Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Aku Hanya Percaya
Aku Hanya Percaya  
Akhirnya aku lulus dari SMA. Setelah 3 tahun berjuang, kini semuanya membuahkan hasil. Aku diterima di salah satu kampus negeri, sesuai apa yang diharapkan orangtuaku. Berbicara tentang putih abu, pastilah tidak terlepas dari kisah romansa anak SMA. ya, aku pun mengalaminya. 3 tahun di SMA, 3 tahun pula aku bersamanya. Dan kini, aku tak tahu harus mengakhirinya atau tidak.

***

Matahari masih di ambang langit pagi, sinarnya hangat dan masih enggan untuk sekadar memancarkan terik untuk hari ini. Dan sepagi ini, aku sudah menjejakkan kaki di halaman sekolah untuk mengambil ijazah. Ya, seperti remaja lainnya yang sedang dicumbu asmara, aku dan dia pastilah telah membuat rencana untuk bertemu di sekolah. Dan inilah waktunya untuk membuat keputusan, tentang menggenggam erat sebuah kisah atau membiarkannya terlahap masa lalu.

“Rendi, ke rumah, ya.”

 “Ke rumah? Rumah kamu?” Tanyanya untuk menangkap arti ucapanku.

“Iya. Kapan lagi kita bisa bertemu selain sekarang?”

“Ayolah, Nindi. Sudah berapa kali kamu bicara seperti itu. Sudah aku bilang, kita pasti akan selalu dipertemukan. Berharap saja, waktu menyetujui rindu kita,” ucapnya seolah meyakinkan.

“Bukannya aku tak yakin, namun memang aku tidak sepenuhnya percaya pada prasangka baik. Entah kenapa semuanya terkadang membohongiku.”

“Sudahlah, Nindi. Mau ke rumah kamu, ya? Ayo sekarang.”

Aku hanya mengangguk tanda setuju.

Sesampainya di rumahku, kami mulai berbincang hal-hal seputar keputusan untuk menjalani hidup di dunia perkuliahan. Memilih untuk saling bersama demi jarak yang terbentang atau saling meninggalkan untuk mencicipi rindu yang terbuang.

“Selamat ya, Ren. Kamu pasti akan sibuk. Kampus kamu kan sangat bagus, pasti tugasnya numpuk. Betul, kan?”

“Mana aku tahu, Nin. Tapi aku akan coba menyempatkan waktu untuk menghubungimu. Pokoknya, bagaimana pun caranya, kita harus bertahan dengan jarak,” ucapnya yakin.

“Kau tidak pernah berjuang.”

“Apa maksudmu?”

“Kau masih ingat tentang ibumu? Ya, ibumu tak pernah menyukaiku. Entah apa salahku, aku tak pernah mengganggu urusan sekolahmu, buktinya kau selalu juara pertama di kelas. Tapi, kau tidak pernah mencoba meyakinkan ibumu. Bahkan sekarang kita hanya sebatas teman dekat, karena kau sudah memutuskan hubungan kita.”

“Nindi…”

“Karena apa? Karena ibumu marah,” ucapku menyela.

“Cukup! Nindi, sudahlah. Kita jalani saja semuanya,” jawab Rendi mulai terbawa emosi.

“Tapi kita berbohong. Ya, bohong, Ren. Kau bilang kepada ibumu bahwa semuanya sudah berakhir. Nyatanya, hanya status saja yang berakhir, kebersamaan kita masih saja sama, tak ada yang berubah.”

“Jadi, apa tujuanmu berbicara seperti ini?” Rendi menarik napas panjang dan mulai menatapku tajam.

Aku tersentak. “Aku ingin apa? Ingin berpisah? Aku hanya belum siap dan tak ingin juga.”

“Seharusnya kita benar-benar berakhir, Ren,” satu kalimat tak terduga tiba-tiba meluncur dari mulutku yang kelu.

Rendi terus menatapku dalam beberapa detik, sedangkan aku gemetar, takut dia sungguh-sungguh pergi. Bodoh sekali aku. Dan benar saja, tak kusangka, dia betul-betul beranjak.

“Aku pergi,” ucapnya dengan raut wajah beku.

Aku semakin bergetar, aku mencoba untuk menarik lengannya dan menyuruhnya kembali duduk.

