eddo1982Avatar border
TS
eddo1982
Rahasia gelap Bhutan untuk bisa hidup bahagia

Saat mengunjungi Thimphu, ibu kota Bhutan, saya tiba-tiba berkesempatan untuk duduk di hadapan seorang pria bernama Karma Ura, dan mencurahkan isi hati saya.

Mungkin karena orang itu bernama Karma, atau karena udara tipis miskin oksigen, atau karena saya melakukan perjalanan dan membuat pertahanan saya luluh.

Saya memutuskan untuk menceritakan hal yang sangat pribadi. Tak lama sebelum saat itu, iba-tiba saja, saya mengalami gejala-gejala yang menakutkan: susah bernapas, pusing, tangan dan kaki mati rasa.

Mula-mula, saya takut saya kena serangan jantung, atau menjadi gila. Atau mungkin keduanya. Jadi saya pergi ke dokter, yang melakukan serangkaian pemeriksaan dan menemukan...

“Tidak ada apa-apa,” kata Ura. Bahkan sebelum saya menyelesaikan kalimat saya, ia sudah tahu bahwa ketakutan yang saya rasakan tidak beralasan.

Saya tidak akan mati, atau paling tidak, tidak secepat yang saya takutkan. Saya hanya mengalami serangan panik.


captionThimphu, ibu kota Bhutan.

Yang ingin saya ketahui adalah: mengapa sekarang – hidup saya tidak seperti biasanya sedang berjalan baik – dan apa yang dapat saya lakukan untuk hal ini?

“Anda harus memikirkan tentang kematian selama lima menit setiap hari,” Ura menjawab. “Itu akan menyembuhkanmu.”

“Bagaimana bisa?” Saya bertanya dengan kebingungan.

“Hal inilah, rasa takut akan kematian ini, rasa takut akan meninggal sebelum kita mencapai apa yang kita inginkan atau ingin melihat anak-anak tumbuh dewasa. Hal inilah yang mengganggu Anda.”

“Tetapi mengapa saya ingin memikirkan hal yang membuat depresi?”

Kebahagiaan Nasional

“Orang-orang kaya di negara Barat, mereka belum pernah menyentuh mayat, luka yang segar, barang yang busuk. Ini yang menjadi masalah. Ini merupakan kondisi manusia biasa. Kita harus siap untuk saat-saat kita berhenti berada lagi di dunia ini.”

Tempat, seperti halnya manusia, memiliki hal-hal yang dapat mengejutkan kita, dengan syarat kita terbuka menerima kemungkinan adanya kejutan dan tidak diberati oleh pemikiran yang sudah terbentuk sebelumnya.

Kerajaan di Himalaya ini terkenal karena kebijakan Kebahagiaan Nasionalnya yang inovatif; ini merupakan bumi di mana kebahagiaan berkuasa dan kesedihan dilarang masuk.

Bhutan memang tempat yang istimewa (dan Ura, direktur Pusat Kajian Bhutan, merupakan orang yang istimewa) tetapi keistimewaan itu berbeda, dan jujur saja, tidak secerah gambaran tentang Shangri-La yang kita bayangkan.

Sebenarnya, dengan menganjurkan saya untuk memikirkan tentang kematian sehari sekali, Ura sudah membuatnya lebih mudah bagi saya.

Dalam budaya Bhutan, orang diharapkan memikirkan tentang kematian lima kali sehari. Ini hal yang menakjubkan untuk dilakukan untuk orang mana pun, tetapi tentunya lebih istimewa lagi karena ini dilakukan di negara yang dianggap negara terbahagia seperti Bhutan.

Ataukah diam-diam negara ini merupakan negara kegelapan dan keputusasaan?


Peringatan Chorten di Thimphu.

Tidak tentu juga. Sejumlah penelitian baru-baru ini menyebutkan bahwa dengan begitu sering memikirkan tentang kematian, warga Bhutan mungkin mencapai sesuatu.

Dalam studi tahun 2007, psikolog dari Universitas Kentucky, Nathan DeWall dan Roy Baumesiter, membagi beberapa puluh murid mereka ke dalam dua kelompok.

Satu kelompok disuruh memikirkan bagaimana mengalami rasa sakit ketika pergi ke dokter gigi, sementara kelompok lainnya diinstruksikan untuk berkontemplasi mengenai kematian mereka.

Kedua kelompok kemudian diminta melengkapi kata-kata, seperti “jo_”.

Kelompok kedua – yang sudah memikirkan tentang kematian – lebih mungkin membuat kata yang positif, misalnya “jo_” menjadi “joy” (bahagia).

