inspirasicerdasAvatar border
TS
inspirasicerdas
ATURAN ADAT
Oleh: Sri W

"Wow ... unik!" seru Gari, laki-laki gondrong berwajah tampan, saat menginjakkan kaki di desa Sade, salah satu desa yang terletak di pulau Lombok. Matanya terus beredar menikmati pemandangan yang tersuguh di hadapannya.

Bangunan rumah penduduk itu sangat khas dan tradisional. Atap rumah hanya terbuat dari ijuk, sedangkan kuda-kuda atap menggunakan bambu tanpa paku, berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah.

Tak ingin menyia-nyiakan keunikan itu, kameranya terus membidik rumah-rumah penduduk desa Sade. Baginya sayang bila hanya dilewatkan saja tanpa mengabadikan kekhasan yang tidak dia jumpai di daerah mereka, Jawa.

Lelaki kurus, berambut cepak yang berdiri sampingnya, terlihat tidak sabar menunggu. "Ayo, kita harus segera mengumpulkan data-data karya ilmiah, tentang adat dan budaya Sasak," tegurnya.

"Sabar, Den. Kita juga pasti membutuhkan beberapa gambar, untuk memperkuat karya ilmiah kita."

"Bisa dilanjutkan nanti lagi, Gar. Mumpung kepala adatnya ada. Ayo ...." Deni memperhatikan dengan kesal, laki-laki penggila fotografi itu.

"Oke, siiip! Sudah beres!" ucapnya sambil memasukkan kamera ke dalam ransel. Mereka kemudian menuju rumah ketua adat, yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berada.

Saat hendak mengetuk pintu, tanpa sengaja mata Gari menangkap seorang gadis yang sedang meluluri lantai tanah, di samping kiri teras.

"Den, lihat itu," bisik Gari, tak lepas memandang ke arah gadis berjilbab biru.

"Dia sedang meluluri rumahnya dengan kotoran sapi." Deni balas berbisik, sesaat setelah menangkap maksud Gari.

Mata laki-laki itu langsung mendelik. "Ah, yang benar!" teriaknya spontan. Deni langsung menutup mulut si gondrong sambil menoleh ke arah gadis itu, khawatir terdengar olehnya.

"Jaga sikapmu, apalagi sedang berada di daerah orang. Masing-masing suku punya keunikan tersendiri." Deni mengingatkan temannya itu

"Sori, refleks," ucapnya sambil mengusap mulutnya yang terasa asin oleh tangan Deni. Matanya masih terus memperhatikan gadis berjilbab biru, yang terlihat menikmati kegiatan meluluri lantai tanah, dengan cairan berwarna coklat kehijauan.

"Hei, jangan melongo saja, ayo!" sentak Deni menyenggol tangannya.Namun, dia bergeming. "Gari, kita harus minta izin ke kepala adat, sebelum mengumpulkan data." Ucapan Deni bagai angin lalu. Laki-laki itu tetap membeku di tempatnya berpijak.

Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya keluar dari rumah, dan menghampiri sang gadis "Julika, apakah lantainya sudah selesai?" tanyanya, sembari menggosokkan tembakau pada gigi-gigi yang merah kehitaman, efek mengunyah sirih.

"Belum Inaq, sebentar lagi."

"Cepatlah, setelah itu, kau antar rantang nasi ke sawah," ucapnya masih terus menggosok giginya. Mata wanita itu kemudian beralih, menatap dua laki-laki yang berdiri di depan rumah, alisnya mengernyit heran.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Deni saat berserobok dengan sang ibu, sambil menyenggol tangan Gari. Namun, tak ditanggapi.

"Wa'alaikumsalam, temannya Julika?" Pertanyaan itu membuat gadis berjilbab Biru muda, menghentikan kegiatannya dan menoleh. Wajahnya yang putih bulat, bersinar bak rembulan, membuat laki-laki berkaos oblong merah polos terperangah. Sejenak Gari terpaku, menatap tak berkedip hingga tersentak oleh suara sang gadis.

