Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

galih17Avatar border
TS
galih17
CERPEN : Salim Di Ujung Jembatan
     
CERPEN : Salim Di Ujung Jembatan

Matahari pagi dengan perlahan tapi pasti, mulai naik ke angkasa. Tanggal 9 November 1945, sebuah pesawat milik sekutu terbang mengelilingi kota Surabaya. Tidak hanya sekedar terbang,  pesawat itu juga menjatuhkan ribuan lembar selebaran agar dibaca oleh warga Surabaya. Ultimatun agar semua pejuang yang ada di Surabaya menyerah tanpa syarat kepada Belanda dan sekutu, itu adalah isi dari selebaran itu.

Ultimatun yang tentu membuat marah rakyat dan pejuang di Surabaya. Hari itu juga semua pejuang dan rakyat  bersiap untuk mengangkat senjata, mempertahankan kota Surabaya dari pasukan sekutu yang berusaha mendudukinya. Entah berapa ribu jumlah arek – arekSurabaya yang sudah putus urat takutnya, akan berjuang mengenyahkan bangsa asing dari bumi pertiwi.

Keesokan harinya sejak shubuh, gabungan tentara dan pejuang arek – arek Surabaya sudah siap di pos masing – masing untuk membandung pasukan Belanda dan sekutu. Salah satunya ada di utara Surabaya, di tepi sungai Kalimas. Kholil dan Yusuf merupakan arek Surabaya yang ikut dalam barisan itu. Dua pemuda yang usianya belum genap dua puluh tahun, bukan tentara dan tidak memiliki bekal militer apapun. Tetapi mereka berdua sudah berani mengangkat senjata melawan pasukan sekutu.

“Suf, koen wis sarapan, ta? (Suf, kamu sudah sarapan?)” tanya Kholil.

“Sarapan? Ya belum lah. Semua orang yang di sini mana ada yang sempat sarapan, Lil,” jawab Yusuf sambil mengusap pucuk  senapannya.

“Enak mungkin, ya. Sarapan nasi pecel, baru kita berperang,” celoteh Kholil.

Ucapan Kholil itu membuat Yusuf tertawa ringan. “Maksudmu apa, sih, Lil?”

“Aku tadi sempat berpikir. Mungkin nasi tempe dan sambal bawang yang kita makan semalam, merupakan makanan terakhir yang kita makan, Suf.”

Wis ta, Lil. Awak e dhewe kudu ikhlas (Sudahlah, Lil. Kita harus ikhlas). Kita ini sedang berjuang, kita harus berkorban.”

“Iya, Suf. Ini semua demi perjuangan. Agar anak cucu kita kelak tidak perlu mengalami yang kita rasakan saat ini. Penjajah – penjajah itu harus kita usir!”

Kholil dan Yusuf masih bersiaga di belakang tumpukan karung berisi pasir sebagai tempat perlindungan. Di depan mereka rastusan pasukan pejuang juga sudah berada pada posisi siap tempur, berlindung pada benda apa saja yang bisa membendung peluru musuh. Mata mereka mengamati jauh ke depan di seberang Kalimas, jalur masuk pasukan sekutu datang menyerang.

“Lil, kamu punya granat?” tanya Yusuf.

“Aku nggak kebagian granat pas pembagian senjata tadi malam. Suf. Opo’o? (ada apa?)” balas Kholil.

“Aku juga tidak kebagian granat. Aku ingin melempar granat ke tank pasukan penjajah!”

“Cak Kholiiiiiil,” suara yang membuat Kholil dan Yusuf memutar kepala mencari asal suara itu. Datang seorang bocah laki – laki, berlari sambil menundukkan kepala. Kholil dan Yusuf kaget bukan kepalang.

“Lho, Lim. Koen lapo mrene? (Lho, Lim. Kamu ngapain ke sini?)” ucap Kholil.

Melu perang, Cak! (Ikut perang, Kak!)” jawab anak yang bernama Salim itu dengan nada tegas.

“Ngawur koen, Lim. Iki ate perang. Bahaya! (Ngawur kamu, Lim. Ini mau perang. Bahaya!)”

“Yo, aku ngerti iki ate perang, Cak. (Iya, aku tahu ini mau perang, Kak)”

Kholil menggelangkan kepalanya mengetahui keinginan Salim ikut berperang. Salim adalah keponakan Kholil yang masih berusia dua belas tahun. Masih bocah.

“Salim, kamu kan masih kecil. Jangan ikut perang,” tutur Kholil dengan lembut.

Salim yang semula berjongkok lantas duduk bersila, “Gak opo – opo, Cak. Bapakku yo mati pas perang wingi. Lha iku arek – arek yo akeh sing teko mrene melu perang. (Tidak apa – apa, Kak. Bapakku juga gugur ketika berperang kemarin . Itu anak – anak juga banyak yang datang ke sini ikut berperang)” Telunjuk tangan kanan Salim mengarah ke satu tempat ke arah belakang. Mata Kholil dan Yusuf mengikuti jari kecil itu. Dan mereka melihat belasan bocah seumuran Salim berbaur dengan pejuang lainnya.

“Kamu seharusnya menjaga ibumu,” kata Yusuf.

Ibuk wis dijogo mbak Nunik, Cak, (Ibu sudah dijaga mbak Nunik, Kak)” jawab Salim meyakinkan.

Kholil masih belum juga percaya kalau keponakannya itu ikut berperang. “Lha koen melu perang senjatamu opo? (Lha kamu ikut perang senjatamu apa?)”

Iki, Cak. (Ini, Kak)” Salim menunjukkan sebilah clurit peninggalan mendiang ayahnya.