Seperti wanita pada umumnya, aku menangis. Banyak wanita yang mengaku dirinya tegar, nyatanya semuanya hanya bualan, toh hati mereka memang mudah rapuh. Untuk apa menyangkal? Agar kelihatan kuat seperti laki-laki? Terima sajalah, menangis bukanlah hal yang memalukan. Menangis sajalah.

“Jangan pergi, Rendi! Aku mohon,” cegahku dengan air mata yang tak henti mengalir.

“Apa maumu? Kau bilang ingin mengakhiri semuanya. Lalu, kau ingin aku tetap tinggal? Kau gila?” Ucap Rendi dengan amarah yang meluap.

“Aku memang gila. Ya, gila! Tetaplah di sampingku untuk beberapa menit ke depan. Mungkin, hari-hari setelah hari ini aku tak bisa menjamah jemarimu, memandang sorot matamu, atau mendengar suaramu. Kau tahu? Akankah langkah kakiku terus tegar jika kita melangkah di pijakan yang berbeda?”

“Apa-apan kau ini, Nindi?! Simpan bualanmu itu. Kau tak tahu apa yang aku rasakan. Dan kau dengan mudahnya mengucapkan itu semua. Aku tak pernah memahami makna kata-katamu, bahkan sampai detik ini aku masih terlalu bodoh untuk mengerti ucapmu.”

“Rendi, kau sungguh sudah paham jika aku mudah sekali marah. Aku tahu, kau akan sibuk dengan tugas kuliahmu dan pastinya tidak akan sempat membalas pesanku. Dan kau pasti sudah bisa menebak, aku akan marah besar. Jadi, aku hanya akan menjadi beban bagimu.”

“Alasan saja kau ini,” jawab Rendi singkat.

“Aku sungguh-sungguh, Rendi. Kita harus berjuang bersama, tanpa harus saling bertukar kabar. Dan kelak, jika kita sudah lulus kuliah, kita harus kembali bersama. Bisa, kan, Rendi?” Aku menatapnya penuh harap.

Dia balas menatapku, tatapan dalam yang entah bermakna apa. Sesekali dia menggaruk kepalanya yang memang tak gatal, pertanda bingung. Sesekali juga dia menarik napas panjang. Dan juga, mencari letak kata-kata yang akan dia ucapkan. Entah hilang kemana uraian kalimatnya, sehingga dia membisu cukup lama.

“Apa kau yakin laki-laki sepertiku bisa terus mencintai wanita yang sama? Apakah aku bisa bertahan? Sedangkan kita tak akan berkomunikasi satu sama lain,” satu kalimat menyakitkan meluncur dari bibir manisnya.

“Aku hanya percaya kepadamu,” jawabku singkat.

Rendi kembali merenung sejenak, menatap langit-langit, lalu kembali menatapku, “Jika kau percaya, baiklah, aku akan mencobanya.”

“Aku akan mencarimu ketika aku sudah siap menemukanmu kembali, tunggu saja,” ucapku denga suara yang masih bergetar.

“Jika itu maumu, Nin, baiklah,” dia beranjak dari tempat duduknya, “Aku pergi,”

Aku hanya menatapnya berlalu, kali ini aku tak mencegahnya untuk pergi. Betul, ini mauku, sungguh demi kebaikan bersama. Entah aku bodoh atau apa, aku hanya ingin dia menjalani perkuliahannya dengan tenang, tanpa aku yang selalu mencampuri urusannya dan tentu saja membuatnya terganggu. Kali ini aku melakukan hal yang tepat, aku hanya menangguhkan kepercayaanku kepadanya, itu saja.

***

Setelah waktu berlalu cukup lambat, akhirnya aku sampai di titik ini, kehidupan kuliah. Tidak semudah yang aku bayangkan sebelumnya, aku harus berpisah dengan keluarga, menjalani hidup dengan rasa sepi, terlebih Rendi sungguh memenuhi janjinya. Aku yang biasa mecurahkan isi hatiku kepadanya, kini aku hanya melumatinya sendirian. Tak apa, ini hanya tentang waktu yang tidak tepat untuk kami bersama, kita sudah berjanji untuk bertemu kembali, dan aku hanya mempercainya.