"Bukan, Inaq. Mereka wisatawan lokal dari Jawa," jawabnya segera meringkas ember dan melangkah masuk.

***

Awal pertemuan yang singkat dan tak disengaja di antara ke duanya, membuat mereka saling mengenal. Seiring perjalanan waktu, hati Gari makin tertawan oleh pesona sang gadis.

"Den, nitip surat buat Julika, ya."

"Hari gini masih pakai surat?" tanyanya heran, sambil meraih amplop biru itu.

"Biar makin terasa suasana tradisionalnya." Gari terkekeh-kekeh.

"Kamu berikan sendiri sajalah, aku masih mau ngumpulin data-data yang belum rampung."

"Nah, kebetulan, sambil ngumpulin data, kamu singgah ke rumah Julika." Deni makin sewot.

"Dasar! Dekatin cewek aja pakai zaman purba."

"Kamu belum pernah merasakan jatuh cinta, di tengah suasana pedesaan dan surat menyurat, romantis, Bro! Ketemu jadi deg degan, penasaran. Pokoknya campur aduk rasanya. Apalagi dengan anak kepala desa yang dipingit. Jarang di kota besar ada perempuan seperti itu." Bola matanya berbinar saat bercerita, Deni tersenyum tipis menanggapi dan segera ke luar.

"Jangan pulang dulu sebelum dapat balasannya, Den." Laki-laki itu hanya melambaikan tangannya.Gari kembali menyusun data-data yang telah mereka kumpulkan, sambil melengkapi beberapa tulisan yang masih kurang.

Gari melirik jam tangan, harap-harap cemas menunggu. Namun hingga Duhur, sahabatnya itu belum juga menampakkan diri. Sambil menunggu di depan rumah kosan, Gari sesekali mengambil gambar lingkungan sekitar. Hingga dari balik kamera, dia melihat sosok yang ditunggu, berjalan mendekat.

"Deni!" seru Gari, langsung mendekati sahabatnya.

"Nih surat dari Julika, lama kutunggu dia ke luar dari rumahnya, seperti musang yang sedang mengincar mangsa."

"Hahaha ... Makasih, Den. Kau memang teman yang bisa diandalkan. Oya, tulisan kita tinggal ditambah data-data yang kurang," ucapnya dengan tidak sabar membuka amplop dan membaca.

Buat, Abang Gari.

Sebelumnya, saya mengucapkan terimakasih, Abang berkirim surat pada seorang gadis desa seperti saya. Jujur saya sangat terbuai dengan untaian kata itu. Abang pandai merayu dan bermulut manis, apakah itu racun yang dipoles madu? Entahlah. Hanya saja bila Abang tertawan oleh pesona sang gadis, tak ada yang lebih baik bagi seorang pria selain datang membebaskan diri, menghadap orangtuanya dan menghalalkan dalam ikatan suci. Bila tidak, kubur saja impian itu.

Dari, Julika.

"Ada apa, Gar. Wajahmu kok pucat kayak gitu?" tanya Deni saat melihat ekspresi temannya. Namun, Gari tak menjawab. Perlahan laki-laki itu mendekatinya dan meraih surat yang barusan dibaca.

"Oh, ini toh. Kalau kamu sudah siap, lamar saja," ucap Deni santai, ketika mengetahui isi surat itu. Gari masih diam berpikir.

***

"Kamu siap akan datang ke rumah Julika hari ini?" tanya Deni.

"Siap!" jawabnya semangat, sepertinya tidak ada alasan lagi untuk menunda. Lampu hijau telah menyala. Jalan seakan terbentang luas, untuk melamarnya. Dia sangat yakin, gadis itu adalah jodoh yang dicari selama ini, dan perhiasan dunia yang akan memperindah rumahnya.

"Baiklah, kudoakan berhasil Gar!" ucap Deni, mengiring kepergian temanya.

Hari Sabtu, biasanya ketua adat menghabiskan waktu bersantai-santai di rumahnya.

