sangterataiAvatar border
TS
sangteratai
Tingkah Tiga Pedagang Koplak
Tingkah Tiga Pedagang Koplak



***
Di suatu pasar, tersebutlah tiga pedagang yang lapaknya berdekatan. Paijo si pedagang telur. Bang Ucok si pedagang cabai yang lapaknya tepat di sebelah Mas Paijo. Terakhir Uda Buyung si pedagang pakaian dalam yang lapaknya berada di depan Mas Paijo dan Bang Ucok.

Setiap hari ada saja tingkah mereka yang membuat keadaan di pasar jadi heboh. Terkadang mereka adu mulut, kadang juga sayang-sayangan. Para pedagang lainnya melihat mereka sudah seperti suami beristri dua.

"Telor ... telor! Daun bayam daun kelor, duluan ayam apa telor?" Paijo mulai menggelar lapaknya.

"Ayam betelor kucing beranak, beha kolor buat mamak. Namboru nantulang, sempak baru bawa pulang.” Uda Buyung tak mau kalah dengan Paijo.

"Bah! Yang bepatun pula lah kelen pagi-pagi. Da Yung, mestinya aku yang bilang namboru nantulang," ucap Bang Ucok seraya menyusun tumpukan cabainya menyerupai bukit.

"Ya kau buat juga lah biar sama kita," kata Uda Buyung.

"Gak pande pula aku bepantun. Paijo, kau kasih dulu aku pantun untuk cabeku ini," pinta Bang Ucok pada Paijo.

"Masa gitu aja gak bisa, Bang," jawab Paijo dengan logat Jawanya yang kental.

"Buatkan aja sembarang, Jo. Yang penting ada cabenya," sambung Uda Buyung.

" Ya udah, Bang. Ini aku kasih, ikutin ya ...."

"Oke."

"Bukan cabe sembarang cabe," ucap Paijo pelan.

"Bukan cabe sembarang cabe." Bang Ucok menirukan ucapan Paijo dengan suara keras.

"Ini cabe, cabe-cabean."

Bang Ucok sempat melotot ke arah Paijo.

"Udah ikutin," kata Paijo.

"Ini cabe, cabe-cabean," tiru Bang Ucok lagi.

"Kalau adek lagi bete."

"Kalau adek lagi bete."

"Abang siap jadi sandaran."

"Ab--eh, apanya kau, Jo? Ada biniku itu di belakang. Dengar dia, mati aku nanti," keluh Bang Ucok. Lelaki berbadan tinggi besar itu tampak bengis di luar, namun takut pada istri.

"Haha, rancak bana, Jo." Uda Buyung terbahak melihat kelucuan dua makhluk di depannya.

"Diamlah kau, Da Yung. Senang kau kan kalau liat aku digimbal biniku?"

"Senang lah, Bang. Kapan lagi ada tontonan gratis ...," jawab Uda Buyung.

"Dasar kau! Kumasukin cabe kemulutmu nanti!"

"Sinilah Abang, biar kusempakin mulut Abang," tantang Uda Buyung.

"Astaghfirullah ... sabar Bang Cok, Da Yung. Bulan puasa ini." Paijo menengahi.

"Ah, kau punya pasal lah ini, Jo," keluh Bang Ucok.

"Aku ... lagi." Paijo mengelus dadanya yang rata bagai tripleks.

"Telor ... telor. Besar telornya, Pak." Paijo kembali berteriak pada pengunjung pasar untuk membeli dagangannya.

"Apa kau bilang?" Seorang lelaki berusia empat puluhan yang melintas tepat di depan lapak Paijo mencengkram kerah bajunya. Lelaki tersebut menggantikan istrinya belanja karena baru saja melahirkan anaknya yang ke sembilan. Kurang tidur karena bergantian dengan istri menggantikan popok bayi membuatnya mudah naik darah.

"Eh, saya gak ada bilang apa-apa, Pak. Dari tadi saya jualan," jawab Paijo gugup.

"Tadi ini kau teriak apa?"

"Saya cuma bilang telornya besar, Pak."

"Kurang ajar kau, ya!" Si bapak geram, hendak menonjok wajah Paijo.

"Eh ... Pak, Pak. Sabar, Pak." Uda Buyung menahan lengan si bapak.

"Dia ini, bilang-bilang telorku besar. Pengen ditampar mulutnya."

Bang Ucok dan Uda Buyung tak dapat menahan tawanya.

"Kok ketawa pula kelen?" tanya si bapak.

