Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kawmdwarfaAvatar border
TS
kawmdwarfa
PANGERAN OMPONG (I)
“Tidakkah kau lihat di sana ada meja kotor?!! Bagaimana bisa orang minum di meja kotor seperti itu, Sialan??!!”

Vinssent masih mengurusi pelanggan saat pak tua tetiba berteriak padanya. Vinssent membersihkan meja, membuatkan minuman, kembali melayani pelanggan kedai sebelum kembali diteriaki. Bisa karena tugas yang lain, sesuatu yang terjadi karena keteledorannya, atau bahkan tanpa memerlukan alasan sama sekali karena pak tua membenci Vinssent hingga ke dasar jiwanya. Seumur hidup.

Orang-orang meyakini kebenaran ini meski tidak mampu membuktikan. Bahwa Vinssent sebenarnya adalah anak dari hubungan gelap istri pak tua. Pak tua terpaksa membesarkannya, karena ia sendiri telah lebih dulu menghasilkan seorang anak dari hubungan gelap. Istrinya itu telah meninggal. Pak tua kian semena-mena memperlakukan Vinssent. Pak tua tahu Vinssent tidak minum meski telah menjaga kedai hingga sakit-sakitan. Tapi justru karena itulah pak tua memaksanya minum, sebelum menggelonggongnya hingga tersedak hampir mati, dan terkapar nyaman di tanah seperti binatang.

“Sudahlah. Kerjamu selalu marah-marah.”

Beruang yang ini bukan binatang pemarah yang menghuni rimba. Beruang yang ini adalah panggilan orang-orang karena ia tak ubahnya manusia gelandangan. Rambutnya panjang tandus, mukanya seperti semak belukar yang tidak terjamah alat pemotong. Orang-orang tidak tahu siapa nama sebenarnya. Mereka hanya tahu mereka sesama peminum, dan memberi nama Beruang sebagai penghargaan atas perawakannya yang berantakan.

“Diam kau, Beruang bodoh! Pikirkan saja hutang minumanmu!”

***

Sebelum dibuka, Vinssent terlebih dulu mempersiapkan kedai. Ia menyapu remah-remah, mencuci gelas-gelas, membelah kayu-kayu bakar, memindahkan tong-tong anggur, juga memanggang roti sebagai menu hidangan ringan nanti. Vinssent tidak bekerja sendiri. Bleki, anjing putih peliharaan pak tua, menemaninya di sana; melipat kakinya, mengangkat kepala saat Vinssent melintas, dan selalu menyahut saat Vinssent bercerita padanya.

Perapian menyala melindungi pengunjung kedai dari malam yang dingin. Begitu juga gelas minuman di depan mereka. Merekalah orang miskin, yang semiskin apapun itu, selalu mampu menyisihkan uang untuk minum di kedai. Minum membuat mereka hangat, membantu mereka pula lepas dari rasa waspada. Dari pekerjaan mereka, atau mungkin omelan istri mereka yang sangat menyiksa telinga. Koin-koin dari kantong kumal mereka menambah pundi-pundi pak tua. Lantas, dengan menjalankan kedai minum yang merupakan satu-satunya tempat hiburan di desa, apakah pak tua semakin makmur? Sayangnya, tidak selalu seperti itu.

“Berikan aku uang.”

“Kau mau berjudi lagi.”

“Tidak, aku tidak akan berjudi. Berikan saja aku uang.”

“Semua uang sudah kau ambil!”

“Kau bohong! Jelas-jelas malam ini ada banyak pelanggan!”

Bili putranya akan datang menghabiskan uang. Pak tua tidak bisa berbuat apa-apa karena pak tua mengasihi darah dagingnya sebesar ia membenci Vinssent. Bili hampir tidak pernah berada di rumah. Ia pulang hanya untuk menguras lumbung pak tua dan kembali bersenang-senang di luar.

“Lihat, kau berbohong!” Bili menemukan uangnya. Dengan kemenangan itu ia bersiap untuk kembali menjelajah dunia malamnya. Di ambang pintu Bili memandang ke Vinssent, setengah abai ia bertanya, “ke mana gigimu?” sebelum menghilang dengan tawa yang aneh.

Pak tua mulanya tidak serius menanggapi. Namun ketika ia mengamati, ia paham putranya yang mabuk itu tidak asal bicara. Vinssent sungguh kehilangan satu gigi depannya.

“Kenapa dengan gigimu?”

“Aku.....dipukuli sekelompok orang.”

Pekan lalu Vinsent diminta ke hutan di perbatasan untuk mengumpulkan kayu bakar. Sejak saat itu pak tua sama sekali tidak menyadari jika gigi anak ini telah tanggal satu. Pak tua tidak perduli oleh sebab Vinssent dipukuli orang. Namun pak tua dengan senang hati tertawa merayakan hal itu, satu-satunya bentuk tawa yang sudi ia berikan ke anak najis. Sudah makan hati dengan tingkah Bili, kemalangan Vinssent sudah barang tentu menjadi obat manjur untuk ia telan.

“Sekarang kembali bekerja, tutup mulutmu dan jangan tersenyum karena itu menjijikkan. Kau mengerti, Sialan?!”

“Baik, Tuan.”

“Sudahlah. Kau selalu marah-marah.”

“Diam kau, Beruang bodoh”

***

Vinssent masih ingat dengan jelas karena hal itu cukup traumatik. Mereka yang saat itu memukulinya pasti bukan warga biasa. Pasti bukan penduduk desa pula. Vinssent amat bersyukur dirinya masih bisa selamat. Bukan hanya gigi depan, kepalanya pun bisa saja dibuat tanggal oleh bandit-bandit kejam itu.