"Assalamu'alaikum, Pak," Gari telah berdiri di depan rumahnya dengan dandanan rapi, menggunakan kemeja biru bermotif garis. Bermoda keyakinan, tekad dan nekat, laki-laki gondrong itu memberanikan diri datang ke rumah sang gadis, untuk melamar.

Saat berada di dalam. Dia duduk menghadap kepala adat. Laki-laki itu tampak gelisah, sambil sesekali menghela napas menghalau resah. Hatinya bergemuruh hebat.

Berkat sholat tahajud dan istikharah yang dia lakukan, sebagai persiapan sebelum menuju arena pergulatan hati. Semua tampak lancar dan dimudahkan,

"Ya, aku mengizinkan kau menikahi anakku, tapi ingat! Jangan kau sia-siakan darah dagingku," ucap laki-laki berkumis tebal, membuat hatinya bahagia.

Namun, tidak semua keinginan berjalan mulus seperti yang diharapkan. Walau sudah mengantongi restu dari kedua orang tua, masih ada kendala yang harus mereka hadapi. Berkaitan dengan aturan adat yang lazim dilakukan, sebagai langkah awal menuju ke pelaminan.

Sesuai janji. Julika bersama Adel menuju sebuah tempat di dekat aliran sungai, tak jauh dari tempat kosan Gari. Mereka akan bertemu dengannya di tempat itu, untuk membicarakan hal serius.

Tak lama menunggu. Laki-laki jangkung berambut gondrong mulai tampak dari kejauhan, dan berjalan mendekati mereka. Senyum manis mengembang penuh, menghiasai wajahnya yang tampan.

Sesaat Julika terpana dan segera mengalihkan pandangan. Debar-debar di hati makin membuatnya salah tingkah dan malu untuk beradu pandang dengan mata elang itu.

"Julika, Gari sudah datang," Adel mencolek dirinya dan terbatuk-kambing, menggoda.

"Oh, iya," ucapnya gugup sambil menarik jilbabnya, agar menutupi sebagian wajah yang memerah karena malu.

Mereka kemudian terlibat pembicaraan. Hingga wajah yang semula semringah, berangsur-angsur berubah.

"Apa? Harus melewati proses menculik?" tanya Gari terkejut. Bola matanya mengembara ke segala arah, berusaha mengerti adat yang berlaku di daerah itu.

"Iya."

"Tidak bisakah kita menikah tanpa melewati proses itu?"

"Tidak bisa. Orang tuaku tidak mungkin menyetujui."

"Kalau begitu, kapan waktunya?"

"Terserah Abang, tapi mohon dirahasiakan kalau ingin menculik. Aku khawatir ada yang mendengar dan menggagalkannya."

"Bila gagal?"

"Pernikahan pun, gagal." Mata laki-laki itu terbelalak, tak percaya. "Kita harus merencanakan matang-matang. Jangan sampai keluarga besarku mengetahui, terutama sepupuku, Kone."

"Kenapa dengan sepupumu?" tanyanya, tentang laki-laki yang selalu mencari masalah. Entah kebencian apa yang bercokol di hati sepupu Julika, untuknya.

"Aku khawatir dia akan menggagalkan rencana kita, apalagi dia terlihat sangat membencimu."

"Oh ...." Kekhawatiran mulai menjalar di hati. Kemungkinan buruk pun mulai melintas dipikiran, namun segera ditepis. "baiklah kalau begitu, aku akan mengaturnya dengan Deni."

"Kalau butuh untuk bersembunyi sementara waktu, bisa di tempatku. Kebetulan aku kos sendirian," ucap Adel, teman Julika. Gari mengangguk setuju.

Tanpa mereka sadari Kone berjalan mendekat dengan penuh amarah. Sejak kabar Julika dilamar Gari, dia selalu mengawasi segala tindak tanduk perempuan itu. Tampaknya kali ini, dia tak bisa menahan diri.

"Hei Julika, kau ke mana saja, Amaq sedang mencarimu. Segera pulang!" Hardiknya, membuat semua terkejut.

