Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aldysadiAvatar border
TS
aldysadi 
Jadilah Pria Sejati, meski Bukan Aku yang Jadi Wanitamu



Quote:



sumber


Suara klakson genitmenyapaku yang tengah berdiri tepat di depan pagar, disusul sungging senyuman dari sesosok cowok di dalam mobil yang merasa puas karena berhasil membuatku gusar.

"Aak masih kayak dulu, ya, jahil!" cetusku pura-pura kesal sambil menyalami tangannya.

"Hehe, pa kabar, Al?" sapanya sambil nyengir kuda, seolah tiada dosa.

"Alhamdulillah, baik. Langsung jalan, yuk!" ajakku.

Iki langsung mengarahkan kendaraannya menuju GOR Jakabaring, markasnya Sriwijaya FC, klub sepak bola kebanggaan wong Palembang. Lokasinya tak begitu jauh dari rumahku.

Dengan kecepatan normal, kami bisa tiba di sana kurang dari 5 menit. Berhubung Iki bawanya lelet kayak kura-kura ninja lagi mager maka kami bisa saja baru tiba keesokan harinya.

Di kejauhan, nampak olehku tugu bundaran Jakabaring yang berdiri dengan kokoh di seberang pintu masuk GOR Jakabaring. Nama sebenarnya dari tugu itu adalah tugu Parameswara.

Hanya saja, masih banyak yang belum mengetahuinya sehingga kerap menyebutnya dengan 'tugu bundaran Jakabaring'. Namun, tugu itu bukan sembarang tugu, melainkan tugu bersejarah yang menjadi saksi bisu cerita cinta ratusan remaja di kota Palembang, termasuk aku dan Iki.

Alasannya, kawasan sekitar tugu menjadi tempat nongki favorit muda-mudi di Palembang. Di bulan puasa, menjadi lokasi yang asyik buat ngabuburit. Di sabtu sore/malam minggu/hari libur nasional, tempat itu berubah menjadi arena balap liar yang memiliki banyak penonton setia.

Asyiknya lagi, ada banyak penjual makanan di sekitar tugu sehingga yang sedang pacaran atau sekedar nongki tak perlu takut kelaparan. Untuk makanan, yang jadi favoritku di sana adalah jagung bakar dan pempek panggang.

*****
Quote:


"Al," panggil Iki sambil mengelus rambut sampingku sehingga menggoyahkan seluruh ingatan di otakku akan masa lalu kami diantara pilihan yang sulit.

"Kamu cantik, ya kalau lagi bengong tapi lebih cantik lagi kalau lagi bete'," ucapnya sambil menarik hidungku.

"Ih, apaan, sik. Masih jahil aja, heran," omelku padanya dengan gusar.

"Kejahilan yang sama dengan hati yang masih sama," ucapnya pelan dengan senyuman pahit di wajahnya sambil tetap fokus menyetir mobil. "Eh, jadi, Al udah punya cowok, kan?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.

"Ah, itu. Al rasa Riza udah ngasih tahu, kan?" pungkasku padanya agar obrolan pribadi semacam itu tak dibahasnya terlalu jauh.

Kami bertemu kembali setelah sekian lama gara-gara Riza, temanku. Ia dan Iki bertemu secara tak sengaja di tugu bundaran Jakabaring saat sama-sama tengah nongkrong.

Iki menanyakan kabarku padanya. Rasa rindu membuat Iki meminta bantuan Riza untuk bisa bertemu denganku. Alasanku masih mau menemui Iki karena ia bilang, itu untuk yang terakhir kali.

"Al, apa dia menjagamu, seperti aak dulu?" Tiba-tiba, Iki bertanya dengan serius.

"Sebaik aak! Jangan khawatirkan Al," ucapku meyakinkannya sambil berusaha tetap tersenyum.

Aku sendiri tak memiliki keberanian untuk bertanya balik padanya tentang bagaimana hubungannya dengan Lala atau bagaimana ia menjalani hidupnya setelah aku pergi meninggalkannya.

Tak sedikitpun... karena aku merasa sudah sangat jahat padanya. Meski, sesungguhnya aku sangat ingin bertanya, dimana ia tinggal sekarang? Sudah menikah atau belum? Kerja apa? Kerja dimana? Bagaimana keadaan keluarganya?

Namun, saat itu, aku memang tak punya pilihan lain. Menurutku, meninggalkannya adalah keputusan terbaik untuk kami bertiga.

Aku ingin memberi Iki kesempatan menjadi seorang pria sejati dengan mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Lala.

Lagi pula, aku tahu, Lala sangat menyayangi Iki melebihi rasa yang kumiliki untuk Iki. Jika Lala yang diajak menikah oleh Iki, ia pasti tak akan berpikir berulang kali seperti aku.

Oleh karena itu, aku yakin, Lala pasti bisa menyembuhkan luka yang telah kubuat di hati Iki.

"Kita berhenti di sini?" tanya Iki padaku sambil memperlihatkan taman bunga yang indah yang terdapat dalam kawasan GOR Jakabaring.

"Boleh," jawabku.

"Ada penjual minuman. Ingin minum sesuatu?" tawarnya padaku.

"Boleh," jawabku.

"Ingin ikut denganku, bertemu orang tuaku?"

"Hah?" responku kaget.

