Jaluradalah perahu tradisional yang secara fisik terbuat dari sebatang pohon kayu tanpa sambungan sama sekali dan umumnya dibentuk menjadi perahu pipih sepanjang 25 - 27 meter dengan lebar 1,5 meter. Ukiran memenuhi bagian lambung dan buritan memperlihatkan keindahan yang tak lekang oleh zaman.

Awal abad ke-17 jalur merupakan alat transportasi utama penduduk di Rantau Kuantan, yaitu daerah di sepanjang Sungai Kuantan karena saat itu angkutan darat belum berkembang. Jalur digunakan untuk mengangkut hasil bumi dan tentunya mengangkut manusia dengan kisaran 40 orang.

Seiring waktu muncul lah jalur-jalur yang diberi ukiran indah seperti kepala ular, buaya dan harimau. Ditambahkan juga beberapa perlengkapan seperti payung, tali temali, selendang, tiang tengah dan lambai-lambai (tempat juru mudi). Berawal dari situ akhirnya jalur bukan hanya sebagai alat transportasi tapi juga menunjukan identitas sosial penggunanya.

100 tahun kemudian jalur mempunyai sisi lebih menarik setelah diadakan adu kecepatan jalur yang akhirnya disebut PACU JALUR. Awalnya dilaksanakan kampung-kampung sepanjang Sungai Kuantan saat memperingati hati besar Islam, seperti Maulid Nabi, Idul Fitri dan Tahun Baru 1 Muharram.

Saat itu tidak ada hadiah yang diperebutkan, hanya pesta rakyat berupa makan bersama dengan menu khas seperti konji, godok, lopek, paniaran, lida kambiang dan buah golek. Di beberapa kampung ada juga yang menyediakan hadiah marewa yaitu bendera warna-warni berbentuk segitiga dengan renda di pinggirnya.

Saat pendudukan Belanda yaitu tahun1905, mereka tertarik dengan kemeriahannya sehingga memanfaatkan pacu jalur untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhemina yang bertepatan dengan tanggal 31 Agustus. Beberapa penduduk menganggapnya itu sebagai acara tahun baru sehingga ada yang menyebutnya tambaru.

Sempat terhenti saat pendudukan Jepang. Tapi pesta rakyat ini dihidupkan kembali setelah masa kemerdekaan dengan pelaksanaan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yaitu setiap tanggal 17 Agustus.