ikut khilafah, HTI, wahabi, muhammadiyah, ikhwanul muslimin/PKS, dkk yg ilmu agamanya tanpa sanad biasanya ghiroh/semangat membara2, hafal satu ayat atau hadits dan terjemahannya, apalagi satu surat serasa paling syariah, paling shohih, paling hijrah dst .. adapun kyai yg puluhan tahun mengaji puluhan kitab nampak jd spt paling liberal, munafik, sesat dll. Sementara NU karena menjaga sanad ilmu dan ororitas ilmu, awam atau pasien yg membaca buku kedokteran tidak lantas menghakimi para dokter yg certified.
Baca sampai habis!
Pulang dari ngaji, yang ngantar kebetulan pernah sebentar terpengaruh wahabiyah (Salafi/Wahabi). Saya tanya gimana rasanya ikut NU dan manhaj NU?
"Bikin saya tambah bodoh, Gus...."
Lho kok begitu?
"Lha iya, dulu dengan mudahnya saya bisa mengkafirkan orang yang tak sefaham dengan saya, dan saya bisa belajar tanpa guru dari buku-buku yang saya baca. Setelah ikut NU, ternyata masih banyak ilmu yang belum saya pelajari dan baru saya dengar. Eh ternyata tidak gampang mengkafirkan orang. Eh ternyata saya tidak bisa memahami Quran-Hadits dari terjemah saja. Semakin lama ke dalam semakin saya merasa bodoh. Apalagi melihat cara para ulama memahami Quran dan Hadits dengan berbagai macam kajian yang membuat kesimpulan berbeda padahal dari satu sumber."
Mau buku agama berkualitas? Cek di @lapaknucom
Caption: K.H. Achmad Shampton Masduqie.
#alanumedia
Quote:
Makin Panjang Jenggotnya Makin Bodoh Otaknya?
oleh Juman Rofarif
Saya urung memasukkan kutipan berikut ini ke buku “Al-Hikam Imam Syafii”. Kalimat tersebut tidak bisa dipahami secara lugas dalam sekali baca. Butuh konteks untuk mengerti makna sebenarnya sebagaimana maksud pengucapnya. Alasan tersebut tidak sesuai dengan konsep buku “Al-Hikam Imam Syafii”: buku ini hanya memuat kutipan-kutipan Imam Syafii [beserta terjemahannya] yang secara langsung bisa dipahami dan dimengerti maknanya oleh pembaca tanpa butuh paham konteks kutipan.
كلّما طالت اللحية، تكوسج العقل
“Saat jenggot panjang, otak jadi pendek.”
Kutipan “jenggot panjang, otak pendek” itu tertulis dalam salah satu kitab diwan Imam al-Syafii (ada beragam kitab diwan yang mengumpulkan kalimat hikmah Imam al-Syafii). Namun, sumber primer kutipan tersebut adalah al-Wafi bi al-Wafayat (tepatnya di jilid kedua halaman ke-123), kitab-biografi 29 jilid yang ditulis lebih dari enam ratus tahun lalu oleh ulama-penulis Sunni bernama Shalahuddin al-Shafadi.
Dari al-Wafi bi al-Wafayat itulah diketahui kata-kata di atas dinisbahkan kepada Imam al-Syafii. Disisipkan di bagian biografi Imam al-Syafii.
Apa maksud pernyataan itu?
Entahlah. Di kitab tersebut tidak ada penjelasan maksud dan konteks yang menyertai kata-kata itu. Kata-kata tersebut berdiri sendiri. Shalahuddin al-Shafadi hanya mengutip begitu saja. Hanya Imam Syafii sendiri yang tahu. Kita hanya bisa menafsirkan.
Sekitar 250 tahun sebelum al-Shafadi, Imam al-Ghazali telah terlebih dahulu menukil kutipan serupa dalam kitab Ihya Ulumiddin pada bab Asrar al-Thaharah. Tepat di atas pasal al-Lihyah(Jenggot).
كلما طالت اللحية تشمر العقل
“Saat jenggot panjang, otak jadi berkurang.”