"Ada apa kau membuntutiku, aku sudah izin sama Amaq untuk keluar bersama Adel. Kau jangan bohong!" Julika balas membentak. Sepupunya itu selalu membuatnya kesal.

"Jangan banyak alasan. Aku disuruh Amaqmu mencari, ayo pulang! Jangan membantah!" Dia tak mau kalah, menyahut lebih keras lagi. Matanya makin memerah menatap bergantian ke arah mereka bertiga. Saat berserobok dengan Gari, bola matanya makin mendelik.

"Apa kau! mau menantangku, ya?" tanya laki-laki berwajah bulat dengan kulit kecoklatan, makin emosi. Amarahnya sering tersulut setiap kali Laki-laki gondrong itu mendekati Julika.

"Tenang, Bro, jangan suka pake otot." Sahut Gari, berusaha mengendalikan dirinya sambil menatap heran laki-laki itu. Selama ini, dia merasa tidak pernah berbuat masalah dengannya. Namun, sikap dan perkataan Kone, sering membuat emosinya hampir terpancing.

Jika saja laki-laki itu bukan sepupu Julika, mungkin dia sudah menghajarnya. Ilmu bela dengan sabuk hitam cukup bisa membungkam mulutnya yang lancang dan membuat wajah itu babak belur.

"Ada apa dengan kau, Kone. Jangan buat onar! Baiklah aku akan pulang." Julika akhirnya mengalah dan ikut pulang bersama Kone.

"Gari, kamu yang sabar saja sama Kone, dia memang kayak gitu." Gari hanya mengangguk. "Sudah ya ... Aku balik juga," ucap Adel segera menyusul Julika.

***

Selepas Isya. Saat mereka mulai menyusun data-data yang diperlukan, tiba-tiba Gari menghampiri Deni. Namun, kembali ragu hingga mengurung niat mengutarakan keinginannya. Gari berjalan mondar mandir membuat laki-laki itu risih.

"Ada apa denganmu, Gar?" tanyanya heran.

"Den, mau gak bantu aku menculik Julika."

Deni terkejut dan langsung menoleh. "Apa? Menculik ... Gak salah ...."

"Gak, Den. Saya serius. Adat di sini, kalau mau menikahi calon istri, laki-laki harus berhasil menculiknya terlebih dahulu."

"Hah! Yang benar saja! Emang harus melewati proses itu?" Deni makin terperajat.

"Iya, kumohon kau mau membantuku. Semua proses sudah kulewati termasuk minta persetujuan orangtua. Aku gak ingin gagal karena tak melewati proses yang satu ini," ucapnya mengiba penuh harap.

"Hmm ... Baiklah aku akan merencanakan dengan teman-teman yang lain."

"Tapi ingat! Jangan sampai diketahui oleh Kone dan keluarga besar Julika.

"Ada apalagi dengan si pembuat onar itu."

"Aku khawatir dia akan menggagalkannya."

"Baiklah, tunggu kabar dariku. Nanti kalau sudah 'fix' akan kuhubungi.

***

Gari membuang pandangannya ke segala arah, alisnya mengernyit hingga tampak gurat tegas di antara kedua barisan bulu hitam bak ulat bulu. Bola matanya kembali berpindah ke Deni, memastikan temannya itu tidak sedang berjalan sambil tidur.

"Tempatnya di sini?" tanyanya, kembali melihat sekeliling kuburan.

"Iya, ini tempat yang aman. Kita bisa membawa Julika ke arah selatan. Tempat itu sepi dari orang yang lalu lalang. Biar Adel yang menantinya di sini. Kita menunggu di mobil yang telah kusewa." Laki-laki tinggi kurus itu menjawab.

"Tapi ...." Tiba-tiba Gari merasa bimbang. Dia masih belum yakin untuk melewati proses adat, di antara nisan-nisan milik jasad-jasad yang terbujur kaku di dalam tanah.

"Percayakan tugas ini padaku, aku akan membantumu membawa Julika. Kalau kamu yang menunggu, aku khawatir orang-orang akan curiga dan keluarga Julika yang tidak setuju, akan datang menggagalkannya," ucap Adel, seakan menangkap keraguannya.

