kartikanurazmiAvatar border
TS
kartikanurazmi
Perempuan yang Mencintai Hujan
Sore ini hujan turun lagi, bukan, bukan di bawah payung biru aku berteduh, tapi di bawah atap rumah. Di dekat jendela. Sebuah cara yang khas untuk melihat rintik hujan, bau tanah yang basah dan daun-daun yang tersenyum.

Bisa saja kamu, mana ada daun tersenyum. Ya, memang tidak, tapi setidaknya kalimat itu membuatmu tersenyum.

"Apa kamu tidak lelah Fahira?" tanya Ibu padaku
"Lelah soal apa, Bu?"
"Satu bulan ini kamu selalu memandangi hujan dari balik jendela."

Pertanyaan itu selalu saja ditanyakan oleh Ibu padaku. Soal rasa lelah, soal rasa sedihku yang tidak kunjung reda. Bagaimana akan mereda, jika luka itu sangat membekas.

**Dua bulan yang lalu

"Fahira, apa kamu bersedia menikah denganku?"
"Mas, kenapa tiba-tiba sekali?"
"Kenapa Dek, apa kamu tidak yakin?"

Dia melamarku di tengah jalan menuju kota. Tempat yang akan di tuju oleh Mas Fadil. Menjadi seorang pekerja sosial membuatnya selalu sibuk, hampir setiap minggu ia memenuhi panggilan jiwanya. Aku sudah menjadi urutan nomor dua. Tentu saja rasa cemburu kerap kali hadir ketika dia lebih memilih menjadi relawan daripada menemaniku atau membantuku soal mata kuliah.

Kami memang berpacaran, tapi kata pacaran itu bukan kami anggap sebagai hubungan pengikat. Lebih sebagai rekan belajar tentang banyak hal. Jika kami bertemu selalu di rumah. Jika bukan rumahnya, tentu saja rumahku.

"Iya Mas, aku mau." jawabku dengan rasa yang tersipu.

Akhirnya kujawab juga pertanyaan itu. Moment ini memang selalu aku tunggu sejak lama. Dia menetapkan hatinya padaku. Prosesi lamaran antar dua keluarga berlangsung lancar. Seminggu lagi kami menikah.

"Dek, ayo kita memilih perhiasan untukmu."
"Kenapa bukan Mas saja yang pilihkan?"
"Biar kamu lebih menyukainya ketika di pakai."

Pergilah kami berdua ke toko perhiasan. Belum sampai di dalam toko dia mendapat telpon dari rekannya.

'Fadil, ada keadaan darurat.'
'Soal apa?'
'Kita mendapat surat perintah menjadi relawan penanganan virus corona.'

Deg, ada perasaan yang menohok dadaku. Bukan sebuah pisau tapi rasanya begitu menyakitkan. Kubiarkan Mas Fadil menjawab telpon dan berdiskusi dengan rekannya. Sengaja aku sedikit menjauh. Tidak ingin mendengar lebih jauh apa yang mereka bahas.

Selesai menelpon dia menghampiriku di depan penjual minuman dingin. Aku berteduh dari terik dan membeli minuman.

"Dek...,"
"Iya Mas."
"Apa boleh?"
"Aku memang selalu nomor dua kan, Mas?"

Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya luruh juga. Apa yang harus kukatakan untuk mencegahnya pergi. Bahkan sebuah janji suci saja dia tunda.

"Mas janji, ini hanya tiga hari. Karena kami akan bergantian."
"Tapi virus ini sangat berbahaya, bagaimana jika...."

Dia mencegahku bicara dengan tangannya.
"Jangan katakan apa pun, Dek. Cukup do'akan aku saja."

Kami tidak menunda pernikahan. Katanya dia hanya tiga hari. Di hari ke empat dia akan pulang.

Kami melepsnya pergi dengan rasa resah dan juga khawatir. Dia selalu menguatkanku dengan kata-katanya, "Aku akan jaga diri dan segera kembali."

Sudah hari ke tiga. Rasanya tidak sabar menunggu pagi untuk menjemputnya. Di rumah sudah ramai sanak saudara yang datang membantu persiapan pernikahanku. Mereka semua sedang beristirahat, hanya aku saja yang kesulitan tidur hingga pagi.

"Bu, aku akan pergi untuk menjemput Mas Fadil."
"Jangan, kamu tidak boleh kemana-mana. Sudah ada adikmu yang akan menjemput."
"Biar aku ikut Ardi, Bu."
"Jangan! calon pengantin di rumah saja."

Mereka satu suara melarangku pergi.

Ada telpon masuk, tapi kenapa nomor rekannya Mas Fadil. Segera kujawab.
'Halo.'
'Mbak Fahira, saya minta maaf Mbak?'
'Maaf soal apa?'
'Seharusnya saya yang pergi menjadi tim relawan medis penelitian mengenai obat virus corona. Karena saya sedang bingung mengatur waktu dan berkomunikasi dengan istri saya, tiba-tiba Fadil pergi begitu saja ke dalam mobil tim dan segera pergi.'

Rasanya tenggorokanku tercekat, tidak mampu menjawab kalimat rekan mas Fadil lagi. Terkahir yang kudengar dia mengatakan hapenya tertinggal di tenda relawan, dia pergi bersama tim peneliti vaksin virus entah kemana.

Semua kerabat yang dari dua hari lalu sibuk membantu dengan rasa ceria dan bahagia, seketika berubah muram dan bergosip tentangku dan mas Fadil. Sebagian mereka pamit dan membereskan makanan dan juga perabot memasak. Rumah menjadi sepi kembali. Hanya aku dan kerabat dekat. Mereka mencoba menghiburku.

"Yakinlah, Nak. Kalau kalian jodoh, dia akan kembali dengan selamat."

Hanya itu dan selalu itu yang mereka katakan padaku. Termasuk Ibu, hingga hari ini, saat hujan turun lagi. Aku merindukannya, Mas Fadil dan juga janjinya. Dia seperti hujan, memberi hidup kepada banyak mahluk, hingga melupakan kehidupannya sendiri. Dia tidak peduli lagi tentang dirinya, yang ada dalan pikirannya hanya menyirami semua orang yang membutuhkannya. Seperti hujan, yang rela jatuh dari langit untuk mengharumkan bumi.

Aku meindukannya, hanya bisa melihat dari balik jendela. Bahkan jika kutangkap hujan dengan tanganku dia akan tetap melesat jatuh ke bumi.

Semoga wabah ini segera pergi, dan kamu segera kembali.


Diubah oleh kartikanurazmi 06-04-2020 23:54
JabLai cOYAvatar border
JabLai cOY memberi reputasi
1
516
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.