Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

larasindriaAvatar border
TS
larasindria
Korban Corona
Sahabat ya Gitu

"Tyas, makan yuk! Sudah lapar nih. Duuuh! Panas banget ya, hari ini?" ajak Mita, sambil menarik pelan tanganku ke arah meja makan. Barang belanjaan yang sebelumnya digenggam sekarang tergeletak tak berdaya di lantai. Aku pun juga merasakan yang sama. Hampir tiga jam kami berkeliling di pasar modern mencari bahan untuk membuat masker wajah. Lapar?! Tapi adab bertamu, tidak boleh dilupakan.

Kulihat berbagai lauk di atas meja. Ada telur dadar, bakwan tahu, tempe, kuah sop dan ... ayam goreng. Teringat tadi pagi, sarapan yang Emak buat di rumah. Nasi sisa kemarin, digoreng dengan satu butir telur dan bawang putih. Untuk adikku, Lia dan si bungsu Ali. Sedangkan aku, Emak dan Bapak harus membiasakan diri 'berpuasa'. Bapak sudah tidak bekerja--sebagai tukang parkir--sejak virus corona mewabah, jadi semua harus serba di hemat.

"Eh ...." Aku tersentak, saat merasa ada yang mencolek tangan.

"Kamu mikirin apa? Disuruh makan malah diliatin aja, emang bisa kenyang kalo cuma dipandangin doang?" tanya Mita menggoda.

Sudah tiga bulanan ini, habis pulang sekolah, aku membantu Mita--sahabat sejak SMP, hingga kini, sekolah di SMA yang sama--memproduksi masker wajah untuk dijualnya secara online. Berarti sudah selama itu pula, makan siangku pindah ke rumah ini.

Namun, kenapa siang ini berbeda? Wajah adik dan Emak saat sarapan tadi berkelebatan di mata. Jadi manusia macam apa, aku? Bisa- bisanya makan enak tanpa memikirkan yang di rumah. Mereka sudah makan, belum?

"Kamu kenapa? Ada masalah ya?" Mita dengan lembut bertanya sambil menghapus pipiku. Ah ... tak terasa, aku melamun sambil meneteskan air mata.

"Aku makannya di rumah aja ya, bolehkan?" Jujur, aku berharap, Mita membungkuskan nasi dan beberapa lauk untuk kubawa pulang. Ya ... Allah, apakah ini sama dengan meminta-minta?

"Ceritakan, ada masalah apa? Setelah itu, kamu baru boleh pulang." Mita duduk di hadapanku, sambil tak berhenti menatap.

Harus menceritakan apa? Sedang butuh uang? Selama ini aku tak pernah mendapatkan bayaran dari membantunya membuat masker muka. Bukan karena Mita tak memberi, namun, kutolak karena aku berniat benar-benar sekedar membantu, iseng, bukan bekerja dan menerima upah.

"Ak_aku ...." mulut ini tak kuasa untuk berkata, sambil menundukkan kepala, menarik nafas dan meremas tangan, kucoba bersikap tenang, harus jujur! Harus!

"Kamu, kenapa ...?"

"Tyas, ini bayaran selama kamu bantu bikin masker wajah. Sengaja dikumpulin ke tante, biar jelas laporan keuangannya si Mita. Harus diterima, ya! Kasihkan Emakmu, semoga bermanfaat," ucap Tante Ika, Mamanya Mita, yang datang tiba-tiba sambil memberikan amplop coklat.

Serasa ada yang runtuh di dalam dada. Lega ... banget! Hingga tak kuasa lagi menahan haru, kuteteskan air mata sambil terus mengucapkan terimakasih pada Tante Ika dan Mita. Tak lupa sukur pada Allah kuriuhkan di dalam hati.

"Sudah, jangan nangis, kalau ada apa-apa tuh, ngomong aja, jangan kau simpan sendiri," ujar Mita sambil memelukku

"Iya, Insya Allah," jawabku, sambil tersenyum.

"Sudah, sana pulang! Bawa ini buat adikmu, terus itu yang kresek merah juga bawa, mulai besok bikinnya di rumah aja, entar kalo dah selesai, kamu setor ke sini sekalian ambil bahan lagi." Tante Ika memberikan kresek hitam yang lumayan berat. Sambil menunjukkan barang yang tadi beliau suruh bawa.