"Oke, ayo, Gari!" Deni langsung berlari menuju kendaraan yang di parkir, tidak jauh dari tempat itu.

"Tenanglah, aku akan membantumu, membawa Julika." Adel berusaha meyakinkan lagi laki-laki yang masih membeku itu.

"Ayo, Gari! Sebelum ada yang melihatmu ...!" seru Deni panik, ketika berpapasan dengan seorang warga yang datang berziarah. Laki-laki yang rada-rada mirip Omar Daniel itu tersentak kaget dan langsung berlari, menyusul.

***

Detak jantung Adel berpacu cepat, menunggu kedatangan Julika. Dia bersembunyi di balik pepohonan yang tumbuh dekat kuburan, sambil terus mengawasi tempat sekitar. Berkali-kali ia melirik jam tangan, memastikan Julika datang tepat waktu.

Setelah hampir setengah jam, bergulat dengan rasa yang bergemuruh. Dari arah timur terlihat seseorang yang berjalan memburu. Matanya terus mengawasi sekeliling, melihat ke kiri dan ke kanan.

"Julikaaa ...!" seru Adel segera ke luar dari persembunyian, menyongsongnya. Mata Julika langsung berbinar dan segera berlari menghampiri temannya. Jarak di antara mereka makin dekat, hingga tiba-tiba dari arah pepohonan yang berada di dekat Julika, sekelebat bayangan hitam dengan cepat menyambar tubuhnya, dan hilang di antara rerimbunan semak. Adel terkejut dan segera mengejar.

"Hei, siapa itu! Kembali ...!" Teriak Adel. "Julika ...! Julika ...! Di mana kamuuu!"

Bayangan itu sangat cepat membawa Julika. Wajah Adel makin pucat. Setelah berkali-kali menerobos semak tempat perempuan itu menghilang, namun tak jua ditemukan. Dia segera berlari menuju dua temannya, yang menunggu di mobil.

"Gari ... Deni ... Ju-Julika hilang," terbata-bata dia mengatakan.

"Apa?" Deni terlonjak kaget, terlebih lagi Gari.

"Saat dia datang, tiba-tiba ada yang menariknya dan hilang di antara semak-semak.

Wajah Gari yang putih makin terlihat pucat, keringat dingin mulai bermunculan di keningnya. "Ayo, segera kita cari!" Gari langsung menghidupkan kendaraan. Adel segera naik, dan mengambil posisinya di belakang. "Dia pakai baju apa tadi?" tanyanya panik sambil fokus menatap jalanan. Laju mobil makin cepat seiring rasa kalut di hati.

"Baju hijau tosca dan jilbab biru tua," jawab Adel, sembari menahan napas dengan kendaraan yang makin melaju kencang.

"Dia menghilang ke arah mana?" tanyanya lagi, sekelebat pikiran buruk mulai menghinggap di benak.

"Ke arah Utara. Setelah kukejar, dia seakan hilang ditelan bumi."

"Sial! Kenapa bisa ada yang mengetahuinya?" Gerutu Deni.

"Apakah rencana kita bocor?" tanyanya cemas.

Matanya terus menatap awas jalanan di depan, kemudian membelokkan mobil ke arah Utara, tempat hilangnya Julika.

"Pasti ada yang membocorkan. Padahal sudah kurencanakan dengan matang, dan sangat rahasia ...." Deni terus mengomel sepanjang jalaln.

Mereka berhenti di tempat Julika menghilang, kemudian berpencar mencarinya. Mereka berusaha bertanya-tanya pada warga sekitar, namun tak satupun yang mengenali ciri-ciri yang disebutkan. Hingga sang surya mulai merebahkan diri di peraduan, mereka belum juga menemuka perempuan itu.

"Sepertinya sudah ada yang mendahului kita," ucap Deni lirih, sembari menepuk bahu sahabatnya.