Kholil menarik nafas dalam – dalam setelah tahu senjata yang dibawa oleh keponakannya itu. “Kendel temen arek iki, (Berani sekali anak ini)” gumam Kholil pelan.

Duuuaaarrr! Sebuah ledakan besar diikuti  berondongan peluru yang berasal dari seberang Kalimas. Pasukan sekutu telah datang dan perang pun kini pecah. Beberapa pejuang yang berada di garis depan tampak tergeletak tak bergerak. Salim duduk berlindung dengan menggenggam cluritnya, sementara Kholil dan Yusuf berdiri bergantian membalas serangan lawan.

“Majuuu..., ayo maju. Kita bantu pasukan yang ada di depan,” teriak salah seorang pejuang berseragam tentara. Sepertinya dia pemimpin regu pasukan yang terdapat Yusuf dan Kholil di dalamnya.

Puluhan orang lantas maju perlahan dan berhati – hati, dengan berlindung pada apa pun yang bisa menahan timah panas pasukan musuh. Satu orang pejuang terpental ke belakang lalu merintih kesakitan. Seorang pejuang lain yang ada di dekatnya segera menarik pejuang yang tertembak itu ke tempat yang lebih aman, di balik sebuah gedung.

Posisi Kholil, Yusuf, dan Salim sudah nyaris berada di garis depan. Suara senjata yang melepaskan peluru begitu riuh. Saat pelatuk ditarik, asap putih keluar dari ujung senjata. Salim dalam posisi tiarap, tetapi mata pejuang kecil itu mengamati keadaan di sekitarnya. Dari celah kecil tempatnya berlindung, Dia melihat seorang berbaju tentara dalam keadaan tengkurap tak bergerak dan sebuah senapan berada di dekatnya. Salim berpikir untuk mendapatkan senapan itu. Setelah memperhitungkannya dengan cermat, bocah itu keluar dari tempatnya berlindung dan berlari dengan kencang maju ke depan.

Kholil kaget mengetahui tindakan yang dilakukan keponakannya. Dia melihat Salim sudah di ujung jembatan, berlindung di balik mobil yang terguling. Dua tangan Salim diangkat ke atas membawa sebuah senapan, diayunkannya senapan itu ke kanan dan ke kiri. Kholil tahu bahwa maksud keponakannya itu, ingin memberi tahu bahwa dia sudah mempunyai senjata.

Sebuah logam seukuran lengan orang dewasa melayang di udara. Duuaaarrrr! Meledak setelah membentur bumi. Benda itu jatuh tak lebih dari dua puluh langkah dari tempat Salim berlindung. Kholil terperangah, mulutnya menganga. Segera dia bangkit meloncat dari parit tempatnya berlindung. Tanpa alas kaki apapun, dia berlari menghampiri keponakannya. Didapatinya Salim terkapar bersimbah darah.

Kholil mengangkat kepala  Salim dan meletakkan di pahanya. “Lim, Salim,” panggilnya.

Wajah kiri Salim basah berwarna merah, tampak beberapa serpihan logam menancap di pelipisnya. “Ibuuuk.... Loro, Buuuk. Aduuuhhh. (Ibu. Sakit, Bu)” rintih Salim.

Lim, Salim. Sing anteng, Lim, (Lim, Salim. Yang tenang, Lim)” pinta Kholil dengan terbata - bata.

“Iiibuuk...,Buk’e. Perih, Buuuk.... (Ibu, Bu. Perih, Bu)” Salim meronta kesakitan. Badannya sesekali bergetar dan nafasnya tersengal – sengal. “Aaaarghhh..., pa naaas...”

Kholil melihat tubuh keponakannya itu, sebagian baju Salim robek dan terlihat luka menganga di bagian rusuk kiri. Entah  sudah berapa banyak darah Salim yang keluar. “Lim, koen iku pejuang. Kudu kuat, ga oleh sambat. Sing anteng, ben ga kroso loro maneh. (Lim, kamu itu pejuang. Harus kuat, tidak boleh mengeluh. Yang tenang, biar sakitnya tidak terasa lagi)” Kholil berusaha menenangkan bocah dua belas tahun itu dari rasa sakit yang dirasakannya.

Salim mengangguk mendengar ucapan Kholil. Jiwa pemberaninya berontak melawan rasa perih luar biasa yang merobek kulitnya. Dia mulai tenang, nafasnya perlahan mulai teratur. Walau kedua matanya nampak sayu.

Kholil meniup wajah Salim, berharap membantu mengurangi rasa sakit karena ledakan mortir pasukan Sekutu. “Lim, Salim. Lim...,” panggilnya sembari menggoyang pelan badan Salim.

Tidak ada reaksi dari Salim, tatapan matanya hampa. Mulutnya terbuka sedikit, namun tak mengeluarkan satu patah kata pun. Kholil kembali memanggilnya, “Lim, Salim. Tangio, Lim. (Lim, Salim. Bangun, Lim)”

Tetap saja Salim diam tak menjawab, juga tak bergerak. Kholil langsung memeluk Salim, karena dia tahu Salim sudah tak merasa kesakitan lagi. Ruh Salim telah terbang meninggalkan jasad yang penuh luka itu. Salim telah tiada namun semangat juangnya tetap bergelora.

Salim telah gugur sebelum dia sempat menembakkan satu butir peluru ke tubuh musuh. Dia gugur di ujung jembatan, yang kini bernama Jembatan Merah.
 
 
 
 

Diubah oleh galih17 23-02-2020 09:58
nurulnadlifaAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
857
8
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.