Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

TaufiksonAvatar border
TS
Taufikson
Sosok Misteri di Tikungan Mesjid Kampung Kami


Suatu waktu di malam Jum'at. Tahunnya aku lupa. Tapi pasti di bulan Ramadhan. Sebab. Di kampung kami yang berada jauh di pedalaman. Yang belum diterangi listrik. Yang akses kendaraannya hanya sampan. Warganya punya tradisi mengantar aneka kue basah ke mesjid pada malam Jum'at, setiap bulan Ramadhan.

Aneka penganan itu berupa wajik, limpin ayak, tungkus pisang, kelepon, juadah, putu piring, apam huruf kecil, dan lain sebagainya.

Kue yang beraneka ragam itu akan disajikan setelah selesai pengajian tadarusan Al-Qur'an. Emak-emak pasti bangga bila kue sumbangannya paling dulu disantap dan ludes satu putaran.

Yang kurang enak, atau terlalu banyak, biasanya selalu bersisa. Tapi boleh dibawa pulang oleh siapa saja. Kami menyebutnya: mutut.

Jadinya acara makan bersama itu seakan tradisi pertukaran penganan yang tak laku. Namun bernilai positif karena bisa membuat warga kompak dan bersatu.

Kami anak kampung yang memang serba kekurangan tentu saja memanfaatkan peluang emas menambah asupan gizi itu.

Makanya, walaupun tidak ikut tadarusan, kecil-kecil kami sudah termasuk golongan orang-orang yang bersabar. Bersabar menunggu tadarus selesai dengan sedikit lapar. Sebut saja ikhtiar.

Sementara tak banyak orang yang mampu bersabar, kami justru asyik menjalankannya. Karena momen bersabar itu diisi dengan berbagai aksi anak-anak kampung yang hari-harinya selalu berteman sunyi dan sepi.

Sebab pada hari-hari biasa. Sekalipun di kala senja. Anak-anak kampung yang polos dan lugu itu lebih banyak bercengkrama di huma. Menjalani kehidupan desa bersama orangtuanya. Sebagai konsekuensi terlahir di zaman baheula.

Bersyukurlah! Karena sekarang kalian berada di zaman yang serba ada.

Makanya, walaupun diterangi cahaya seadanya. Dari bias lampu petromax mesjid dan tatapan rembulan, kami asyik melakukan berbagai permainan. Malam Jum'at seperti itu menjadi sebab kami berkumpul mempererat hubungan pertemanan. Di level pedesaan.

Dari permainan yang memakai aturan, seperti basin dan sembunyi-sembunyian, sampai permainan bebas berkejar-kejaran. Sehingga walaupun paru-paru masih baru, dan belum pernah ada asap knalpot kendaraan yang masuk desa, serta hutan rimba yang masih sempurna, kami akhirnya terserang 4L juga. Lelah, lemah, letih, lesu.

Namun kami pun masih harus memperpanjang masa bersabar. Bacaan Al-Qur'an Mak yang terbata-bata dengan lagu seadanya masih jelas terdengar. 

Kami mengisi tenggang waktu itu dengan menyanyikan beberapa lagu. Dari lagu anak-anak sampai lagu orang dewasa. Di antaranya: Boneka India-nya Elya Khadam. Suara melengking khasnya kami tiru juga.

Jadinya suara kami seperti vokal wanita Eropa membawa lagu seriosa. Tentu sambil memukul-mukul apa saja sebagai musik gendang pengimbang lagunya. 

Setelah itu kami menyanyikan lagu Begadang-nya Rhoma Irama. Liriknya melarang begadang bila tak ada perlunya. Sementara kami sendiri sedang begadang menunggu jatah makan penganan gratisan.

Rupanya keributan kami di halaman mengganggu konsentrasi tetua yang sedang tadarusan. Kami diperingatkan dari atas pelantaran.

