Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

riekartiekaAvatar border
TS
riekartieka
Ketika Angin Menyapa
Ketika Angin Menyapa
Pic. From : Pixabay


[Cerpen 1]
Ketika Angin Menyapa
Oleh : Rieka Kartieka


Wanita itu menari dengan senyum merekah sepanjang gerakan yang ia buat. Jemari lentik tak henti bermain seiring dengan liukan tangan yang bergerak bebas ke atas langit. Terkadang rambut hitam panjangnya ikut berayun kemana tangan itu terjulur. Badan yang ramping nan gemulai pun tak henti berotasi ... berevolusi ... bergerak.

Langit semakin biru, bunga-bunga kecil warna-warni berterbangan ke atas. Memuntir ... berputar ... serupa kupu-kupu menemani sang ratu. Terkadang, beberapa kelopak hinggap di ujung jari si wanita atau terselip di antara rambutnya yang ikut menari.

Seorang pria tengah duduk di kursi berbentuk potongan batang pohon besar. Kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri, seiring gerakan sang wanita. Tak lupa ia menggoreskan senyum termanis kala manik matanya menangkap sorot cahaya lembut dari wanita itu. Tanpa sadar, tangannya ikut bergerak dan bergoyang. Kemudian berusaha menggapai ia yang menari dalam balutan gaun merah muda lembut.

Namun, entah mengapa wanita itu tampak semakin jauh ... kecil ... dan hilang.

Hanya tersisa siluet dalam cahaya putih benderang.

....

*****

Tangan keriput dengan guratan sisa keperkasaan berpuluh tahun lalu itu bergeser pelan dari tempat semula. Tak lama, jari telunjuk tuanya mengetuk-ngetuk di atas kasur hijau toska dengan sedikit bergetar. Erangan lirih pun terdengar samar hingga ke luar kamar.

"Bapak Suwito, bisa mendengar saya?" Sebuah suara lembut membuat Suwito tersadar dari tidur panjang.

Suwito mengerjap beberapa kali hingga mata terbuka sempurna. Namun, yang tampak hanya serupa bayangan. Suwito memerlukan kacamata tuanya. Si wanita muda pemilik suara lembut itu ternyata mampu membaca kegundahan Suwito. Ia segera mengambil kacamata ringan bernuansa perak dari meja kecil di samping tempat tidur dan mengenakannya pada Suwito.

"Selamat pagi, Pak Suwito. Saya Riska. Bapak mau ditinggikan sedikit kasurnya?" Riska bicara perlahan di depan Suwito sembari mengamati reaksi pasiennya.

Suwito mengangguk kecil dan Riska pun menurunkan tuas di dekatnya agar bagian kepala kasur bisa sedikit terangkat. Riska tersenyum kecil melihat si pasien sedikit lega. Menggerakkan tubuh, walaupun dengan alat bantu, sangat dibutuhkan agar tidak terasa kaku. Apalagi Suwito sudah tergeletak tanpa sadar selama empat hari.

"Bapak membutuhkan sesuatu?" Riska mengatur kecepatan infus dengan cekatan. Suwito hanya menggeleng lemah.

"Saya ambilkan sarapan untuk Bapak dulu, ya." Riska pun berbalik menuju pintu.

"Suster, istri saya di mana?" tanya Suwito dengan suara sedikit parau. Kerongkongannya terasa kering dan sakit.

Riska menahan napas. Batinnya tercekat, tapi ia harus tetap tersenyum. "Saya ambilkan air minum dulu untuk Bapak, ya."

****

"Iya, Bu."
....
"Beberapa jam lalu."
....
"Sudah."
....
"Emm ... sepertinya, memorinya sedikit terganggu."
....
"Iya, Bu. Dokter kami akan melakukan yang terbaik."

Riska meletakkan gagang telepon berwarna kuning gading itu pada tempatnya. Ia menghela panjang, kemudian melirik pada Tiara, rekan kerjanya yang tengah mengunyah roti pemberian keluarga salah satu pasien.

"Gimana?" Tiara, suster berpipi chubby itu memasukkan gigitan terakhir roti cokelat.

"Sebetulnya ... saat kita membuka mata, lebih menyenangkan kalau ada keluarga di samping, bukan?" Riska menghempaskan badan di kursi hitam beroda di balik meja informasi bangsal 'Widuri'. Salah satu bangsal kelas satu di Rumah Sakit itu.

