Novaliza311Avatar border
TS
Novaliza311
Cinta Dan Takdir


Patah hati ini selalu tentangnya. Tentang kami dengan segala ketulusan hati. Tentang kami dengan segala kehancuran hati.

Para kaum lelaki selalu lebih pintar menyembunyikan kepedihan. Lari pada sebatang tongkat kecil yang senantiasa mengepulkan asap. Pada minuman yang lantas menghilangkan kesadaran. Juga ke pelukan satu dan lainnya.

Para wanita, salah satunya aku. Berjuang bangkit dengan tertatih. Mencoba mengusir rindu yang tak lagi pantas. Menelan isak, ketika malam datang harus melayani laki-laki lain yang kini bergelar suami.

Kisah manis berubah menjadi pahit, bermula dari larangan kuat dari Ayah.

"Kau tidak lihat Kakakmu, seharusnya dia bisa hidup bahagia sekarang. Tapi lihat, dia menghabiskan waktu dengan menjaga suaminya yang sakit sawan itu. Tidak boleh tersinggung atau dia akan kumat!" Teriakan Ayah seakan membuat atap rumah bergetar. Ibu mengenggam tanganku erat, menenangkan.

"Ini jelas berbeda, Ayah ...."

"Cukup, Hana! Takkan kuizinkan lagi anak cucu keturunanku menikah dengan keluarga penyakitan itu."

Kupejamkan mata, titah Ayah sudah ke luar takkan ada negosiasi untuk itu.

"Aku tidak ada masalah dengan dia. Karenanya dia tetap boleh berkunjung ke sini. Dengarkan baik-baik, Hana. Kalian takkan pernah menikah." Kemudian hentak kaki Ayah menggema di lantai rumah menuju kamar. Aku luruh dalam pelukan Ibu yang tak mampu berbuat apa-apa.

Nama lelakiku itu Adam. Kakaknya bernama Indra, suami Aina kakakku. Awalnya mereka pasangan yang sangat serasi dan bahagia. Lalu semua berubah ketika Kak Indra mengalami sakit aneh. Dia selalu kejang kalau terlalu sering menyentuh air, kata orang kampung dia menderita sawan air. Sejak itu hidup mereka susah. Reaksi Ayah sungguh tak terduga dia menyalahkan keluarga Indra atas apa yang dialami Kak Aina saat ini. Padahal Kak Aina baik-baik saja bahkan tidak mengeluh sedikitpun.

Kini hubunganku dengan Adam terancam, tidak ada harapan. Aku terus berdoa, semoga hati Ayah melunak. Sementara cintaku tidak berubah, tiap hari merinduinya.

"Lusa kau akan ikut Om Hardimu ke Kalimantan. Ada pekerjaan bagus di sana." Kata Ayah pagi itu membuat napasku tercekat. Kalimantan? Bahkan mendengarnya saja terasa mengerikan, pulau itu teramat jauh. Om Hardi adik Ayah memang menetap di sana, beliau memiliki toko kelontongan yang cukup menjanjikan.

"Ayah ...."

"Kau akan pergi, itu keputusanku." Ketegasan Ayah tidak main-main, aku dilanda kecemasan yang hebat. Bagaimana hidup bila sehari saja tak melihat atau mendengar Adam. Ya, dia memang berkunjung setiap hari, kami bertatap dan berbincang seperti teman. Meskipun rindu menggelepar, tapi biarlah. Asal bisa melihat dia baik-baik saja.

"Ibu ...." Aku menatap Ibu, memohon pertolongan.

"Sebaiknya berikan dia waktu untuk berpikir ...."

"Tidak perlu! Lusa, kau harus berangkat. Hardi sudah membelikan tiket untukmu."

Aku terisak. Ayah segera bangkit dari duduk, wajahnya mengeras.

"Ayah, biarkan aku bertemu Adam besok. Setelahnya aku setuju pergi ke Kalimantan."

Hanya ini yang bisa kulakukan. Kepergian itu takkan bisa dicegah kecuali aku mati. Aku ingin bicara dengan Adam sebelum pergi.

"Baiklah, akan kusuruh Adi mengawasi."

Adi yang menyaksikan kejadian itu membisu. Dia tahu semua tentang aku dan Adam, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.



Aku duduk menjuntai di sebongkah batu di pinggir danau. Adam melakukan hal yang sama dengan duduk di sebelahku. Wajahnya kelihatan kaku seperti sudah menebak apa yang akan terjadi.

