wafafarhaAvatar border
TS
wafafarha
Hati Ini Mencintai Suamimu, Mbak! ( 10 )
#Aku_Mencintai_Suamimu_Mbak!
(10)

Mendung menggantung di langit sore. Wanita dengan baju syari keluar dari sebuah mobil bersama Dewi yang hanya menggunakan t-shirt dan celana jeans.

Keduanya masuk ke dalam rumah minimalis di sebuah komplek. Di sana mereka sibuk meletakkan barang yang akan Dewi gunakan sehari-hari. Mengisi kulkas dan melihat benda-benda di dalam rumah apakah berfungsi dengan baik.

"Gimana Dew? kamu suka kostan ini?" tanya Farahna sembari menata barang adik dari sahabatnya itu.

"Iya, Mbak. Tapi apa gak mahal kostan semewah ini."

"Hem. Soal itu gak usah dipikirin. Yang musti kamu pikirin adalah kesehatanmu dan janin di kandunganmu."

"Iya, Mbak. Makasih. Maaf udah ngrepotin."

"Nggak kok Dew."
Farahna tersenyum, menunjukkan sikap tulus pada Dewi.

"Em. Mbak. Apa ... Mbak Na gak nikah sampai sekarang karena masa lalu?"

"Hem?" Farahna terkejut pada pertanyaan wanita yang bersamanya.
Menit kemudian ia melontarkan pertanyaan dengan menatap lebih serius dari sebelumnya.
"Kamu tau masalaluku?"

"Em, nggak, sih. Mbak. Hehe." Dewi terlihat salah tingkah. "Biasanya karena masa lalu orang memilih sendiri, misal trauma sama mantan."

"Em ... nggak. Aku gak punya mantan Dew. Kalau cinta monyet banyak. Ah, sudahlah kenapa jadi bahas aku?" Farahna melihat arloji di tangan.
"Sudah sore banget."

"Mbak. Aku minta maaf."

"Untuk apa? Harusnya kamu minta maaf sama Rani. Dia lah yang kamu sakiti." Farahna meraih tasnya. Bersiap untuk pergi.

"Aku juga salah sama Mbak." Dewi menyambung ucapannya, membuat wanita di hadapan mematung seketika.

"Apa maksud kamu?"

"Em. Em. Aku ... aku hanya merasa bersalah aja cuma ngerepotin, Mbak."

Dahi Farahna mengerut. Menarik napas. Betul jika kasus Dewi sangat menyita waktu dan pikirannya, tapi ia melakukan semua itu secara tulus. Mengingini kebaikan untuk Rani juga Dewi, bukan hanya sebagai sesama muslim tapi juga hal 'berbeda' pada Rani.

"Ya, sudahlah. Jangan mikir yang nggak-nggak.
Yang paling penting, hidup kamu sekarang dan juga janin di kandunganmu, Dew."

Wajah Dewi datar, tidak tahu apa yang akan wanita di hadapannya perbuat saat kelak tahu dirinya punya andil besar atas trauma Farahna.

"Istirahatlah. Perbanyak istighfar. Jangan lagi dekati Johan." Wanita yang mengenakan gamis berwarna marun mix grey itu tak bosan memperingatkan Dewi. Sudah cukup kesalahan besar berkhianat dan menjalani hubungan haram berbalut dosa, jangan sampai ia terperdaya lagi oleh Johan dan membunuh jiwa yang hanya Allah saja boleh mengambilnya, seonggok daging bernyawa di rahim Dewi.

Wanita yang tengah 'ngidam' itu tak menjawab, ia yang duduk matanya hanya mengikuti gerakan Farahna.

"Oya, kamu udah urus kepindahan kuliahmu Dew?"

Dewi mengangguk. "Iya, Mbak. Tadi pagi aku udah ke kampus."

"Bagus. Ambil ini!" Farahna mengeluarkan sebuah amplop berisi uang cash miliknya.

"Untuk apa ini, Mbak?"
Dewi merasa semakin tidak nyaman dengan banyaknya kebaikan wanita itu.

Farahna tersenyum. "Sudah, ambil saja. Gunakan untuk keperluanmu dan lepaskan diri dari Johan. Kita harus pastikan janinmu dan Rani sehat dan lahir dengan selamat."

