Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraKITAAvatar border
TS
NegaraKITA
Keamanan Ibukota Baru di Tangan Trilateral
Spoiler for RI - Malaysia - Filipina:


Spoiler for Video:


Bang napi selalu mengatakan bahwa kejahatan ada di mana-mana. Oleh karena itu ia selalu berpesan “waspadalah! waspadalah! waspadalah!”.  Memang seaman apa pun lokasinya, tetap saja ada risiko keamanan. Namun secara selayang mata, kita tentu bisa menilai mana daerah yang lebih aman dan mana pula daerah yang berisiko tinggi untuk ditempati. Secara sederhana, apabila disuruh memilih bertempat tinggal di negara yang damai dan aman seperti Kanada atau negara yang sedang berkonflik seperti Syria, tentu kita semua jelas-jelas lebih memilih tinggal di Kanada. Terkecuali ada perbaikan, penyelesaian konflik, dan jaminan keamanan di Syria.

Begitu pula dengan ibukota Indonesia baru nantinya yang berlokasi di Kalimantan Timur. Kawasan sekitar ibukota haruslah bisa membuat kita merasa nyaman dan tenang berada di sana. Apalagi pusat pemerintahan akan terfokus di Kaltim. Tapi nyatanya, kawasan tersebut rawan terhadap kejahatan lintas negara. Terutama di perairan Sulu dan Sulawesi.

Publikasi dari Stable Seas -sebuah program dari organisasi One Earth Future- mengatakan bahwa Laut Sulu dan Sulawesi adalah kawasan yang menjadi perbatasan dari tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Namun karena lokasinya jauh dari ibukota masing-masing negara, maka penegakan hukum, aturan, serta kesejahteraan di kawasan tersebut jauh tertinggal. Akibatnya terbentuklah siklus yang menyebabkan timbulnya berbagai kejahatan mulai dari illegal fishing, penyelundupan, perdagangan, hingga penculikan manusia (seperti yang dilakukan kelompok teroris Abu Sayyaf).

Sumber : Stable Seas[STABLE SEAS: SULU AND CELEBES SEAS]

Di sinilah permasalahan muncul, bagaimana mungkin Indonesia dapat memindahkan ibukota ke Kaltim apabila kawasan perairan di sekitar sana masih sangat tidak aman? Apalagi lokasi ibukota baru juga berdekatan dengan Laut Natuna yang hingga kini menjadi konflik antara Indonesia dan China.

Publikasi Stable Seas memaparkan solusi untuk memecah siklus kejahatan lintas negara yang terjadi di perairan Sulu dan Sulawesi. Yakni mengembangkan perekonomian biru yang terus tumbuh dan berkelanjutan, koordinasi yang baik antar organisasi penegak hukum di sekitar kawasan yang bersangkutan, dan dukungan regional serta internasional.

Senin 27 januari 2020, Ketua Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones yang juga merupakan pakar dan peneliti terorisme di Asia Tenggara mengunjungi Rektor unhas, Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu. Kunjungan dilakukan untuk berdiskusi tentang penculikan WNI di Laut Sulu, Filipina.

Sidney menduga bahwa kelompok Abu Sayyaf adalah kelompok yang bertanggung jawab atas penculikan nelayan. Kelompok yang berbasis di Filipina ini menjadikan perairan Malaysia sebagai area operasi. Sedangkan target penculikannya adalah WNI. “Aksi ini terus berulang di area dan waktu yang berdekatan. Kejadian ini seharusnya dipandang lebih serius lagi, sudah sepatutnya tiga negara (Indonesia, Filipina, dan Malaysia) duduk bersama dan membicarakan kembali pokok permasalahan dan bagaimana penyelesaiannya,” jelas Sidney.

Sumber : Rakyatku [Bertemu Prof Dwia, Sidney Jones Bahas Penculikan di Laut Sulu Terhadap WNI Asal Buton]

Oleh karena itu, maka kunci dari keamanan di sekitar ibukota baru adalah tercapainya kesepakatan Trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Ketika koordinasi dari kesepakatan Trilateral sudah terbentuk dengan baik, maka ia akan menjadi kunci dari dukungan internasional sehingga terbentuklah Roadmap dan Aliansi Maritim ASEAN hingga Asia Timur (Jepang, Korea, dan Taiwan).