"Yah, begitulah .... Kadang kita terlalu banyak kesibukan pribadi sampai menyingkirkan keluarga." Tiara meneguk air teh hangat untuk melancarkan perjalanan si roti menuju perut.

Riska menenggelamkan kepala di antara kedua telapak tangan. Mata monolidnya tertutup untuk menenggelamkan air mata yang hampir menetes. Gadis 27 tahun itu merasakan ada sesak di dada.

"Eh, maaf ... maaf, Ris. Aku nggak bermaksud ...." Tiara kebingungan, kemudian mencoba memberikan pelukan hangat semampunya.

"Uh, Tia ... berat." Badan Riska yang mungil terasa sakit, karena Tiara memeluk terlalu erat.

"Hehehe ... maaf, ya. Sini, coba ... mana senyumnya?" Tangan Tiara menangkup pipi Riska yang tirus, kemudian memberikan senyuman lebar. Berharap senyum cap iklan pasta gigi miliknya menular pada Riska.

"Hmmm ...." Riska tersenyum seperlunya. "Udah, ah. Aku cek pak Suwito dulu, ya," lanjut Riska sambil berlalu.

"Hei. Aku udah cek ulang tadi," cegah Tiara.

Riska tak memedulikan muka cemberut milik Tiara. Ia terus berjalan di lorong 'Widuri' menuju kamar di bagian ujung sebelah kanan. Tidak terlalu jauh, ia hanya perlu melewati empat kamar lainnya di kanan dan kiri. Justru kamar paling ujung adalah tempat yang paling nyaman, karena bagian depan dan samping menghadap ke taman Rumah Sakit.

"Selamat siang, Pak Suwito." Sepatu pantofel hitamnya melangkah perlahan.

Tak ada jawaban dari Suwito. Ia hanya menatap ke luar jendela. Menikmati hijaunya pohon yang sedikit bergoyang di antara langit biru berhias awan seperti permen kapas. Suwito tak melepas senyum ketika ada seekor burung kecil hinggap di salah satu ranting.

"Bapak, mau saya buka jendelanya?" tanya Riska seraya ikut melihat ke arah jendela.

"Tunggu burung itu pergi dulu." Mata tua Suwito melihat gerak-gerik burung yang memainkan kepala di antara daun-daun. Seperti mencari sesuatu.

Tak lama, si burung kecil itu pergi sambil membawa sesuatu di ujung paruhnya. Ranting pun bergoyang kecil sebagai akibat gaya tolak dari lompatan burung. Tanpa menanti aba-aba, Riska mematikan AC, lalu menggeser salah satu jendela kamar yang terletak di lantai dua itu. Seketika, angin meniup rambut ikalnya yang diikat kucir kuda.

"Burung itu mau bikin sarang," lanjut Suwito. "Terima kasih, Neng. Jadi segar." Suwito melirik pada Riska.

"Riska, Pak. Nama saya Riska," jelas Riska.

"Kamu tahu? Istri saya suka sekali menari," ucap Suwito sambil mempersilahkan Riska untuk duduk di bangku dekat jendela.

"Menari apa?" Riska sangat senang akan keterbukaan pasiennya yang berusia 73 tahun itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terikat pada Suwito. Ia berharap, ada yang bisa dilakukan pada Suwito agar satu cerita tak terulang kembali.

Di sela cerita Suwito, Riska merasa dadanya semakin terhimpit. Tak ada kenyataan yang lebih pahit ketika pasangan tua hanya hidup berdua tanpa satu orang pun menemani. Walaupun hidup berkecukupan, tapi ada sesuatu yang kosong.

"Kami memang merindukan anak kami yang sekarang ada di luar kota. Tapi ... mereka berhak memilih jalan hidup masing-masing. Seorang anak, bukan milik orang tua seutuhnya. Mereka punya jalannya sendiri," lanjut Suwito sambil memperbaiki posisi duduknya.

Riska tertegun.

Suwito tampak tegar dalam ucapannya. Namun, mata tua abu-abu miliknya menyiratkan kerinduan yang amat dalam. Tampak bening oleh air mata, tapi tak mampu jatuh setetes pun.