"Makasih, Nte ...." Mulutku kelu saking terlalu bahagia.

"Iya, udah cepat pulang, mumpung masih siang," jawab Tante Ika, sembari melangkah masuk ke dalam kamar.

Setelah berbasa basi sedikit dengan Mita, aku pun pamit. Namun, ada yang berbeda. Langkah ini sekarang terasa ringan, tidak seperti waktu berangkat tadi pagi. Kugenggam amplop berwarna coklat itu dengan erat.


Ada yang aneh dari pandangan tetangga di sekitar rumah, saat kaki ini baru saja tiba di depan pintu pagar. Mereka seperti ingin mengatakan sesuatu. Beberapa ada yang saling berbisik sambil mencuri pandang ke arahku.

Sayup terdengar suara gaduh antara Emak dan Lia dari dalam rumah. Ada apa, ya?

Kubuka pintu rumah dengan tergesa, meletakkan begitu saja barang yang kubawa di lantai.

"Ada apa, Lia? Kenapa kamu menangis, Bapakmu mana?" Ibuku bertanya sambil memeluk Adikku.

"Ada apa? Bapak kenapa?" Tanyaku sambil mendekat dan langsung memeluk Emak dan Lia.

"Bapak ... Bapak!" Lia menjawab dengan terbata-bata, tak jelas.

Kuberdiri dan melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air bening buat Lia. Sedangkan Ibu mulai panik, menghadapi Lia yang terus menangis, dan memanggil Bapak di sela isaknya.

"Diminum, Lia," ujarku sambil menyodorkan gelas ke arahnya, yang langsung habis dia minum.

"Sekarang atur nafasmu, lalu cerita, ada apa sebenarnya?"

Lia melakukan apa yang kuperintahkan. Kini terlihat mulai agak tenang, walau isaknya sesekali terdengar

"Sekarang cerita, Bapakmu kenapa? Sekarang di mana?" Emak kembali bertanya, kulihat mata beliau mulai berkaca-kaca.

"Bapak ...."

"Assalamualaikum! Mak ...!" Suara Ali yang menjerit dari luar, serentak membuatku, Emak dan Lia berdiri dan berlari ke luar rumah.

Di halaman, tampak Bapak yang menurunkan satu kardus besar dibantu Om Heru. Sedangkan Ali melompat-lompat kesenangan, berkeliling di sekitar Bapak.

"Pak! Bapak sehatkan?" Emak bertanya sambil mengahampiri Bapak dengan langkah cepat. Aku hanya mengikuti langkahnya dari belakang.

"Kenapa, Mak? Aku sehat kok."

"Sekalian angkut ke dalam aja, Mas, mumpung ada saya yang bantu, ayo!" Om Heru memberi usul, yang di iyakan Bapak, dengan mengangguk.

Penuh semangat Bapak dan Om Heru mengangkat kardus besar ke dalam rumah, membuka dan meletakkan isinya di tempat biasanya TV kami--sebelum rusak--berada.

"Bapak, itu punya siapa?"

"Dulunya punya kami, Mbak. Sekarang punyanya Lia dan Ali." Jawab Om Heru--suami dari sahabat Emak yang bernama Tante Putri.

"Ya Allah, makasih, Mas. Maaf tadi saya khawatir, si Lia pulang-pulang manggil Bapaknya sambil nangis. Saya jadi kepikiran yang enggak-enggak" Jelas Mak sambil memandang Lia.

"Habisnya Lia bahagia banget, Mak. Dikasih TV ma Tante Putri. Katanya Biar nggak bosan di rumah, kan nggak boleh kemana-mana, takut corona?!" Alasan Lia sambil malu-malu.

"Makasih ya, Om. Bilangin ke Tante Putri, Lia sayaang ... banget ma Tante." Om Heru tersenyum sambil mengangguk beberapa kali. Bukan, bukan hanya Om yang tersenyum. Semua tersenyum.



Moga badai cepat berlalu
ainamaritzaAvatar border
999999999Avatar border
999999999 dan ainamaritza memberi reputasi
2
454
0
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Cinta Indonesiaku
Cinta IndonesiakuKASKUS Official
5.3KThread2.5KAnggota
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.