Kata-kata yang dikutip Imam al-Ghazali tersebut bermakna sama dengan kata-kata Imam Syafii. Hanya berbeda di satu kata saja.تكوسج dan تشمر. Beda kata, maksudnya sama.
Bagusnya, Imam al-Ghazali mengutip nukilan tersebut dalam konteks tertentu. Sehingga sedikit-banyak membantu memahami maksud ungkapan tersebut.
Imam al-Ghazali mengutip kata-kata itu untuk konteks “ukuran panjang jenggot” bahwa “ukuran panjang jenggot sebaiknya sedang-sedang saja”, bahwa “jika Anda memelihara jenggot, sebaiknya dirawat”, bahwa “jenggot yang panjangnya keterlaluan bisa merusak penampilan, dan digunjing orang-orang”.
Imam Ghazali mengutip kata-kata Imam an-Nakha’i: “Aku heran kepada orang berakal yang jenggotnya panjang. Kenapa dia tidak memotong jenggotnya; jangan biarkan terlalu panjang, namun juga jangan dipotong terlalu pendek. Sedang-sedang saja dalam segala sesuatu itu bagus.” (Panjang ideal jenggot adalah segenggaman. Atau, yang penting proporsional dengan wajah).
Nah, setelah mengutip perkataan Imam Nakhai itu, Imam Ghazali melanjutkan dengan kutipan itu: “Saat jenggot panjang, otak jadi berkurang.”
Jadi, apa makna “jenggot panjang, otak berkurang” dalam konteks kutipan Imam al-Ghazali?
Orang yang jenggotnya panjang, apalagi tidak terawat, tidak punya banyak kecerdasan dalam berpenampilan?
Orang yang jenggotnya panjang tidak punya banyak kecerdasan untuk tahu bahwa yang sedang-sedang saja itu lebih baik?
Atau seperti apa?
Atau, mungkin, secara filosofis, Anda menafsirkan sendiri kata kata-kata Imam al-Syafii atau kutipan yang dinukil Imam al-Ghazali di atas dengan melepaskannya dari konteks—biar mudah. Misal, jenggot adalah tanda umur. Semakin berumur, jenggot seseorang semakin cepat tumbuh atau semakin lebat. Artinya, semakin berumur, seseorang semestinya bisa lebih bijaksana dan mengedepankan nurani—tanpa meninggalkan rasio.
Atau, “jenggot panjang, otak berkurang” artinya semakin tua, kemampuan otak seseorang semakin turun. Menjadi tua, seseorang bisa jadi pikun. Sesuatu yang alamiah.
Atau, terserah Anda, seperti apa.
Atau, jika mau mendengar penjelasan (klarifikasi) Kiai Said Aqil soal jenggot dan otak, silakan cek di YouTube sana. Cari saja. Penjelasan filosofis Kiai Said bisa jadi alternatif untuk memahami maksud “jenggot panjang, otak pendek”.
Yang jelas, menurut saya, kata-kata Imam as-Syafii atau kutipan yang dinukil Imam al-Ghazali di atas (atau pernyataan Kiai Said) bukan ungkapan negatif untuk memojokkan kaum berjenggot. Konon, Imam al-Syafii sendiri memiliki jenggot yang bagus dan terawat. Masa, orang berjenggot mengucapkan kata-kata negatif perihal kejenggotannya? Kan nganu.
Tapi, bagaimana menafsirkan kutipan sangat eksplisit yang dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam karyanya yang berjudul Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin(Kabar Tentang Orang-Orang Dungu dan bodoh) ini?
الحمق سماد اللحية فمن طالت لحيته كثر حمقه
“bodoh itu pupuk untuk jenggot. Orang yang makin panjang jenggotnya berarti bodohnya makin banyak.”
Jenggot Spiritual
Bertebaran riwayat perintah Rasulullah agar para sahabat melebatkan jenggot (dan menipiskan kumis). Di antara tebaran riwayat itu, anjuran untuk melebatkan jenggot dan menipiskan kumis merupakan “politik identitas” kala itu agar kaum muslim membedakan diri dari kaum Majusi yang identitas mereka dikenali dari wajah klimis tanpa jenggot.
