Saat remaja, Ibu adalah seseorang yang selalu menentang apa yang menjadi keinginan. Entah, berapa kali beradu argumen hanya untuk satu hal. Berapa kali kami berdiam diri karena tidak sependapat. Tapi di sisi lain, dia adalah pendukung nomor satu.

Dulu aku sering berkhayal sosok ibu sempurna. Seseorang yang bukan, Ibu. Bahkan dengan percaya dirinya berkata, aku bisa tanpa ibu.

Ibu ....
Sekarang aku pun seorang Ibu. Aku pernah merasakan apa yang Ibu rasakan. Rasa begah ketika mengandung. Rasa perih ketika melahirkan. Rasa lelah ketika membesarkan. Dan rasa khawatir melihat dunia yang tak seindah keinginan.



Pic. From : Pixabay


Ketika aku melihat kedua putriku, aku merasa jika mereka adalah aku. Aku yang bertingkah sekehendak hati kepadamu. Lelahku, sedihku, bimbangku, mengingatkanku kepadamu.

Ibu, apa yang mampu kuberi? Seluruh permata yang ada dunia, seluruh kenikmatan yang tersaji di permukaan bumi, tidak akan mampu membayar segala pengorbanan dan perjuanganmu.

Ibu, apa yang engkau pinta?
Tak ada, selalu itu yang kau jawab.

Ibu, apa keinginanmu?
Tak ada, selalu itu yang kau jawab.

Ibu, engkau bukan takut aku tak mampu memenuhi. Tapi engkau hanya takut aku direpotkan olehmu.



Pic. From : Pixabay


Dan itu yang aku rasakan kepada anak-anakku. Aku mengerti, Ibu ....
Aku paham ....

Ibu, aku bukanlah anak yang sempurna.
Aku pun bukan wanita yang sempurna.
Dan juga bukan seorang ibu yang sempurna.

Tapi hidupku terasa sempurna karena ditemani olehmu. Dan lebih sempurna karena dianugerahi anak-anakku, seseorang yang kelak pun menjadi ibu.



Pic. From : Pixabay