Hal ini membuat kedua peneliti menyimpulkan bahwa “kematian merupakan fakta yang mengancam secara psikologis, tetapi ketika orang merenungkannya, kelihatannya sistem otomatis mulai mencari pikiran-pikiran yang membahagiakan”.

Kematian bagian dari kehidupan

Saya yakin, hal-hal ini tidak akan mengejutkan Ura, atau orang Bhutan lainnya. Mereka tahu, suka atau tidak, kematian merupakan bagian dari kehidupan, dan mengabaikan kebenaran penting ini menyebabkan bisa membuat orang harus membayar mahal secara psikologis.

Linda Leaming, penulis sebuah buku bagus A Field Guide to Happiness: What I Learned in Bhutan About Living, Loving and Waking Up (Panduan Lapangan untuk Mencapai Kebahagiaan: Apa yang Saya Pelajari di Bhutan tentang Kehidupan, Cinta dan Bangun)¸ juga mengetahui tentang hal ini.

“Saya menyadari memikirkan tentang kematian tidak membuat saya depresi. Hal ini malah membuat saya untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan melihat hal-hal yang biasanya tidak saya lihat,” tulis Leaming.

“Nasihat saya: lakukanlah. Pikirkan hal-hal yang tak terpikirkan, hal-hal yang menakutkan Anda untuk memikirkannya beberapa kali sehari.”

Tidak seperti kebanyakan orang di negara-negara Barat, orang Bhutan tidak mengucilkan kematian.

Kematian – dan gambar-gambar tentang kematian – ada di mana-mana, terutama di ikonografi Buddhis.

Di sana kita akan melihat ilustrasi berwarna-warni yang mengerikan, Tidak ada seorang pun, bahkan anak-anak pun, yang dilindungi dari gambar-gambar ini, atau dari tari-tarian ritual yang menggambarkan kematian.

Lebih baik dari obat antidepresi

Ritual memberikan tempat untuk berduka, dan di Bhutan tempat itu ada dan diperuntukkan untuk semua orang di komunitas.

Setelah seseorang meninggal, ada periode 49 hari berkabung, yang menyertakan ritual-ritual yang diatur dengan sangat terperinci dan hati-hati.

“Ini lebih baik dari obat antidepresi,” kata Tshewang Dendup, seorang aktor Bhutan kepada saya.

Orang Bhutan mungkin kelihatannya tidak terlalu peduli pada saat-saat ini. Tetapi sebenarnya tidak, mereka berkabung melalui ritual ini.

Mengapa sikap mereka begitu berbeda tentang kematian? Salah satu alasan orang Bhutan begitu sering memikirkan tentang kematian karena semua itu ada di sekeliling mereka.

Untuk negara kecil ini, ada banyak cara untuk meninggal. Mereka bisa meninggal di jalan sempit berkelok-kelok yang berbahaya. Mereka bisa diterkam beruang atau makan jamur beracun.


Penganut agama Buddha berada di depan patung Buddha Dordenma di Thimphu.

Penjelasan lainnya adalah karena keyakinan agama Buddha yang begitu dalam di negara itu, khususnya mengenai reinkarnasi.

Jika Anda mengetahui kita bisa mendapatkan kehidupan lagi suatu masa, Anda mungkin akan kurang takut bahwa kehidupan yang sekarang ini akan berakhir. Seperti dikatakan para penganut agama Buddha, ketakutan Anda akan kematian tidak boleh lebih besar daripada ketakutan Anda membuang baju tua.

Hal ini tentunya tidak bisa dijadikan kesimpulan untuk bahwa orang Bhutan tidak merasa takut atau sedih.

Mereka tentu merasakannya. Namun, seperti kata Leaming kepada saya, mereka tidak melarikan diri dari emosi-emosi itu.

“Di negara-negara Barat, jika kita sedih, kita ingin mengobatinya,” katanya. “Kita takut akan rasa sedih. Jika sedih, harus diatasi, diobati. Di Bhutan, orang lebih menerima bahwa itu bagian dari hidup.”

Sementara itu, pelajaran yang diajarkan Ura, menempel di kepala saya.

Saya berusaha memikirkan tentang kematian sehari sekali. Tetapi, jika saya menjadi sangat stres, atau diselimuti suasana hati kacau yang tidak bisa dijelaskan, maka saya memikirkan tentang kematian itu dua kali sehari.

sumber : https://www.bbc.com/indonesia/vert_t...ert_tra_bhutan

0
418
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Inspirasi
InspirasiKASKUS Official
10.5KThread6.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.