"Kalau hanya berdua jadi muda lagi, lo, Neng Riska." Suwito terbahak, lalu terbatuk.

Riska segera menyodorkan segelas air putih agar batuk Suwito reda. Kemudian kembali duduk di bangku dekat jendela. Sesekali semilir angin menyapa beberapa helai rambut kecil di samping telinganya. Seakan membisikkan senandung alam.

"Bapak, rindu istri?" Riska memberanikan diri bertanya.

"Iya, dong. Apa-apa kami berdua. Bahkan ke kamar mandi saja bergandengan. Nih, erat sekali seperti ini." Suwito menunjukkan kedua tangannya yang saling bertaut. Menggambarkan betapa eratnya pegangan tangan itu pada Riska.

Riska tersenyum lebar. Bibir tipisnya membentuk sebuah garis lengkung ke atas, hampir memenuhi muka yang mungil. Hingga tahi lalat di ujung kanan bawah bibir hampir tak terlihat.

"Makanya, Neng Riska ... Bapak nggak sabar nunggu ibu. Katanya dia nggak akan membiarkan Bapak sendiri. Apa nggak ada yang kasih tahu kalau Bapak ada di sini?" Suara Suwito terdengar sedih.

"Sebentar lagi anak Bapak datang. Mungkin, besok," jawab Riska sekenanya.

"Jangan! Anakku nggak ngerti cara bersihin gigi palsu Bapak ini, Neng. Cuma ibu yang paham." Suwito tertunduk. Rautnya yang keriput terlihat kemerahan.

Riska tersenyum kecil. "Nanti saya yang bersihkan," lanjutnya sembari menutup jendela, "nanti Bapak kasih tahu, ya, obat yang biasa digunakan untuk membersihkan gigi apa saja. Saya nanti cari di apotek."

"Duh, jadi ngerepotin. Kalau ibu datang, Saya omelin. Jadi ngerepotin orang lain. Kebiasaan leletnya dari dulu nggak pernah sembuh," lantur Suwito

"Anggap saja saya salah satu anggota keluarga, Pak."

Riska menyalakan AC dengan suhu kamar, kemudian menutup tubuh Suwito dengan selimut Rumah Sakit yang baru saja diganti. Suwito merasa lelah setelah bercakap-cakap. Ia pun memejamkan mata dan terlelap.

****

Gagang telepon kuning gading itu hampir saja terlempar jauh. Suara dentingannya terdengar di sepanjang lorong 'Widuri'. Untung saja tak ada satu pun orang yang lewat.

"Sabar, Ris." Tiara mengusap punggung Riska.

Napas Riska tersengal. Emosinya meledak sampai ke ubun-ubun. Hatinya panas, kepalanya panas, jantungnya tak karuan.

"Dia ... dia mungkin belum tahu artinya menyesal, Tia. Kalau semua terlambat ... apa dia masih bisa menahan rasa sesal?" Air mata Riska menetes.

"Aku paham. Mungkin besok dia benar-benar datang." Tiara mencoba menenangkan Riska.

"Kemarin bilang gitu. Sekarang begitu lagi. Padahal ada seseorang yang rindu dan menginginkan kehadirannya, tapi tak tega berkata jujur. Seharusnya dia paham. Anak macam apa dia?" Riska terduduk dan menyeka air matanya yang tak henti mengalir.

"Pak Suwito, hanya hidup berdua bersama istrinya. Sehari-hari dia meresapi kesepian. Hanya menanti kebaikan tetangga yang berkunjung bergantian. Sekadar menyapa, bicara, cerita, tertawa. Sedangkan anak satu-satunya hanya sempat memberi sejumlah titipan uang," lanjut Riska. Ulu hatinya seperti sedang dicengkeram tangan berduri. Riska pun berdiri dan melihat pantulan dirinya pada cermin yang tergantung di dinding seraya berucap, "semoga dia tak menjadi sepertiku."

****

Deretan lampu pasien di meja informasi menyala salah satu. Riska terbelalak. Hatinya terus berdoa agar tak ada hal buruk yang datang di kamar ujung sebelah kanan.

Riska berlari secepat mungkin, setelah meminta Tiara untuk memanggil dokter jaga. Lebih tepatnya, memberi perintah pada Tiara. Sebab, tanpa sadar Riska menunjuk dan berteriak pada Tiara. Membuat Tiara mematung bak tikus kecil yang terjepit.