Pada saat yang sama, mendung hitam mulai menutupi rembulan. Halaman mulai gelap, menuju gulita. Hanya lampu petromax saja yang masih setia membagi cahaya. Itupun sudah lemah tak berdaya. Minta kembali dipompa. Gerimis kecil turut pula merubah suasana.

Kejadian itu dijadikan modalnya untuk menakut-nakuti kami. Seorang teman malahan ikut mendramatisir. Katanya ia melihat sosok berwarna putih melayang di pohon tengkawang.

Seorang lagi mengatakan bahwa ia juga melihat sesuatu di bawah mesjid kami yang berbahan kayu. Yang lain lagi mengatakan ia mencium bau bunga yang tak biasa.

Begitulah kami saling menakut-nakuti. Tapi sengaja dinikmati sambil berlari membubarkan diri. Ternyata, melayani rasa takut itu nikmat dan penuh sensasi.

Ada yang berlari naik ke rumahnya yang memang berdekatan dengan mesjid. Lebih banyak yang menyusul orangtuanya yang masih tadarusan. Itulah aku dan beberapa kawan.

Kami memasuki mesjid tanpa salam, tanpa permisi. Kan masih anak-anak yang harus ditoleransi. Tetapi aku diomelin oleh Emak. Katanya badanku 'bau hantu'. Mengganggu konsentrasinya menyimak bacaan Al-Qur'an temannya yang gugu.

Keringat yang meleleh dari leher dan seluruh badanku membuat organ bagian bawahku iri. Seakan ia berkata: "Ngai juga bisa o! Lebih lancar o!". Kupikir harus kuturuti tuntutannya.

Tapi rasa takut yang tadi diladeni masih menghantui. Sementara kantong kemihku semakin terasa kelebihan isi. Emak tak mau pula berkompromi.

Lain halnya bila buang air besar, pastilah aku diantar. Urusan yang satu itu, sungai masih berfungsi sebagai bandar. Tujuan semua orang yang buang air besar.

Terpaksa, dengan 2: rasa takut bercampur dengan 1: keberanian, kakiku melangkah membawa badan. Di ujung pelantar yang tak berpagar lagi-lagi aku harus ditoleransi. Di situ aku mengucurkan air seni.

Tiba-tiba di depanku lewat sosok putih seperti wanita mengenakan kerudung putih panjang. Mirip mukena. Sosok itu berjalan lurus meniti jalan setapak yang menuju ke hutan. Aku yang seharusnya takut justru menduga bahwa itu adalah manusia biasa. Tapi kok melewati jalan yang tak biasa? Siapa? Bulu tengkukku merinding. Tapi tak lama.

"Hei!"
"Hei!"
Aku menyapa tak sopan. Maklumlah, sudah anak-anak, aku juga kampungan. Yang disapa, menoleh pun tidak. Belum tau dia kalau sombong itu berdosa. Sampai akhirnya sosok berkerudung putih itu hilang terlindung sudut mesjid, bersamaan dengan berkurangnya air seni yang kubuang. 

Seakan disadarkan, tiba-tiba rasa takut membalut, membuatku kalut. Guncangan belum lagi sempurna aku sudah berlari menghampiri Emak yang menyimak temannya membaca.

Kukatakan tentang apa yang kulihat. Emak dan hampir semua orang di dalam mesjid segera mendekati jendela. Tidak ada satupun dari mereka yang melihat sesuatu di sana. Kecuali kerimbunan semak yang dinaungi pohon tengkawang dalam gelap gulita. Kami merinding bersama.

Para tetua berspekulasi. Ada yang menduga itu hantu. Banyak juga yang menyebut itu malaikat yang mencatat peribadatan umat.

Terserahlah! Yang pasti aku masih merasa beruntung. Coba kalau sosok misteri itu penggemar seni, atau menganggap air seniku itu sebagai minyak wangi. Tentulah ia akan mengendus aroma air pancuranku. Sukur-sukur tidak menjentik atau menarik pipanya. Atau meremuknya sekalian.






NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.4K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.