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفرُوا اللحَى وَأَحْفُوا الشوَارِبَ
“Bedakan diri kalian dari kaum musyrik; lebatkan jenggot kalian dan potong kumis kalian [yang melebihi bibir]” (HR: al-Bukhari).
“Kaum musyrik” dalam hadis di atas adalah kaum Majusi. Hadis riwayat Muslim menegaskannya.
جُزوا الشوَارِبَ وَأَرْخُوا اللحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Potong kumis kalian [yang melebihi bibir], panjangkan jenggot kalian; bedakan diri kalian dari kaum Majusi.”
Bagaimana dengan konteks zaman n̶o̶w̶ sekarang saat “politik identitas” dalam jenggot tersebut barangkali tidak lagi relevan? Pola pikir seperti apa sehingga perkara jenggot tetap baik dilakukan meski konteks anjuran berjenggot tidak ada lagi? (Maksudnya, tentu saja nganu sekali jika Anda memelihara jenggot dan memotong kumis dengan alasan biar tidak menyamai kaum Majusi. Identitas kaum Majusi saja barangkali sudah tidak diketahui. Kan jadi tambah nganu). Maksudnya, bagaimana kita tahu bahwa memelihara jenggot itu bisa mendatangkan pahala?
Berjenggot menjadi baik dan bernilai spiritual bukan karena jenggot an sich, melainkan karena hal-hal di luar jenggot, yaitu saat jenggot membuat Anda selalu ingat Nabi, membuat Anda semakin cinta Nabi, membuat Anda ingin selalu meneladani Nabi. Karena niat yang baik.
Namun, bahkan niat baik Anda ikut jejak Rasulullah dalam berjenggot bisa terkotori hingga jenggot Anda tak lagi bernilai secara spiritual. Dalam “Ihya”, Imam al-Ghazali mengingatkan kita, ada sepuluh hal yang dibenci dalam berjenggot. Di antara sepuluh itu, dua hal sangat dibenci dan sebaiknya dihindari bagi kaum berjenggot.
Pertama, berjenggot karena ingin pamer. Imam al-Ghazali menukil kutipan, “Ada dua syirik yang bisa tumbuh dalam jenggot: merawatnya karena ingin pamer dan membiarkannya awut-awutan karena ingin dianggap zuhud.”
Kedua, saat jenggot bikin Anda sombong. Saat Anda, misal, merasa jenggot menaikkan tingkat keislaman Anda, lalu memandang rendah keislaman orang lain karena tak berjenggot. Anda merasa sangat islami karena berjenggot, orang lain dianggap tak islami karena tak berjenggot. (Perihal kesombongan, tentu saja ia tak hanya jadi godaan orang berjenggot. Orang tak berjenggot juga bisa terjangkiti kesombongan, semisal memandang orang-orang berjenggot dengan tatapan negatif. Sombong memang keburukan yang bisa menempel di apa dan siapa saja).
Betapa sayang Imam al-Ghazali kepada orang-orang berjenggot. Alih-alih berpahala, beliau tak ingin berjenggot menjadi sia-sia.
Lalu, bagaimana dengan nasib orang yang secara genetik hanya dapat berjenggot tujuh lembar yang jadi nganu jika dipanjangkan? Bisakah kaum seperti itu mendapatkan pahala atas ketidakberjenggotannya?
Ya bisa saja.
Sumber
Islami.co
Quote:
Perbedaan tata cara membela Kalimah Tauhid antara Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (NU) dan Khawarij HTI :
A. Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (NU):
1.Mempelajari kandungan maknanya sebagai landasan aqidah, tauhid dan keimanan.
2.Membacanya sebagai dzikir.
3.Mengimplementasikannya dalam perbuatan kebaikan sehari2.
B. Menurut Khawarij HTI:
1.Disablon/dicetak di kain lalu dipakai sebagai bendera, topi, kaos dsb.
2.Dijadikan sbg alat menghasut atau memprovokasi masyarakat atas nama bela tauhid.
3.Dijadikan sbg perangkat demo.
~ Nurul Fadhilah Syam
![Ikut NU Bikin Goblok](https://s.kaskus.id/images/2019/10/26/10701992_201910261007520491.jpg)