Memang sampai saat ini, belum ada yang bisa mengalahkan sang waktu kecuali mesin waktunya Doraemon yang bisa menjelajah ke zaman purba sampai ke masa depan. Setelah melihat album kenangan, baru kemarin rasanya saya duduk di bangku sekolah dasar. Berdiri berbaris di halaman sekolah mengikuti senam pagi atau upacara bendera di Hari Senin, sebelum memasuki ruang kelas.



Masih teringat bangku deretan pertama yang menjadi tempat favorit saya. Bukan sok jadi anak pintar sih, alasannya karena dulu mata saya pernah rabun, karena keseringan nonton acara film kartun di tv dengan jarak dekat. Jadi tulisan di papan tulis sering susah saya lihat hahaha.

Pak Guru, Bu Guru, beliau semua memang sosok pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan yang akan selalu terkenang hingga akhir hayat saya setelah kedua orang tua saya.

Anak-anak sekarang masih TK bahkan masih PAUD sudah bisa membaca dan menulis berbeda dengan saya, setelah duduk di bangku SD kelas dua baru bisa membaca dan menulis dengan lancar.

Yang ini menjadi salah satu pengalaman saya yang tidak baik untuk ditiru, selama saya belum bisa membaca dan menulis, yang mengerjakan PR saya itu, Ibu sama Bapak, saya malah asyik nonton film kartun di TV. Entah karena apa saya bisa sebebal itu dulu. Untuk menyusun alfabet sampai membentuk kata nama sendiri saja rasanya susah minta ampun, sampai pusing trus nangis guling-guling wkwkwk.

Barulah setelah saya ketemu sama salah satu guru yang nggak pernah kelihatan senyum dan cenderung terkesan killer, saya menjadi bisa membaca dan menulis dengan lancar sampai saat ini.

Sebut saja nama beliau, Ibu Guru Citra. Nama beliau sengaja saya rahasiakan untuk menjaga privasinya. Saat itu Bu Citra memberi pelajaran menulis huruf tegak jalan bersambung dengan gaya menulis tebal tipis pada buku bergaris tiga.

Dari awal saya sudah pusing, memegang pensil saja rasanya susah, terlebih saat itu Ibu Guru menyuruh para muridnya mulai beralih dari menggunakan pensil menjadi menggunakan pulpen. Duh keluar keringat dingin dah jadinya.

Saat teman-teman yang lain sudah boleh pulang, karena sudah selesai mengumpulkan tugas menulis di buku garis tiga, saya malah nangis. Soalnya di kelas cuma tinggal saya sama Bu Citra saja hahaha. Bu Guru saat itu memasang wajah galak dan judesnya.

Sementara tiga puluh menit lagi ruangan kelas akan digunakan oleh murid kelas 5 SD. Saya panik trus nangis lagi, cengeng banget dah pokoknya.

Tapi ternyata dugaan saya salah. Ibu Citra orangnya baik dan penyabar. Beliau pun menghampiri saya dan bertanya. "Gus, kamu kenapa, Nak? Kok nangis?"

Bu Citra pun mengetahui penyebabnya. Guru yang baru pertama kali mengajar di kelas saya ini tersenyum dan mengajari saya bagaimana cara menulis yang baik dan benar. Tangan saya dituntun oleh tangan beliau.

Dengan suka rela, setiap hari sepulang sekolah Ibu Citra mengajari saya cara menulis dan membaca. Waktu 30 menit menjadi waktu yang menyenangkan dan bermanfaat buat saya. Bu Citra juga memberi saya tugas kusus untuk dikerjakan di rumah. Sampai saya mahir menulis menggunakan pulpen.

Namun, setelah kurang lebih satu semester Bu Citra mengajar di kelas saya, beliau tidak pernah datang lagi untuk mengajar. Alasannya pun saya tidak tahu dengan pasti. Ternyata setelah saya bertanya dengan rekan kerja beliau yang menjadi guru pengganti, Bu Citra telah meninggal dunia, karena kanker otak yang dideritanya.


sumber gambar


Rasa kehilangan menyelimuti diri saya. Diri saya yang dulu masih berusia 8 tahun merasakan perih di dada yang sangat memilukan. Sampai saat ini pun wajah beliau masih terbayang-bayang. Cara mengajar beliau dan semua jasa-jasa serta pesan-pesan beliau untuk saya.

Semoga, Bu Guru tenang di alam sana dan mendapat tempat yang terbaik di sisi Tuhan. Terima kasih Guru.

17/11/2019