kalau buru-buru, kenapa malah mengganggu burung itu?" tanyanya sambil mengamati wajahku, kurasa.

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Eh, a-anu, itu ...," jawabku tambah salah tingkah. Tidak menyangka jika laki-laki di hadapan, melihat tingkah absurd-ku tadi.

"Lagi pula, kenapa jam segini kamu kelayapan?" tanyanya kemudian sebelum aku sempat menjelaskan.

"Saya mau piket jaga wartel, Pak."

"Hhm, begitu. Ya sudah cepat sana!"

Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera membalikkan badan dan berlalu dari hadapannya. Dalam hati bertanya, siapakah guru tadi? Seingatku, beliau tidak pernah mengajar di kelasku. Atau mungkin pengajar baru, ya?

Kuabaikan rasa penasaran terhadap sosok tadi, lalu kembali menyusuri koridor yang tinggal beberapa deret lagi.

Sesampainya di wartel, belum ada seorang pun di sana. Namun, ruangan itu sudah dibuka. Biasanya, akan ada dua siswi yang berjaga. Dalam hati aku berharap, semoga saja partner kali ini anaknya asyik, dalam artian dia tidak pendiam. Bisa dibayangkan, 'kan jika harus seharian bersama seseorang yang tidak ada omongnya? Mati kutu, kalau Sisil bilang.

Setelah membersihkan meja dan ruangan khusus yang buat menelepon, aku segera duduk, lalu membuka buku laporan dan melihat catatan pengunjung kemarin. Ketika sedang asyik menyusuri satu per satu tulisan yang tertera di buku panjang, tiba-tiba ada suara yang menyapu pendengaranku.

"Permisi, maaf, ya, aku telat," sapanya.

Aku mengangkat wajah. "Kamu yang jaga hari ini?"

Cewek berambut lurus sebahu itu mengangguk, lalu segera mendekat ketika kupersilakan masuk.

Kami berdua lantas berkenalan, selanjutnya berbincang santai sambil menunggu pengunjung datang. Dia sosok yang lumayan humoris, sehingga membuat suasana tidak kaku walau kami baru kenal. Kadang derai tawa memenuhi ruangan yang bersebelahan dengan toko, ketika membicarakan kelakuan konyol dari siswa sekolah sebelah. Gedung tempat kami menimba ilmu, memang satu kompleks dengan SMK yang muridnya didominasi cowok. Tahu sendirilah bagaimana ketika kaum Adam itu mencari perhatian. Ada saja polah absurd mereka yang mengundang tawa. Namun, tak jarang juga malah membuat kesal saking usilnya.

"Bosen, ya lama-lama gini bae, Len." Aku berucap, setelah capek tertawa dan ngobrol ngalor ngidul tidak jelas karena sampai sesiang ini belum ada pengunjung satu pun.

Lena yang belakangan kutahu dari kelas satu tujuh itu menjawab, "He em. Ngapain kek, yuk!"

Aku mengetuk-ngetuk jari di pelipis, siapa tahu dari sana keluar ide brilian. Ya, kan?

"Ah gini aja, Len." Kudekatkan bibir ke telinga Lena. Niatnya mau berbisik, begitu.

"Sono, ih. Geli tau!" Tanpa kuduga Lena mendorong wajahku. Asem, tuh bocah memang.

"Hahaha."

"Nggak usah bisik-bisik keles, Nas! Siapa juga yang mau nguping," sahutnya, lalu tertawa.

"Jangan panggil gue Nas. Kek cowok jadinya!"

Dia hanya tertawa lebar melihatku sewot dipanggil dengan sebutan itu.

Lalu ....

Lena mengeplak lengan kiri ini setelah kusampaikan ide yang tadi mampir di otak. Salahku di mana coba?


Bersambung
Iqiramadan21Avatar border
abellacitraAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 25 lainnya memberi reputasi
26
870
16
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.