Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

srinamiAvatar border
TS
srinami
Aku Bukan Perempuan Murahan, Tempatmu Melampiaskan Nafsu


Jatuh cinta itu berjuta rasanya, senyum sendiri, hati selalu berbunga-bunga kalau ingat dia, pujaan hatiku.

Awal kisah ini dimulai kira-kira tahun 1987 silam. Saat itu usiaku masih belasan tahun, 19 tahun menjadi usia yang cukup dewasa untuk dapat mengerti apa itu cinta, walau terkadang masih terasa seperti kekanak-kanakan, tapi cinta, ya rasa cinta terhadap seorang pemuda membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya Wira, wajah yang tampan dan juga baik hati serta peramah itu membuatku tertarik kepadanya.

Pertama kali berjumpa dengannya saat aku pertama kali merantau dari desa ke kota untuk mengadu nasib. Aku yang hanya lulus SMP ingin mendapat keterampilan dan pengalaman bekerja di kota. Berkat ajakan dari saudaraku, aku ikut dengannya untuk bekerja di sebuah garment, di sanalah aku berkenalan dengan Wira, dia yang saat itu bekerja sebagai supir pribadi bosku, membantu membawakan salah satu dari dua tas ransel yang kubawa.

Di garment ini memang di sediakan kamar mes untuk para pekerjanya, dimana mes laki-laki dan perempuan dipisah tempatnya.

"Makasi ya Mas, sudah bantu saya bawain tas."

"Iya nggak apa-apa, nanti kalau perlu apa-apa panggil aja aku aku ya, kenalin namaku Wira."

Kujabat uluran tangannya dan kuaperkenalkan juga namaku Sri. Ada rasa debar yang berbeda saat tanpa sengaja aku menatap matanya.



Seminggu sudah berlalu, semula aku hanya ditugaskan untuk menyortir jaritan baju untuk dirapikan, apa bila ada benang yang kurang rapi pada pakaian yang sudah dijarit oleh para seniorku. Kemudian saudaraku mengajariku cara memotong kain dengan menggunakan pola yang terbuat dari kardus atau karton. Aku semakin menyukai pekerjaan ini.

Hanya dalam jangka waktu 2 bulan belajar, aku sudah diangkat menjadi seorang penjahit baju anak-anak di garment itu.

Ternyata selain sebagai supir pribadi dari Pak Heri bosku di garment itu, Wira juga di sela waktu saat tidak sedang mengantar bosku bepergian untuk urusan bisnis atau yang lainnya, ditugaskan sebagai tukang cuci pakaian yang baru selesai di jahit. Berkodi-kodi pakaian dewasa dan anak-anak dia cuci dan jemur di halaman garment, dibantu oleh beberapa kariawan laki-laki yang juga memang sebagai tukang cuci dan tukang sablon di garment itu.

Karena mesin jahit yang aku gunakan untuk bekerja berada dekat dengan jendela ruang kerja, aku bisa dengan leluasa sekali-sekali mencuri pandang kepada Wira. Sesekali juga aku tertangkap basah oleh matanya ketika aku sedang meliriknya. Duh ... aku malu tapi hati ini tak mau berhenti untuk memikirkannya.



Segampang itukah aku untuk mencintai seseorang hanya melalui pandangan mata dan juga ramah tutur katanya? Ah mungkin aku sudah gila, tapi memang begitu adanya.

Saat orderan dari konsumen semakin banyak, aku jadi harus lembur hingga larut malam, bahkan terkadang tak ada hari libur dalam sebulan, hal itu tak membuat nyaliku ciut untuk tetap bekerja, karena bosku, Pak Heri, juga memberikan bonus dan uang lembur pada semua kariawannya.

Sampai suatu ketika aku jatuh sakit karena kelelahan bekerja. Selama tiga hari sudah aku terkulai lemas di dalam kamar mesku. Saudaraku yang mengajak bekerja di garment ini namanya Nisa, dia yang mengurusku selama tiga hari itu, tetapi karena ada keperluan mendadak di kampung, dia harus pulang.