Di kamar bernuansa hijau pupus dan toska itu, Riska mendapati Suwito yang lunglai tengah memegang bel untuk memanggil perawat jaga. Napas Suwito tersengal. Ia berusaha bicara, tapi tak ada satupun kata yang keluar. Riska buru-buru memberikan alat bantu pernapasan. Namun, tak lama Suwito melepaskannya kembali.

"Neng, tolong buka jendela kamar. Angin sedang menari dengan anggun. Angin ...."

Riska menuruti Suwito. Ia segera menggeser jendela kamar. Riska paham situasi yang sedang terjadi. Lima tahun sudah ia menjadi perawat. Ia yakin, sekarang Suwito sedang berjuang menuju sebuah perjalanan.

****

....

Pria itu beranjak dari kursi berbentuk potongan pohon besar. Ia tersenyum tatkala wanitanya menari di antara angin dengan anggun. Meliukkan seluruh tubuh bagai tak bertulang dan berjingkat meraih kelopak bunga yang bermain di atas kepalanya. Semilir angin mendekat dan menyapa sang pria. Kemudian meniupkan dendangan lembut di kedua telinga, sebuah senandung alam. Tak lama, pria dalam balutan kemeja dan celana putih itu pun menyentuh jemari lentik wanitanya.

Ada rindu yang terobati.

Ada jarak yang tak terpisahkan lagi.

Mereka pun saling bertaut, merengkuh, erat dalam genggaman yang tak akan terlepas lagi.

....

****

"Ginjalnya memang sudah lama tak dapat diatasi lagi. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tetap Tuhan yang menentukan. Pak Suwito ... menyusul istrinya yang meninggal terlebih dahulu satu bulan lalu." Seorang dokter pria yang membuntuti Tiara menepuk pundak Riska.

Seketika Riska merasakan tungkainya lemas dan hanya bisa bersandar pada salah satu dinding di kamar itu. Seharusnya Riska bisa lebih kuat seperti biasa. Karena ini bukan pemandangan yang baru sekali atau dua kali ditemui. Namun, entah mengapa ia seperti kembali pada suatu waktu.

....

Tiba-tiba pintu rumah sakit terbuka dan menimbulkan suara dentaman. Menyadarkan Riska dari lamunan. Tak lama, seorang wanita mengenakan blazer marun memasuki kamar Suwito. Kemudian mematung di depan tubuh Suwito yang telah kaku. Tangannya, membelai lembut raut keriput Suwito dan mengecup punggung tangan yang tak lagi berdenyut itu.

"Pak ..., maafkan anakmu yang tak memiliki waktu ini. Pak ...! Bapak ...!"

Erangan pilu di tengah hari membawa Riska kembali ketika ia masih berusia 20-an. Ketika itu, ia serupa dengan anak Suwito. Menangis penuh penyesalan karena yang pergi tak mungkin kembali. Berteriak tanpa henti, berharap seseorang masih mampu memeluk dan menggendongnya seperti saat kecil dulu.

Teringat jelas dalam ingatannya, ketika ia tak mengindahkan permintaan sang ayah sekadar duduk bersama. Ketika ia lebih menyibukkan diri pada pekerjaan demi setumpuk uang. Uang yang diyakini mampu menyembuhkan penyakit jantung ayahnya. Uang yang diyakini mampu membuat orang tua satu-satunya itu hidup lebih lama. Saat itu, Riska lupa jika uang bukan segalanya bagi seseorang yang telah membesarkan dengan segenap rasa dan pengorbanan.

Waktu.

Waktu memang meminta kita untuk memilih. Waktu memang melepas semua perjalanan manusia. Namun waktu juga yang menyembuhkan luka, walaupun tak akan tertutup sempurna. Dan waktu selalu memberi jawaban, karena ia tak pernah berhenti menyapa.

....

Dua kelopak kecil bunga berwarna merah muda dan putih meliuk-liuk di depan jendela tersapu angin. Seakan tengah bercengkrama dan menari bersama dengan anggun. Sekadar menyapa dan berkata, "semua 'kan baik-baik saja."

....

---Selesai---
Yogyakarta, 14 Desember 2019
Diubah oleh riekartieka 16-12-2019 15:09
lina.whAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.1K
8
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.