"Dari tadi jawabnya boleh muluk, giliran ditanya begitu, malah, hah!" cetusnya pura-pura gusar.

Aku cengengesan sambil menikmati minuman teh kemasan botol di tanganku.

"Al, aak akan pindah ke luar kota. Kita mungkin gak akan bertemu lagi makanya aak ngajak ketemu hari ini."

Aku ingin mengucapkan sesuatu untuknya tapi lidahku kelu, aku tak tahu harus berkata apa. Setidaknya, aku ingin kata-kataku membuat hatinya tenang atau minimal, aku gak salah bicara.

"Ya, Aak. Al mendoakan, semoga Allah menuntun aak ke tempat yang memang baik untuk aak dan semoga segala sesuatunya berjalan baik, menjadi baik dan juga berkah, aamiin allahumma aamiin." Akhirnya, kata-kata itu bisa keluar juga dari bibirku.

"Hmmphh, makasih ya, Al," ucapnya sambil memandang wajahku lekat-lekat.

Posisi kami di dalam mobil dan bersiap untuk pulang tapi entah kenapa, melihat sikap Iki yang seperti itu padaku membuatku merasa takut.

"Tak kusangka. Gadis kecilku dulu, kini sudah tumbuh menjadi dewasa," Iki berbicara sambil mengelus pipiku. Lalu berganti dengan gerakan jemarinya yang menuruni leherku.

Aku sesak nafas rasanya karena tak tahu harus berbuat apa. Apa Iki akan mencekikku sekarang karena perbuatanku dulu? Aku memejamkan mata dan untuk sesaat, aku merasa ikhlas jika itu dapat mengobati luka di hatinya.

"Mana kalung dari aak dulu, Al?" tanyanya.

Aku salah sangka, Iki hanya mencari kalung yang dulu pernah diberikannya padaku.

"Maafkan Al, Aak. Al sudah berusaha menjaga kalung itu sebaik mungkin tapi kalungnya hilang," jawabku jujur dengan raut wajah sedih. Aku tahu, aku menambah rasa kecewa lagi di hatinya.

"Gapapa, Al. Seperti yang dulu kamu pernah bilang bahwa kalung itu penanda, jodoh atau tidaknya kita."

Aku benar-benar menyesal telah menghilangkan kalung pemberian Iki. Sesungguhnya, aku berniat untuk mengembalikan kalung itu padanya tapi kalungnya terlanjur hilang. Aku mencarinya kemana-mana tapi tetap tak kutemukan.

Iki mendekatkan wajahnya padaku. Aku benar-benar gemetar tentang apa yang akan dilakukannya kali ini. Beruntung, ia menyadari kondisiku detik itu pula sehingga ia memundurkan wajahnya dariku.

Aku buru-buru membuang muka dan tubuhku berlawanan dengan posisi duduknya sehingga membuatnya tersadar akan kesalahan yang dibuatnya.

"Al maaf," ujarnya memohon. Sementara aku tetap diam. "Aak benar-benar minta maaf tapi sumpah, Aak gak punya niat buruk sama sekali. Aak hanya merasa akan merindukan Al makanya aak mandangin wajah Al terus." Suaranya terdengar lirih.

Aku jadi merasa bersalah karena sudah bersikap berlebihan, "iya, Aak. Al juga minta maaf, ya," ucapku sambil mengambil salah satu tangannya dan menepuk-nepuknya pelan.

"Kalau begitu, aak boleh lihat wajah Al dari dekat sekali lagi? Aak janji, ini yang terakhir kalinya dan mungkin, kita tak akan bertemu lagi, kecuali dalam waktu yang lama" ucapnya meyakinkanku.

"Baiklah tapi Aak janji, ya! Jangan buat Al takut, apalagi menyakiti Al?"

"Tidak akan, Al!" ucapnya mantap.

Iki memegang wajahku dengan kedua tangannya. Ia mengelus kedua pipiku dengan kedua ibu jarinya. Ia masih ingat bahwa itu adalah perlakuan yang membuatku nyaman. Ia lalu meletakkan wajahku di bahunya dan memeluk erat bahuku.

"Al jaga diri, ya!" ucapnya sedih.

"Al," Iki kembali merengkuh wajahku dengan kedua tangannya lagi. Aku tertegun menatapnya. Ia lama, seperti menunggu izin dariku untuk menciumku. Aku bingung tapi kuizinkan juga karena melihat ekspresi di wajahnya.

"Maaf, ya, Al. Anggap saja, ini kenang-kenangan terakhir darimu untukku," ucapnya yang melupakan kata "Al dan Aak" dan menggantinya dengan kata "mu dan ku".

=====

Sudah bertahun-tahun lamanya sejak pertemuan terakhir kami. Mungkin, itu benar-benar menjadi pertemuan terakhir kami. Hingga saat ini, aku dan Iki tak pernah bertemu lagi.

Apa kabar, Iki? Al sudah tidak di sana lagi, baik di tugu atau di kota, dimana kita dulu bertemu. Sepertimu, aku juga pergi tapi aku tak sendiri. Aku bersama seseorang yang kusebut, suami.

Semoga kau bahagia, sepertiku, aamiin allahumma aamiin.



emoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower

Quote:


Quote:

Diubah oleh aldysadi 06-05-2020 06:37
Iqiramadan21Avatar border
abellacitraAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 36 lainnya memberi reputasi
37
998
35
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.