"Amang tahe ... yang dibilangnya itu telor yang dia jual, Pak. Bukan telor Bapak," jelas Bang Ucok.

"Tapi dia tadi bilangnya 'besar telornya, Pak'," kilah si bapak.

"Pak, maksud saya tadi, besar telornya ini. Gitu loh, Pak. Saya ngasih tau kalau telur saya besar, biar bapak mau beli."

Lagi, Bang Ucok dan Uda Buyung terpingkal-pingkal mendengar ucapan Paijo.

"Bang Cok sama Da Yung dari tadi ketawa terus, sih!" keluh Paijo.

"Kau pulanya, buka kartu pula kau, Jo," kata Bang Ucok.

Paijo dan si bapak tampak heran melihat tingkah Bang Ucok dan Uda Buyung.

"Kok kau kasih tau kami kalau telormu besar. Lain kali sama badanmu yang kerempeng itu," ucap Uda Buyung sambil memegangi perutnya yang tak sakit.

"Gusti ... paringi sabar." Paijo mengelus dadanya.

"Pak, saya minta maaf. Maksud saya, telor ayam yang saya jual ini ukurannya besar-besar. Bapak mau beli? Saya kasih diskon karena ini buka dasar." Paijo tak ingin kesalahpahaman itu berlanjut.

"Oh, ya udah. Kasih aku sepapan," ucap si bapak. Paijo segera memilihkan telur-telur dengan ukuran yang lebih besar.

"Pak ...." Bang Ucok mencolek lengan si bapak.

"Apa?" Si bapak yang masih kesal bertanya dengan suara meninggi.

"Cabe, Pak. Cabe saya pedes, gak kayak cabe-cabean," jawab Bang Ucok cepat.

"Kasih aku setengah kilo, campur," pinta si bapak.

"Ahsiyaap." Bang Ucok berlari menuju lapaknya dan segera menimbang cabai.

"Pak ...." Uda Buyung yang melihat kedua temannya sudah buka dasar tak mau kalah.

"Apa lagi?"

"Beha kolornya, Pak." Uda Buyung menampakkan senyum P*ps*d*nt-nya.

"Carikan beha menyusui untuk biniku. Ukuran besar.”

“Sebesar apa, Pak?”

Si bapak bingung menjelaskan ukuran payudara istrinya.
“Hmm ... ah, sebesar punya ibu itu.” Tangan si bapak menunjuk ke dada seorang ibu yang lewat.

Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi si bapak.

“Apa kau nunjuk-nunduk dadaku, hah? Kuremukkan kau nanti.” Si ibu berlalu setelah puas memberi pelajaran.

Paijo, Bang Ucok, dan Uda Buyung melongo melihatnya, kemudian tertawa.

“Gara-gara kaunya ini!” bentak si bapak pada Uda Buyung.

“Kok saya, Pak. Kan bapak yang nunjuk. Jadi behanya ukuran segitu, Pak?”

“Ah, gak jadi aku beli behamu. Kau pake aja sendiri!”

“Ondeh mande ...,” gumam Uda Buyung.

“Pak, ini telornya. Empat puluh ribu.” Paijo menyodorkan sepapan telur ayam pada si bapak.

“Gak jadi, kau makan aja sendiri.”

“Ya Allah Gusti ... kok aku kena juga,” keluh Paijo.

“Cabenya, Pak.” Bang Ucok menarik kedua sudut bibirnya dengan membawa setengah kilo cabai yang sudah dibungkus.

“Ini lagi! Kelen sempakin aja lah itu telor kelen sama cabe-cabean,” umlat si bapak kesal dan meninggalkan ketiga pedagang malang itu.

“Gara-gara kau lah ini, Da Yung.”

“Kok aku pula?”

“Nah, kau makan lah ini cabe.” Bang Ucok meletakkan bungkusan cabe ke tangan Uda Buyung.

Uda Buyung mengambil satu celana dalam wanita dan memakaikannya di kepala Bang Ucok.
“Nih, kau sempakin lah cabe-cabeanmu itu!”

“Gusti ... tolonglah hamba-Mu ini.” Doa Paijo.

“Diamlah kau, telor!” bentak Bang Ucok dan Uda Buyung serentak.

*Selesai*
eghyAvatar border
tinwin.f7Avatar border
tinwin.f7 dan eghy memberi reputasi
2
110
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buat Latihan Posting
Buat Latihan PostingKASKUS Official
35.6KThread1.7KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.