"Iya," jawab Dewi pelan, pandangannya kini keluar. Melihat kilatan cahaya di langit pertanda akan hujan. Petir itu jauh di sana, tapi seolah kejutan listriknya terasa menjalar ke tubuh dan menyakitkan baginya.

"Baiklah. Aku pulang dulu ya, Dew. Di dalam lemari kamar ada mukena yang bisa kamu gunakan untuk sholat. Oya ada baiknya kamu tidak memakai celana ketat seperti itu, karena berpengaruh pada sirkulasi darah bagian pinggul dan rahim kamu, otomatis juga berpengaruh ke janin kamu."

"Iya, Mbak. Makasih."

________

Menunggu bus yang biasa lewat jalur ke area komplek Farahna tinggal di halte, belum juga bus sampai -atau barangkali sudah lewat sebelum wanita itu datang- gerimis turun membasahi bumi di mana ia berpijak, lama-kelamaan gerimis itu menjadi hujan yang cukup deras. Membuat pakaiannya sedikit basah.

Melihat pada arloji, terdengar sayup suara adzan magrib, ia akhirnya memutuskan ke masjid yang tak jauh dari tempatnya duduk sebelum ia benar-benar kuyub karena hujan.

Selesai dengan sholatnya, wanita ayu itu memilih duduk di teras masjid, memeluk lututnya karena hawa terasa lebih dingin dari sebelumnya. Menunggu seseorang yang akan menjemput.

"Subhanallah ... kemaleman, deh." Farahna mendesah.

"Benar hujan sangat lebat. Apa Nona perlu tumpangan?"
Suara seorang pria membuat wanita itu terkesiap.
"Allah ...!"

Sesaat Farahna memegangi dadanya yang terjulur kerudung hingga bawah perutnya.
Sontak ia menoleh pada Michael yang sudah berjongkok setengah meter dari tempatnya yang menatap ke luar masjid. Rahang kokohnya yang terlihat jelas, membuat desiran halus dalam dada wanita itu. Namun, cepat ia menguasai diri.

Dua alis Farahna tertaut. "Anda?"

Lelaki yang berhasil membuatnya kaget itu tersenyum.

"Sedang apa di sini? Mengikuti saya?"

Michael menaikkan sebelah bibirnya. "Wah, pede sekali," ucapnya datar.

Pipi Farahna memerah, setengah kesal dan malu mendengar ucapan pria tersebut.
Ia menarik napas. Diam sesaat, mencoba menetralisir perasaan tak enaknya.
"Ooh."

"Tapi kalau mau, saya bisa antar." Michael mencoba menawarkan bantuan. Ini kesempatan menurutnya. Jarang sekali ia bisa bertemu dengan gadis pujaan secara kebetulan pula.

"Tidak, terimakasih. Saya sedang menunggu seseorang. Selain arah kita berlawanan kita bukan mahram." Menjawab seperlunya, Farahna lalu memilih diam, dan 'sok' sibuk membuka ponsel.

"Wah, pasti Mas Farhan ya?"

Dahi Farahna mengerut, lelaki itu sengaja menyebut Farhan dengan sapaan Mas. Pasti karena ingin menggodanya, karena selama ini mereka saling bersapa Bro-Bray Lo-gue, tapi kalau dia membahas nanti lelaki menyebalkan yang selalu mengejarnya itu akan 'mengatai' kepedean lagi, maka ia memilih diam. Lagipula tidak ada kepentingan yang mendesak untuk bicara dengan pria ajnabi itu.
Harusnya dia memang minta tolong kakaknya untuk menjemput, tapi waktu Farhan dengan anaknya hanya sedikit. Kerja seharian, lalu saat bertemu tidak lebih dua jam Dzakir sudah tidur. Belum lagi tidak ingin Farhan protes kalau tahu dirinya ikut campur dalam urusan Dewi.

"Em?"
Merasa tidak ada jawaban, Michael menoleh melihat pada wanita di sampingnya. Sedang Farahna hanya sedikit melirik lewat ekor matanya.

"Ck. Dicuekin itu nggak enak ternyata. Apa wanita sholihah memang memiliki perangai seperti itu?" sambung lelaki itu menyindir.

Farahna meniup berat, merasa tersinggung dengan ucapan pria di sampingnya. Sekarang waktu yang tepat menyampaikan apa yang selama ini mengganjal di hati pada lelaki tersebut.
"Maaf sebelumnya. Saya sudah bilang tidak bisa menerima Anda. Jadi sebaiknya berhenti mengirim barang-barang ke kantor, itu sia-sia. Karena semua itu jadi pemilik pegawai saya."