Namun kesepakatan Trilateral kini tersendat oleh langkah Menko Polhukam sendiri. Pada hari Sabtu 25 Januari 2020 Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan saat ini Indonesia tidak memerlukan bantuan dari negara manapun untuk mengatasi persoalan di perairan Natuna. Ia bahkan telah menolak bantuan dari AS saat bertemu dengan Duta Besar AS untuk Indonesia, Joseph Donovan Jr. "Saya bilang enggak perlu kerja sama dengan Amerika soal urusan itu," kata Mahfud di kantor PB Nahdlatul Ulama.

Sumber : Kompas [Mahfud MD Tolak Tawaran Bantuan Dubes AS untuk Atasi Persoalan Natuna]

Mahfud menjelaskan penolakan bantuan dari AS karena posisi Indonesia tidak dalam berperang. Sebab menurutnya jika nantinya antara Amerika dan China berperang maka Indonesia akan menjadi landasan dari Negeri Paman Sam.

Hal yang harus kita semua cermati, langkah penolakan dari Mahfud justru mempersulit tercapainya kesepakatan Trilateral RI – Malaysia – Filipina. Ingat, sebelumnya dibahas bahwa salah satu cara memecah siklus kejahatan lintas negara di segitiga Sabah – Filipina – Selat Makassar adalah dengan dukungan regional serta internasional. Dukungan AS di Natuna menjadi kunci bagi terbentuknya dukungan internasional dalam rangka membentuk Roadmap dan Aliansi Maritim ASEAN hingga Asia Timur.

Penolakan Mahfud juga akan membentuk stigma bahwa ia mendukung agenda China soal sengketa Laut China Selatan. Apalagi sejak merebaknya virus Corona di China ia mengatakan belum berencana mengevakuasi WNI yang ada di negara tirai bambu itu.

Sumber : Detik [Mahfud: Belum Dipikirkan Evakuasi WNI di China, Negara Lain Juga Belum]

Padahal negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Jepang kini tengah berusaha keras memulangkan warga negara mereka kembali pulang. Pemerintah Jepang dan AS telah menyewa pesawat guna memulangkan warganya. Bahkan Jerman telah mengevakuasi sebanyak 80 warganya menggunakan pesawat militer.

Sumber : The Guardian [Coronavirus: Japan and US fly citizens home as China death toll jumps]

Sumber : Republika [Jerman Evakuasi Warganya dari Wuhan dengan Pesawat Militer]

Padahal Indonesia melalui Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan telah mempersiapkan berbagai rencana untuk mengevakuasi WNI dari Wuhan. Termasuk menyiapkan sejumlah rumah sakit untuk karantina jika nantinya mereka kembali ke Indonesia. Begitu juga dengan pihak TNI AU.

Sumber :  VOA Indonesia [Indonesia Buka Peluang Evakuasi WNI dari Wuhan]

Sumber : Kompas [TNI AU Sudah Siapkan Skema Evakuasi WNI di Wuhan, Termasuk Ruang Karantina]

Lantas apa lagi yang ditunggu? Tinggal komando dari Mahfud MD untuk memulangkan warga kita dari China.

Ketidaktegasan dari Mahfud dan penolakannya akan bantuan AS terkait Natuna inilah yang makin membuat rakyat memberi stigma negatif pro China pada pemerintahan Jokowi. Maka tak salah pula ekonom Faisal Basri menilai bahwa roh maritim Jokowi memudar dan lebih mementingkan investasi.

Sumber : CNN Indonesia [Faisal Basri Kritik Roh Maritim Jokowi Memudar]

Belum lagi saat terjadi konflik Uighur, Mahfud memilih mediasi dengan Dubes China dengan tidak ikut campur urusan dalam negeri China. Padahal, saat itu China mendapatkan sorotan internasional karena melakukan tindakan keras terhadap Uighur dan minoritas Muslim.

Sumber : CNN Indonesia [Mahfud MD Ungkap Isi Pertemuan dengan Dubes China soal Uighur]
Diubah oleh NegaraKITA 30-01-2020 17:56
taofikkillsAvatar border
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan 3 lainnya memberi reputasi
2
673
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.