Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

fitrijunitaAvatar border
TS
fitrijunita
Ketika Skenario-Nya Tak Sama Dengan Pinta Kita


Semua berawal dari sebuah kisah yang terjadi pada tahun 2008 awal. Kedai kopi favoritnya yang berlokasi dekat stasiun kereta api yang berlokasi di Jakarta Pusat, menjadi saksi bisu pertemuan terakhir kami. Aku dan laki-laki asal sunda. Cinta pertama, yang sama-sama memliki tujuan yang sama, yaitu pernikahan.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Saat itu selepas jam mengajar, sore hari seperti biasa, sambil menunggu jam macet berkurang, aku mampir ke pondok siomay terlezat dan termurah yang pernah aku ketahui, sebelum kembali pulang ke rumah. Tak ada angin dan tak ada hujan, tiba-tiba seorang pelayan pondok makan langsung menghampiriku yang baru saja menduduki bangku paling ujung sebelah kanan dekat pintu masuk.

“Ini siomaynya, Mbak. Silakan dinikmati,” ucap pelayan laki-laki muda yang terlihat seperti baru menamatkan seragam putih abu-abu.

Aku terdiam beberapa detik sambil menatap makanan dan minuman yang berada di hadapanku. “Loh, saya kan belum pesan, Mas?”

“Iya, Mbak. Tapi tadi udah dipesenin ama mas-mas yang duduk di meja nomor empat.” Pelayan tersebut menjelaskan kebingunganku sambil menunjuk ke arah yang ia maksud tadi.

Terlihat seorang laki-laki mengenakan jaket kulit berwarna hitam sedang duduk memunggungiku. “Sapa ya?”batinku bertanya, “Kok bisa tau pesananku ya?” Ingin rasanya menghampiri laki-laki asing tersebut, tapi rasa lapar lebih mendominasi. Tanpa membuang waktu, aku langsung memakan hidangan yang telah berkurang suhu panasnya. Nggak baik kan, menolak rezeki hehehe.

Tak lama, saat sedang asyik menikmati siomay, tiba-tiba ada sebuah suara yang mengalihkanku dari sepiring siomay. “Laper banget ya?” sapa laki-laki yang sepertinya, telah memesankan makanan untukku tadi sembari memamerkan sederetan gigi putihnya.

Deg! Seketika jantungku berdetak lebih cepat, antara senang dan bingung. “Dia? Kenapa ada di sini?” tanyaku dalam hati

“Kenapa sih? kok ngelihatin Aa kayak ngelihat hantu aja,” ucap Aa Iswadi sambil duduk tepat di hadapanku.

“Aa ngikutin aku ya?” tuduhku cepat mengabaikan sapaannya.

“Kenapa sih, A?” ucapku lirih sembari mencoba menahan rasa sesak di hati.

“kantor Aa deket sini, kalau kamu lupa.” Ucapannya membuatku ciut dan tak berani menatapnya lagi. Kenapa aku bisa lupa ya, kalau kantornya memang dekat dari pondok siomay langgananku. Tapi aneh kalau sekarang Aa tiba-tiba muncul di sini, padahal hampir setiap sore aku selalu mampir di sini.

“Jangan bilang ... kalau siomay yang aku makan ini, Aa yang pesenin?” Hatiku menghangat saat menyadari kalau laki-laki yang kupanggil Aa ini masih hafal dengan kebiasaanku memesan siomay.

“Kamu, apa kabar, Fit?” tanyanya mengabaikan tebakanku barusan.

Tak lama aku mendengar suara kekehan darinya karena kebisuanku. Suara yang telah membuat hati ini rindu dan sakit bersamaan. Rindu karena sesuatu hal, kami harus saling menjaga jarak dan sakit karena sadar kalau kami memang tak boleh memiliki hubungan lebih dari teman tapi hati kami saling bertautan.

“Aa cuma mau ngajak kamu berjuang lagi, Fit,” ucap Aa Iswadi dengan sangat pelan tapi sangat terdengar jelas di indera pendengaranku.

“Udah nggak ada lagi yang perlu diperjuangkan, A.” Sudut mataku mengabur saat mengingat tentang hubungan kami, “Aa tau jelas, apa dan siapa yang nggak merestui hubungan kita.”

Mungkin jika orang lain tanpa ada hubungan darah yang tidak merestui hubunganku dengan laki-laki yang berusia empat tahun di atasku ini, aku tak akan ambil pusing. Tapi nyatanya ....

“Mama pasti luluh, Fit, kalau kamu lebih intens datang ke rumah. Aa yakin itu.” Entah kenapa, keyakinan laki-laki yang entah sejak kapan telah mengalihkan duniaku ini, sama sekali tak bisa mengubah keputusanku.