"Oya? Sayang sekali. Apa memang begitu sikap pada sesama muslim?"

Farahna tersenyum masam. Ia tahu betul, maksud hadiah-hadiah itu dikirimkan padanya.

Michael menggedikkan bahu dengan dua tangan terbuka, mempertanyakan maksud Farahna.

Sebuah motor yang dikendarai seorang perempuan singgah. Perempuan itu membunyikan klakson, membuat Farahna dan Michael menoleh bersamaan.

"Maaf, saya harus pergi. OJOL langganan saya sudah datang." Sambil merapikan isi tas, Farahna berpamitan. Sedikit mengangguk dan menangkupkan tangan di dada. Lalu meninggalkan pria itu yang tengah diam menatapnya.
Hatinya gundah ... ia takut jika terus begini, bisa saja hatinya jatuh dan tertawan oleh Michael. Jika demikian, bagaimana ia mengendalikan hatinya? Ia bahkan tak punya rencana mengakui aib masa lalu.
Laki-laki ini berbeda, saat pria lain pergi ketika Farahna menolak dengan lembut, ia justru bertahan meski ditolak kasar dan dihindari berkali-kali.

Michael masih bergeming di tempatnya hingga bayangan motor yang dikendarai Farahna dan pengemudinya dengan mantel hujan -yang menutupi tubuh mereka-, hilang di ujung jalan.
Menarik napas panjang.
"Sulit sekali menakhlukkan wanita itu."

______________

Johan tengah bersiap akan pergi, di dalam ruangan yang sama Rani sedang kebingungan mencari sesuatu.

"Cari apa, sih?" tanya Johan sembari mengancing kemejanya.

"Gelang Mas. Kok gak ada ya?"

"Hemh. Gelang yang Mas belikan itu?"

"Iya." Kepala Rani hampir saja terbentur saat berdiri dari kolong meja, kalau saja Johan tidak cepat meletakkan tapak tangannya.

"Ya, udah sih biarin aja. Lagian juga udah tua tuh gelang. Kasian tuh perut buncit dipake jongkok-jongkok."

Rani mendesah. "Sayang, Mas. Itu 'kan gelang perak. Waktu beli juga ekonomi kita masih sakit banget, jadi buat aku gelang itu lebih berharga dari emas berlian."

"Huh, pret!"

"Apa, Mas?"

"Hehe. Gak Sayang. Tar deh, Mas ganti sama emas berlian beneran." Pria itu meraih tasnya, mengecup kening sang istri, pergi meninggalkan Rani seorang diri dalam kamar.

"Huh, kalau gitu dia yang PRET!" Rani mencebik sambil mengelus perutnya.

Tak lama Ibu Anggi masuk kamar, melihat wajah Rani yang kusut wanita itu penasaran apa yang tengah terjadi. Saat Rani menceritakan, Ibu Anggi malah terkekeh karenanya.

Dahi Rani mengerut, dan terlihat kentara, membuat wanita tua di hadapannya segera menghentikan tawa.
"Em, maaf. Maaf. Kamu lucu sekali Ran. Mirip sama adik Johan dulu."

"Ah, Ibu kenapa bahas itu lagi?"

"Ibu gak apa-apa, Ran. Bukannya semua yang terjadi sudah digariskan oleh Sang Pencipta Hidup dan Pengaturnya? Em, mumpung kita hanya berdua. Ibu ingin cerita sesuatu tentang Johan."

Rani mendekat, keduanya bersisian mengambil posisi nyaman untuk bicara.

__________

Di kamar kontrakan Dewi yang dulu, Johan terbangun dari tidurnya ketika derit pintu terdengar.
Mengerjap mata, berusaha bangkit. Dewi sudah berdiri dengan pakaian rapi di hadapannya.

"Lama banget Dew. Mas sampai ketiduran nungguin kamu." Johan menggeliat, beberapa bagian tubuhnya ada yang berbunyi serupa benda patah karena kelelahan.

"Mas capek banget kelihatannya." Wanita yang baru datang itu meletakkan tasnya asal di atas meja lalu duduk bersisian dengan Johan.

"Em, iya."

"Emang ngapain aja sama Mbak Ran? Sampe selelah itu?"