Lutut Gari goyah seketika, dia terduduk di antara remputan sekitar. kekecewaan dan kesedihan menggerogoti hati membuat matanya mengkristal.

Tak ingin mengusik sahabatnya, Deni berdiri menjauh. Pikirannya sibuk menduga sebab kegagalan mereka, sedangkan Adel, membisu dengan sejuta rasa bersalah.

***

Setelah tiga hari kehilangan Julika. Gari mendapat kabar dari Adel, bahwa perempuan itu akan menikah dengan seseorang yang berhasil menculiknya.

"Deni, besok Julika akan menikah." Gari melangkah lemah menuju ranjang, kemudian merebahkan tubuh yang tak bertenaga. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar.

"Apa?" Deni yang sedang asyik menyusun tulisan langsung menoleh, menatap tak berkedip.

"Ya, dengan si Kone," ucap Gari lemah. Dunia seakan berhenti berputar, saat dia mengetahui kabar pernikahan itu.

Semua yang menjadi impian hanya tinggal harapan yang tak terwujud. Julika berhasil diculik oleh sepupunya sendiri, dan aturan adat pun berlaku.

Mata laki-laki berambut cepak makin membulat, tak percaya.

"Berarti dia ... Kone memang brengsek! Pantasan saja dia selalu mencari gara-gara dan terkesan membencimu, pasti karena dia menaruh hati sama Julika," geramnya. Gari hanya menghela napas panjang, kemudian bangun dari pembaringannya. Duduk menunduk, menatap lantai tanah tempat mereka kos.

"Aku dengar dia sudah lama menyukai Julika, namun bertepuk sebelah tangan. Tak kusangka dia memanfaatkan proses ini untuk menculiknya dan membalasmu," ucap Deni. Laki-laki gondrongnya itu makin menunduk, berusaha meredakan rasa nyeri yang mencengkeram kuat hatinya.

"Jika saja adat itu tidak berlaku, mungkin kami berdua telah berada dalam satu atap. Merajut hari indah, menggapai selaksa asa." gumamnya sembari memejamkan mata, menahan perih. Cinta dan harapannya terkubur bersama Si Penculik.

Deni memandang prihatin temannya. "Lupakan saja gadis itu, dia bukan jodohmu."

"Tidak semudah yang diomongkan, Den. Aku pun berpikir akan mudah menahan guncangan ini. Nyatanya, hatiku seperti daun kering, saat mendengar berita pernikahannya," keluhnya getir.

"Bersabarlah ... jika saja kita bisa mengintip kitab yang dibuat 50.000 tahun, sebelum penciptaan langit dan bumi. Bisa saja kita melintas jalan lain agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi ... ya sudahlah. Menyesal bukan sikap terbaik. Hadapi dan tegarlah." Gari tersenyum getir mendengar. Kepalanya mendongak, menghalau embun yang ingin menetes di sudut mata.

"Yang makin membuatku sedih. Dia pun tak menginginkan dan membenci Kone. Aku khawatir, pernikahan itu akan mencuri senyumnya dan merenggut keceriaannya," ucap Gari bergetar, sambil mengusap wajahnya kasar.

"Jangan terlalu berpikir jauh. Allah Maha membolak-balikkan hati. Bisa saja setelah menikah, dulu yang sangat membenci berubah mencintai dan hidup bahagia. Sudahlah, lanjutkan hidupmu." Laki-laki kurus itu berusaha menghibur.

Deni kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Sedangkan laki-laki itu masih diam tercenung, memandang lantai tanah yang sering dibaluri kotoran sapi.

"Apakah data yang diperlukan sudah lengkap?" tanya Gari lirih memecah, kebisuan.

"Ya, cuma aku khawatir masih ada yang kurang. Jadi butuh waktu beberapa hari lagi untuk melengkapinya."

"Kuharap besok data-data sudah lengkap, aku ingin segera angkat kaki dari sini," ucapnya serak.
Diubah oleh inspirasicerdas 11-01-2020 09:00
0
347
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
BudayaKASKUS Official
2.3KThread1KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.