Seperti yang sudah aku ucapkan berkali-kali, “aku percaya”. Ya, aku memilih untuk tidak mencari laki-laki lain dan menjauhi mereka yang berusaha mendekatiku. Karena, aku percaya. Aku tak salah, kan? Tak apa aku menderita sekarang, melahap rindu yang terus menggerogoti ruang sepi dan hidup tanpa wujud cinta yang terbentuk nyata. Dan sekali lagi atau ribuan kali lagi, “aku percaya” bahwa aku dan Rendi akan bertemu kembali, entah kapan, namun akan.

Jangan tanya menyedihkan atau tidak. Bayangkan saja, ketika rindu terus berlayar, sedangkan dia tidak mempunyai tempat untuk berlabuh. Aku memang sudah menyiksa diri sendiri untuk tidak mencintai siapa pun lagi, namun semuanya demi janjiku. Detik demi detik akan luruh, waktu akan berlalu, dan kami akan bertemu.

***

Kini usiaku sudah 25, aku pun sudah memiliki pekerjaan. Apakah aku masih mencintai Rendi? Tentu saja. Kini waktunya untukku mencari keberadaannya. Aku tahu Rendi pun sama sepertiku, menunggu. Aku hanya perlu mencari waktu yang tepat untuk menemukannya.

Hari minggu ini aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan dekat kantorku. Aku terus mencari buku yang memang aku sukai, novel dengan genre romance.Ya, buku yang aku suka memang seperti selera remaja usia belasan tahun. Lalu, memangnya kenapa? Aku memang menyukainya.

Aku duduk di kursi perpustakaan sambil membuka lembaran novel yang sudah kupilih untuk dibaca. Namun, mataku sepertinya menangkap sosok yang tidak asing, rasanya aku pernah melihatnya. Namun siapa? Setelah beberap detik, barulah aku tersadar tentang siapa dia.

“Ayu!” Panggilku sedikit kencang, tak sadar bahwa aku sedang di perpustakaan.

Dia langsung melihat ke arahku dan terdiam selama beberapa saat, mungkin sama sepertiku, berusaha mengingat wujud yang baru dilihatnya setelah sekian lama.

“Kak Nindi?” Ucapnya tak kalah kencang. Dia pun menghampiriku.

Kali ini aku berusaha memelankan suaraku, “Ayu, apa kabar?” Tanyaku basa-basi. Sebetulnya aku langsung saja ingin menanyakan pertanyaan yang sudah kusimpan sekian lama. Namun, rasanya agak tidak sopan. Aku ingin sekali bertanya dimana keberadaan Rendi. Ya, Ayu adalah adik perempuanya. Kami bertiga, maksudku, aku, Rendi, dan Ayu pernah beberapa kali berkumpul bersama, termasuk makan malam bersama, dan sebagainya.

“Baik, Kak. Kakak apa kabar?”

“Baik juga, Yu. Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu,” ucapku tak kalah basa-basi dari yang sebelumnya.

“Iya, Kak. Jadi rindu, ya,” jawabnya yang mungkin untuk mencairkan suasana saja.

“Iya,” ucapku dengan senyuman yang dibuat ramah. “Eh ya, Rendi apa kabar? Dia masih mengingatku tidak, ya?” Tanyaku dengan senyum berkulum.

“Ah ya, jangan-jangan kakak tidak tahu,” tiba-tiba saja Ayu menatapku tajam.

“Tidak tahu tentang?” Tanyaku penasaran.

Ayu terdiam untuk beberapa saat, menatapku ragu, “Kak Rendi… sebenarnya… dia…” Ucap Ayu terbata-bata.

“Katakan saja, Yu,” perasaanku mulai gelisah, takut terjadi apa-apa dengan Rendi.

“Dia…” Kepalanya tertunduk, matanya menghindari untuk menatapku.

“Apakah terjadi sesuatu? Dia sakit?” Tanyaku cemas.

“Tidak,” jawabnya sambil menggelengkan kepala, kali ini dia berani untuk sekadar menatapku sejenak.

“Lalu?”

“Dia…” Masih saja Ayu ragu untuk mengungkapkan semuanya.

“Katakan, Ayu!” Seruku dengan nada bicara yang mulai meninggi.

“Sudah menikah,” jawabnya singkat.

Aku memandangnya cukup lama, menelan kalimat yang tanpa aba-aba menghantam dada. “Aku hanya percaya, itu saja.” Ucapku dengan senyum yang digurat sempurna.

*TAMAT*




anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
356
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.