Ah, ia tidak boleh terlalu meratap. Kedai sudah harus dipersiapkan kembali.

Malam itu ada sedikit yang aneh dengan Beruang. Dari ia mendudukkan pantatnya hingga saat ini, ia selalu tersenyum menatap ke pak tua. Gelagatnya seperti mengandung suatu siasat. Pak tua tidak khawatir Beruang akan berbuat aneh-aneh, pak tua mendekatinya semata-mata agar senyum menjijikan itu raib secepat mungkin.

“Kau ini kenapa, Sialan?”

“Aku senang sekali. Malam ini aku bisa minum sepuasnya. Lalu, kau juga akan menganggap lunas seluruh hutangku.”

"Jahanam! Kukira kau tidak bisa lebih sinting lagi! Pergilah! Tidak ada minuman untukmu!”

“Kau pasti berterimakasih. Kita lihat saja nanti.”

Tingkah Beruang membuat pak tua muak. Vinssent diminta tidak lagi memberi Beruang minuman. Tapi Beruang memang tidak meminta, hanya duduk tenang memainkan jemarinya, tetap tersenyum ke arah pak tua. Seumur hidupnya tak pernah Beruang bertingkah seaneh itu. Pak tua menyerah. Beruang sialan, kutuknya dalam hati.

“Baiklah. Katakan apa maumu?”

“Kukira kau ingin aku pergi dari sini.”

“Jahanam! Katakan sekarang!”

Beruang tersenyum menang, dan akhirnya ia mengeluarkan selebaran dari balik bajunya. pak tua membacanya, dan pak tua kini mengikuti cara Beruang tersenyum. Rasanya seperti pak tua mengagumi cara Beruang berpikir.

“Kau cerdas.”

“Sudah kubilang, kau akan berterimakasih padaku.”

“Dari mana kau mendapatkannya? Siapa lagi yang mengetahui hal ini?

“Itu tidak penting. Dan aku pastikan belum ada yang mengetahui hal ini. Sekarang, apa aku bisa minum sepuasnya?”

“Bantulah aku dulu. Setelah itu kau bahkan boleh memiliki kedaiku.” 


***

Beruang telah memimpikan hal ini. Sebentar lagi ia bisa berdagang, barangkali akan menginvestasikan uangnya, apapun itu yang penting ia harus mengelolanya dengan cermat. Tapi sebelum ke sana, pertama-tama ia harus membantu pak tua menjalankan rencana mereka. Ia telah berhasil mendapatkan obat bius dari pedagang kenalannya, dan dengan itu mereka kemudian mencampurnya dengan minuman Bili. Ya, pak tua ingin membuat Bili pingsan sebelum mereka melakukan sedikit operasi padanya.

“Kau yang lakukan,” kata Beruang. Bili di depan mereka tak sadarkan diri, dengan tangan dan kaki terikat.

“Kau gila! Dia putraku! Mana bisa aku melakukannya!”

***

Pak tua menghampirinya di kamar. Vinssent merasa, roman mukanya bak musim langka yang tidak akan dilihat dalam kurun waktu seratus tahun.

“Aku ingin kau beristirahat saja. Hari ini kau tidak perlu bekerja.”

“Bagaimana dengan pelanggan, Tuan?”

“Tidak perlu mengkhawatirkan itu. Ada Bili yang menggantikanmu. Beristirahatlah. Segala keperluanmu akan kusediakan di sini.

“Tapi aku tidak dalam keadaan sakit.

“Jangan membantahku, Sialan!!” Lalu Pak Tua kembali mengatur nafasnya. Maafkan aku. Tapi aku ingin kau tetap di sini.”

Pak tua mengurung Vinssent di kamarnya, sementara Bili hanya mampu berbuat onar alih-alih bersikap sebagai pelayan yang baik. Pak tua berkali-kali memintanya menjaga sikap. Jika rencana mereka berhasil, keberuntungan mereka akan membaik berpuluh-puluh kali. Dan sampai tiba saatnya, Bili harus tetap waras. 

Kedai sedang tidak ramai. Beruang ada di sana, duduk memainkan jemarinya, dan dengan rasa curiga ia melemparkan jangkar pandangnya jauh ke luar jendela.

“Harusnya mereka telah tiba.”

Kau yakin tidak mendapatkan kabar yang salah?” tanya pak tua.

“Percayalah. Mereka akan datang.”

Mereka kian resah menanti. Menjelang tengah hari belum juga ada tanda-tanda bagus.  Beruang dituduh pembual busuk dan hampir kena amukan pak tua. Tidak lama setelah itu, Beruang membuktikan perkataannya. Rombongan kerajaan akhirnya tiba.

Sepasukan kavaleri berada paling depan, lalu kereta yang membawa sang raja berada di antara puluhan pasukan infanteri. Sementara orang-orang di kedai terkejut, mengira gerangan apa yang ada di balik kedatangan sang raja, terlebih raja ini bukanlah pemimpin mereka, desa mereka hanyalah tempat terpencil di luar perbatasan.  

Seorang prajurit-sepertinya panglima atau tangan kanan sang raja sendiri-memasuki kedai. Seketika suasana berubah senyap, yang terdengar hanyalah pedang yang bergoyang di pinggang si prajurit. Dari pinggangnya pula si prajurit menarik segulung kertas, membukanya, dan menunjukkannya kepada khalayak.
.***


Diubah oleh kawmdwarfa 07-04-2020 04:27
tet762Avatar border
tet762 memberi reputasi
1
425
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.