“Aa nggak punya banyak waktu lagi, Fit, tapi Aa maunya sama kamu,” pintanya lirih.

Jebol sudah pertahanan air mata yang susah payah aku tahan dari tadi. Rasanya malu menangis di tempat umum dan, di hadapannya, lagi. Tapi sungguh, aku juga merasa sakit saat laki-laki yang kupanggil Aa ini memohon kepadaku.

Suara adzan maghrib menghentikan pembicaraan kami. Dengan beriringan, kami berjalan menuju masjid yang tak jauh dari pondok makan, setelah Aa membayar makanan kami berdua.

“Aa antar pulangnya, jangan menghindar lagi,” ucapnya sebelum kami berpisah saat tiba di depan masjid yang membedakan pintu masuk laki-laki dan perempuan.

🌹🌹🌹🌹🌹


Semilir angin menerbangkan ujung jilbab yang kukenakan hari ini. Tak lama Aa muncul setelah aku menunggunya tak jauh dari gerbang masjid, tempat kami melaksanakan Sholat Maghrib sepuluh menit yang lalu.

“Dari tadi, nunggunya?” tanya Aa dengan tatapan teduhnya.

Aku hanya menggelengkan kepala atas pertanyaannya. “Aku ... langsung pulang ya, A?” pintaku cepat.

“Tapi, kita belum selesai, Fit.” Aa langsung menolak permintaanku dengan cepat. “temenin Aa ngopi sebentar ya, please?”

Tak ingin membuang waktu lebih lama, aku pun segera berjalan mendahuluinya ke kedai kopi langganan kami, yang bersebelahan tepat di pondok makan siomay tempat kami makan tadi.

Setibanya di kedai kopi favorit kami, Aa langsung memesan cappucino kesukaan kami berdua. Suasana hening selama pesanan belum tiba.

“kamu mau kan, Fit?” tanyanya tiba-tiba setelah dua cangkir cappucino telah berada di meja kami berdua.

“Mau apa?” jawabku bingung dengan maksud pertanyaannnya.

“Mau ... mengusahakan kembali hubungan kita? Memperjuangkannya sekali lagi.”

“Aa, kita nggak bisa merubah takdir.” Aku mencoba menjelaskan kembali penghalang hubungan kami berdua, “Aku terlahir dari suku keluarga yang mama nggak suka dan nggak mau punya menantu orang dengan suku kayak keluarga aku. Perjuangan seperti apa yang mau kita usahakan berdua, A?” tanyaku putus asa.

“Iya, tapi kita bisa buktikan, kalau nggak semua orang minang itu seperti tetangga Aa, Fit.”

Sebenarnya aku mengerti dengan kekhawatiran wanita yang melahirkan laki-laki yang telah menjadi penghuni hatiku ini. Beliau khawatir, kalau aku akan sama dengan tetangga rumah Aa, yang stres dikarenakan mempunya istri orang minang. Namun, sungguh aku merasa tak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah pola pikir beliau.

“Kita berjuang sama-sama ya. Tolong fit, kamu cukup datang lebih intens ke rumah dan sering-sering ngobrol ama mama. Bisa ya? Anggap kalau mama menyukai kamu.”

Kembali air mata telah memenuhi sudut indera penglihatanku. Sungguh aku ingin sekali melakukan permintaan Aa, tapi aku tak bisa berpura-pura lupa, kalau nyatanya, wanita paruh baya yang telah melahirkan laki-laki di hadapanku ini, tak menyukaiku hanya karena asal usul suku keluargaku.

Aku menggelengkan kepala sambil menahan isakan dan berkata, “Maaf, A. Aku nggak bisa. Mungkin kita berdua, memang tak berjodoh. Aku nggak mau kita berdua berharap terlalu jauh."

Aa Iswadi menatapku dengan tatapan kecewa. Aku tahu kalau ia terluka dan sakit dengan kepasrahanku, tapi nyatanya aku atau pun dia sama-sama tak bisa mengubah takdir, kalau aku memang terlahir dari suku yang tak disukai oleh mamanya.



Terkadang saat dua orang saling mencintai dan memiliki tujuan yang baik yaitu pernikahan. Harus sadar kalau mereka juga mempunyai pilihan yang tak menyenangkan. Suatu pilihan kalau bisa saja, akhir kisah cinta mereka berakhir tak bahagia.

Cukup perjuangkan secukupnya, agar jika suatu saat kelak pemilik kehidupan menakdirkan kisah cinta kita tak berakhir bahagia, maka kita akan merasakan rasa sakit yang secukupnya juga.



MinangKabau, 24April2020
Diubah oleh fitrijunita 25-04-2020 03:16
abellacitraAvatar border
tuliptulipjeAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 46 lainnya memberi reputasi
47
997
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.