Di hari keempat, pada pagi hari aku masih lemas, dokter yang memeriksaku mengatakan aku terkena gejala anemia. Tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuk, suara seorang laki-laki memanggil namaku dan rasanya aku sudah tak asing lagi dengan suara itu.

"Sri, Sri ... sudah bangun Sri?"

"Siapa di depan pintu?" tanyaku.

"Ini aku Sri, Wira."

Hah? Wira? Kenapa dia hendak menemuiku?

"Iya, masuk aja Mas, nggak aku kunci kok."

Setelah kupersilahkan, ternyata Wira masuk dengan membawa semangkuk bubur ayam dan teh hangat untukku.

"Ini Sri, sarapan dulu biar kamu lekas sembuh."



Kembali senyumnya dan ekspresi wajah yang tampan itu membuat pertahananku luluh lantah. Aku hanya bisa tersenyum namun hati ini berdebar kencang.

"Iya makasi Mas."

"Ngggak usah malu sama aku Sri, aku dimintai tolong di suruh bawain kamu bubur sama Pak Heri."

Pak Heri? batinku.

"Iya Mas, makasi ya, sudah repot-repot bawain aku sarapan."

Kami pun hanyut dalam obrolan berdua, bercerita tentang kampung halaman, dan juga keluarga di sana. Ternyata Wira adalah seorang tulang punggung keluarga, sebagian besar gajinya tiap bulan dia kirimkan ke Jawa untuk menghidupi Bapak - Ibu dan kelima adiknya. Aku semakin terkesima dengan semua ceritanya yang menandakan bahwa dia laki-laki yang bertanggung jawab. Dia mengaku sudah lima tahun bekerja dan merantau di Bali. Sementara aku hanya baru beberapa bulan saja mengenal kehidupan kota di perantauan.

Keesokan harinya saudaraku Nisa datang dari kampung, ya kami memang satu kamar mes berdua.

"Nisa, kamu kemarin ada bilang apa sama Pak Heri?"

"Aku cuma nitip kamu sama beliau Sri, selama satu hari kemarin aku pualng kampuang, emang kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa kok, Nis, bos kita baik ya," jawabku merahasiakan kalau Pak Heri menyuruh Wira untuk membawakanku sarapan dan makan siang juga makan malam.

Aku senang bekerja di garment ini, terlebih ada sosok pria idaman yang aku suka.

Lama kelamaan aku dan Wira menjadi semakin akrab, entah karena apa, ada saja moment-moment dimana tanpa sengaja aku bertemu dengannya di waktu jam kerja, bahkan tak jarang kami berdua ditugaskan untuk mengirim barang pesanan berdua dengan mobil perusahaan oleh bosku. Aku ditugaskan untuk mengecek barang yang masuk dan barang yang keluar dari garment, juga menerima bukti pembayaran dari konsumen.

Karena hal itu tak jarang di kalangan para pekerja lain menggosipkan bahwa diriku ada hubungan serius dengan Wira. Sesekali bibirku membantah hal itu pada setiap teman kerja yang bertanya, tapi hatiku mengiyakannya.

Suatu saat di malam minggu, Wira kembali datang mengetuk kamar mes ku.

"Sri, kamu dicari sama Wira tuh," bisik Nisa saudaraku.

"Iya Nis kayaknya dia yang datang."

"Emang kamu udah ada janji sama dia?"

"Nggak ada Nis, aku juga nggak tau kenapa dia nyariin aku."

"Yaudah Sri, kamu samperin aja dia sana!"

Pintu kamar mes kubukakan dan kulihat ternyata memang Wira.

"Eh, Mas Wira, ada apa ya Mas?"

"Hmm Sri, jalan-jalan yuk keluar sama aku!" ajak Wira.

Nisa juga mendengar ajakan itu dan mengedipkan matanya padaku memberikan kode bahwa sebaiknya aku menerima ajakan Wira.

Aku pun menyuruh Wira untuk menunggu di luar sementara aku sedikit berdandan, hahaha, bagai bocah ABG yang baru pertama kali ketemu sama pangerannya, aku gerogi dan bingung mau berdandan dengan dadanan seperti apa, karena ini menjadi kencan atau entah apa namanya yang pertama bagiku, dengan seorang laki-laki pujaan hati.