"Ayah menyuruhku untuk pergi ke Kalimantan," desisku pelan mencoba menghalau kesedihan yang belakangan begitu akrab dengan hati.

"Kau setuju?" Dia tidak terkejut pasti Adi sudah mengatakan lebih dulu.

"Aku, aku tak punya pilihan." Tanganku bermain dengan gugup di pelukan, setetes air mata membasahi punggung tangan, aku tak bisa menahannya.

"Aku mohon jangan marah, tidak ada yang bisa menentang ayah." Bahuku terguncang. "Aku janji akan kembali," lanjutku putus asa, semoga aku tidak mati karena rindu di sana.

"Aku akan menunggumu, sampai kapanpun." Suaranya bergetar. Aku semakin terisak menemukan matanya basah.

"Maafkan aku atas ketidak mampuan menjadi seperti keinginan ayahmu." Dia merangkulku erat.

***

Dia tersenyum hangat seperti biasa, rambutnya awut-awutan. Baju kemeja putih di padu celana jins hitam begitu serasi dengan kulit putihnya. Dia mengantarku ke bandara. Ayah hanya diam, beliau memang tak pernah memperlihatkan ketidak sukaannya pada Adam. Mungkin perasaan segan dengan keluarga Adam masih ada, itu sedikit membuat lega.

Waktu berangkat sudah tiba, aku menyalami semua orang. Ayah, Ibu, Adi dan tiba giliran Adam. Aku akan merindukan wajah itu, yang kelihatan tenang tapi begitu hancur di mataku.

Aku memeluknya erat, tak mempedulikan orang di sekeliling. Dia membalas pelukanku bahunya terguncang berusaha menahan tangis.

Pewasat yang kutumpangi meninggalkan alam sumatera. Meninggalkan separuh hatiku di sana. Tak ada yang bisa diperbuat, selain tetap menjalani hidup dengan normal.

Aku berusaha bekerja semaksimal mungkin di toko Om Hardi. Lama-lama kesibukan menjadi obat penekan rindu terbaik. Kami tidak berkabar, waktu itu belum ada ponsel. Hanya ada telfon rumah, Adam takkan pernah diberitahu berapa nomornya. Sedangkan di kampung kalau ingin menelfon harus ke telfon umum yang letaknya lumayan jauh dari kampung tempat tinggalku.

Setahun kemudian hal buruk yang tak pernah kubanyangkan kini ada di depan mata. Seorang laki-laki daerah sini melamarku pada Om Hardi. Aku menolak tentu saja, sebentar lagi lebaran aku akan pulang dan bertemu Adam.

"Kau tidak akan pulang sebelum menikah di sana." Aku tercekat mendengar suara Ayah di seberang. Kenapa beliau begitu tega? Kumatikan telfon dengan bersimbah air mata. Aku ingin pulang, aku tak ingin menikah di sini.

Akhirnya pernikahan tak bisa kuhindari. Tanpa sesiapapun sanak saudara kecuali Om Hardi dan istrinya. Aku mencoba tersenyum tapi bayangan luka di mata Adam terus menghantui. Aku pembohong, menginkari janji yang kubuat sendiri.

Waktu berlalu juga. Adi menghubungi lebih sering, menanyakan kapan aku kembali. Aku hanya akan bertanya apakah Adam sudah menikah? Selama jawabannya belum aku tak punya nyali untuk kembali. Meskipun awalnya aku menerima pernikahan ini agar diizinkan pulang, tapi mendengar kabar yang kudengar tentangnya dari Adi, aku tak sanggup melihat kehancurannya yang nyata.

Lama setelahnya diapun menikah, itu pun dengan drama perjodohan pula. Sebab kata Adi, dia benar-benar tersesat ketika mendengar aku menikah.

Aku pulang lebaran tahun lalu, kami bertemu. Mungkin masih ada luka tapi mencoba saling memahami bahwa jodoh bukan di tangan kita.

"Maaf lahir bathin." Aku mengulurkan tangan dia menjabat dengan mengucapkan hal yang sama.

Dia akan selalu ada, sebagai orang spesial yang pernah meramaikan masa remaja dengan cinta.


Tamat.
ButetKerenAvatar border
abellacitraAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 27 lainnya memberi reputasi
28
376
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.