"Hem? Apa?" Mendengar ucapan kekasih gelapnya, Johan berhenti bergerak. Menoleh pada Dewi yang wajahnya tertekuk karena cemburu. Sebelah bibir pria itu naik. Wajah Dewi selalu menggemaskan kala 'ngambek' seperti sekarang. .
"Harusnya gak usah bahas Rani waktu barengan gini."
Suara lembut Johan kerap kali mengusik nurani, mana bisa ia menolak semua sentuhan dan kehangatan yang pria tampan itu tawarkan.
Lalu keduanya kembali hanyut ... tanpa ingat lagi norma dan dosa.

"Hallo, Mbak," sapanya pada orang di ujung telepon. Meraih pakaian luar lingerie untuk menutupi tubuhnya yang hampir polos.

Mengetahui istrinya yang menelpon teman kencannya, pria itu menghempaskan tubuh ke ranjang tipis tempatnya berbaring, lalu bangkit ke kamar mandi.

"Iya, Mbak. Aku tadi ke kampus ada yang diurus."
"Iya, maaf ya. Mbak. Jangan lupa istirahat." "Huum. Iya, Mbak. Aku akan makan yang banyak."
Menit berikutnya Dewi memutus telepon.

Mengambil posisi duduk di depan tivi, Dewi menunggu Johan yang lumayan lama di belakang.
Baru saja akan memanggil, pria itu keluar membawa segelas air untuk Dewi.

"Minumlah. Tubuhmu pasti segar." Senyum Johan sangat manis, namun justru membuat Dewi curiga. Belum pernah ia mengambilkan minum untuknya. Kecuali awal mereka berbuat nista di rumah sakit saat ia dirawat dulu, itu pun terpaksa karena ia menggigil tak sadarkan diri.

"Apa ini, Mas?"

"Dew ... kamu ingin kita tetep barengan kaya gini 'kan?"

Dewi terdiam. Jadi semua yang Johan lakukan tadi untuk membuatnya senang dan menerima kemauan Johan berbuat sesuatu, ia curiga minuman itu sudah dicampur obat penggugur kandungan. Pria itu sungguh perayu ulung, dia tahu bagaimana mengambil hati seseorang.

"Hem?" Lelaki beristri itu menelengkan kepala, meminta Dewi segera meminumnya.

"Tapi, Mas."

"Sudah Sayang. Ayo. Oya, kamu gak cerita siapa-siapa 'kan?" Johan melingkarkan tangan di perut Dewi.

"Ng-nggak, Mas." Dewi menjawab cepat. Gawat jika Johan tahu dia bercerita pada Farahna dan dicarikan kotsan baru untuk menghindari pria yang bersamanya. "Duh, gak tahan lagi nih. Mas. Gatel rasanya. Maaf aku ke belakang dulu." Dewi berdiri, lari ke arah dapur.

Johan mendesah. "Jangan lama-lama."

Sudah lebih lima belas menit Dewi tak kunjung kembali, sampai dua puluh menit tak jua terlihat batang hidungnya. Wanita itu memang tipe lama dalam toilet tapi jika sedang berdandan. Lalu sekarang? Menunggu membuatnya mulai habis kesabaran. Johan bangkit, melihat pada kamar mandi yang tertutup pintunya.

"Dew. Lama sekali. Ayo keluar. Ini jalan terbaik untuk kita."

Tak juga ada jawaban.
"Kamu tidur di situ? Dew!"

Mengetuk lebih keras berkali-kali, tetap saja tak ada jawaban. Akhirnya Johan membuka paksa pintu yang ternyata tidak terkunci.

"Kosong!?"

Pria itu celingukan mencari sosok Dewi di dapur dan kembali ke depan. Tidak ketemu. Sampai ia melihat pintu keluar dapur yang sedikit terbuka.
"Argh! Sial!"
Johan memukulkan tangannya ke pintu kayu dapur yang menjadi saksi kaburnya Dewi.

Emosi pria itu menggelegar seiring hujan deras dan kilatan petir di luar sana. "Awas kamu, Dew!"

BERSAMBUNG
=======

Baca terusannya di sini ya Gan ....

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...3c727a544f6d5f


Kalau ini bagian sebelumnya ...

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...d69517a551d06b
Diubah oleh wafafarha 30-10-2019 00:43
perihbangetAvatar border
lina.whAvatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 2 lainnya memberi reputasi
3
2K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.