Singkat cerita, setelah turun dari bemo yang kami tumpangi di Taman Lapangan Puputan Badung Bali, Wira mengajakku untuk duduk di sebuah kursi dekat dengan taman yang di atasnya juga terdapat lampu temaram.

Suasana saat itu masih cukup ramai, karena jam tanganku masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, banyak orang yang memang sengaja datang untuk berkunjung ke sana.

Aku hanya diam, tak tahu harus memulai percakapan dari mana, sampai Wira bilang sesuatu kepadaku.

"Sri, aku mau minta maaf sama kamu, gara-gara aku kamu jadi digosipin sama teman-teman kerja kita. Aku minta maaf ya Sri."

"Iya nggak apa-apa kok Mas, aku nggak marah sama sekali."

Wira tersenyum, dan kembali senyuman itu meluluhkan hatiku.

"Hmm Sri, kamu mau nggak .... ?

Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, aku malah berucap,

"Mau Mas, aku mau jadi pacar kamu."

"Hahahaha ...." Wira tertawa sambil ada semburat semu merah di wajah kami berdua.

"Eh ... Eh ... maafin aku mas, aku lancang sama Mas Wira," sanggahku dengan semu jengah. Bodohnya aku yang mabuk cinta ini.

Entah kenapa juga Wira malah merapatkan duduknya denganku dan merangkul pundakku dengan lengan kirinya, aku kaget dan tak bisa berkutik seperti terkena setrum rasanya, yang menjalar ke sekujur tubuhku. Tangan kekar Wira menyentuh pundak dan lengan kiriku.

"Beneran kamu mau jadi pacarku Sri?" tanyanya padaku.

"I .. Iya Mas aku mau."

Wira berdiri yang berteriak "Yessss ..." dengan kencang, yang mengagetkan beberapa pengunjung lainnya di taman itu.

"Mas, ih udah mas jangan lari-lari gitu, malu aku mas," protesku kepada Wira yang kegirangan seperti anak kecil.

Semenjak itu, Wira sah menjadi pacarku, rumor dan gosip yang beredar pun tak lagi terdengar, karena dengan konyolnya Wira mengumumkan kalau aku sudah menjadi pacarnya hahaha.

Kami saling berbagi rasa saling berbagi keluh kesah, bahkan sesekali aku membantu Wira untuk biaya sekolah adiknya di Jawa. Aku bisa mengerti itu, gajinya pasti tidaklah cukup, yang mana saat itu kelima adiknya yang terpaut umur tidak terlalu jauh harus bersekolah semua.

Kami menjalin hubungan dengan normal layaknya sepasang kekasih idaman dari semua orang. Tak ada pertengkaran, yang ada hanya bunga-bunga cinta. Tapi ... beberapa bulan kemudian entah kenapa Wira seperti tersulut sesuatu yang entah apa, saat itu aku masih begitu lugu dan polosnya.

Wira semakin berani terhadapku, terkadang dia sudah melampaui batasan, dengan disengaja menyenggol beberapa bagian tubuhku.

"Mas, jangan gitu, ini kita sedang bekerja dan status kita kan masih pacaran!" Protesku pada Wira saat kami hanya tengah berdua di dalam mobil yang kami gunakan untuk mengirim pesanan handuk dan bed cover ke sebuah Hotel. Beberapa kali juga entah dengan di sengaja atau tidak, saat Wira sedang mengoper perpindahan gigi percepatan mobil, tangannya memegang paha kananku.



Saat aku protes kepadanya, Wira malah tertawa cengengesan dan membela dirinya kalau dia tidak sengaja saja.

Bukannya merasa bersalah dia malah semakin berani untuk mengambil tanganku. Bukanya aku tidak suka, tapi karena perlakuannya tadi aku malah merasa seperti dilecehkan.

Aku jadi risih dengan Wira, sejak saat itu aku lebih menjaga diri saat berada di dekatnya, sampai saat Wira kembali datang ke kamar mesku, kebetulan saat itu Nisa harus pulang kampung lagi, iya, Nisa saudaraku harus menengok anaknya di kampung minimal sebulan sekali, Nisa adalah seorang janda yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya.

Tanpa permisi, Wira menerobos masuk begitu saja ke kamar mesku, matanya seolah penuh dengan nafsu. Saat aku tengah berhias di depan cermin, dia memelukku sangat erat dari belakang dan tangannya bergrelia memegangi bagian-bagian feminim dari tubuhku. Sontak aku kaget dan marah kepadanya.

Aku melepas pelukan tangannya, kemudian berdiri menghadap Wira, dengan geram aku menampar Wira sekeras-kerasnya, saat aku hendak berteriak kencang, Wira membekap mulutku dan dia berkata,

"Sri aku mohon, aku sudah tak tahan Sri."

Aku melepas bekapan tangannya dan kembali menampar pipinya dengan keras, "Pergi kamu Mas!!!" bentakku. "Kalau kamu mau menikahiku, baru aku akan melayanimu layaknya sebagai seorang istri yang baik untukmu, bukan begini caranya Mas! Pergi!!!"

Dengan rasa jengah Wira pergi meninggalkanku. Aku menangis terisak, untung saja Tuhan masih memberiku kekuatan untuk melawan perlakuan Wira kepadaku.



Sejak saat itu, hubungan kami mulai renggang, status kami pun masih mengambang.

Seminggu kemudian di pagi hari, garment tempatku bekerja dihebohkan dengan kegaduhan di halaman tengah garment, juga terdengar suara sirine yang Cumiakkan telinga.

Aku yang baru saja terbangun segera bergegas keluar untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Alangkah terkesiapnya aku saat melihat pergelangan tangan Wira yang telah diborgol dan digiring oleh Pak Polisi, Terlihat juga istri Pak Heri yang menangis dan memaki-maki Wira dengan berbagai umpatan kotor.

Pak Heri ternyata yang melapor kepada polisi untuk segera datang dan menangkap Wira. Iya rumah bosku itu memang masih berdekatan dengan areal garment tempatku bekerja, Wira telah merudapaksa Melani, anak kandung dari bosku. Dan pagi itu juga kejadiannya, saat Pak Heri dan Istrinya sedang pergi ke pasar berdua dan Wira ditugaskan untuk mengantar anaknya Pak ke sekolah. Sebagai supir pribadi, Wira juga memang ditugaskan untuk mengantar anak Pak Heri untuk berangkat ke sekolah dengan mobil pribadi bosku itu.

Melani yang tengah duduk di bangku kelas 3 SMA, ternyata sebelumnya telah tiga kali digauli oleh Wira, dengan cara mengancam Melani agar tidak mengadu pada siapa-siapa bila ingin menyelamatkan nyawanya. Kejadian sebelumnya itu pun ia lakukan di dalam mobil saat menjemput Melani dan dalam perjalanan pulang ke rumah. Bukannya langsung pulang, Wira malah mengarahkan mobilnya ke tempat yang sepi.

Sungguh Tuhan masih menyayangiku saat itu, sampai saat ini pun aku masih berterimah kasih pada Tuhan atas segala nikmat dan rahmat yang telah Beliau limpahkan kepadaku.

Beberapa tahun kemudian, setelah bangkit dari keterpurukan dan rasa patah hati yang mendalam. Aku bertemu dengan Bli Wayan, yang akhirnya kami menikah dan telah dikaruniai tiga orang anak.

Semoga pengalamanku ini bisa memberi Gan-Sis semua pembelajaran yang berharga, kita tidak boleh terlalu mudah untuk jatuh cinta, karena Tuhan pasti suatu saat akan mempertemukan kita dengan orang yang tepat, yang memang jodoh sejati kita sampai akhir hayat.

Nafsu bukanlah modal awal dan dasar dalam menjalin sebuah hubungan. Tapi rasa saling menghormati dan menghargai, menunjukkan sikap yang bertanggung jawab, berani untuk menikahi sang pujaan hati, dan bertanggung jawab untuk menyayangi dan menghidupi anak istri, itulah jiwa seorang pemenang dalam sebuah jalinan cinta.

Penulis : srinami
Diubah oleh srinami 24-04-2020 12:19
ButetKerenAvatar border
abellacitraAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 33 lainnya memberi reputasi
34
1.4K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.