Masa jabatan untuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) episode 2014-2019 akan segera berakhir. Mereka yang didaulat sebagai penyambung lidah rakyat, memiliki catatan buruk yang justru membuat geram sebagian besar rakyat yang diwakilinya. Bila diumpamakan sebagai buku raport, banyak diantara wakil rakyat ini yang tidak lulus sekolah. Sebuah kondisi yang tentu saja sangat menyakiti sebagian besar penduduk di negeri ini. Asa yang begitu melambung tinggi karena berharap banyak, seakan menghempaskan rakyat pada jurang yang terjal. Seperti hati yang patah karena ditolak oleh yang tercinta. Sakit, dan rasanya perih. Tapi tak berdarah.

Setelah sekian lama duduk bersandarkan kursi empuk lengkap dengan pendingin ruangan yang sejuk, berbagai kontroversi melekat pada mereka yang menjadi penghuni di Senayan. Sejumlah kasus korupsi yang mendera, semakin menambah miris perasaan rakyat. Alih-alih menelurkan kebijakan yang memihak pada rakyat, justru kebanyakan mereka (anggota DPR) harus berhadapan dengan penegak hukum karena kasus korupsi. Nyebelin kan?

Baru-baru ini, kanal detik.comme-release tuan-tuan berdasi yang tersandung skandal korupsi. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 23 oknum. Sempurna untuk dua kesebelasan ditambah 1 wasit bukan?

Bagi yang penasaran siapa saja mereka yang terciduk, saya sarankan untuk klik link yang saya sertakan di trit ini. Sebab saya tak hendak memunculkan nama-nama mereka secara eksplisit demi menjaga emosi tetap terkendali.

Maraknya kasus korupsi yang terjadi di negeri ini semakin membuat rakyat seakan kehilangan banyak harapan. Kasus sogok-menyogok yang terjadi antar lembaga telah sedemikian akut. Pusaran korupsi juga merambah ke berbagai sektor. Sungguh teramat sial sekali.

Melihat persoalan korupsi yang kian menggurita, saya teringat oleh sebuah tulisan dari Dara Adinda Kesuma Nasution. Dara menulis bahwa korupsi telah bermetamorfosis selayaknya budaya. Oleh karenanya ia jadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tidak dipertanyakan lagi (taken for granted). Benarkah demikian?

Jika berkaca pada kasus korupsi yang sering kali terjadi, apa yang Dara pikirkan tentang korupsi ini benar adanya. Segala urusan seakan didesain dengan tetap memberi cela bagi masuknya ikhtikad jahat untuk melakukan korupsi.

Selain celah yang dimungkinkan berpotensi mengundang kejahatan korupsi, keadaan semakin diperparah dengan tumpulnya pedang keadilan bila berhadapan dengan pelakunya. Themis pun dibuat gagap dan apapun yang segera ditimpakan kepada koruptor tidak lantas membuat pelakunya jera. Korupsi demi korupsi masih terus terjadi. Pada saat tertangkap sekalipun, tak jarang pelaku masih sempat tersenyum dengan santuy. Amsyong...!!!

Korupsi adalah salah satu kejahatan yang implikasinya luarbiasa. Rasa keadilan sosial bagi seluruh masyarakat akan jauh dari harapan bila korupsi tidak bisa dihempaskan. Dan perkara korupsi yang kian merajalela, tak kan bisa dihentikan tanpa ada niat tulus dari pemilik kekuasaan di negeri ini. Terlepas dari motif apapun dari pelaku korupsi, tidak ada satu alasan pembenar korupsi boleh dilakukan.

Kini, masyarakat disuguhkan oleh drama paradoks yang dilakukan oleh anggota dewan terkait kasus korupsi. Mereka yang kerap tertangkap kamera sedang tertidur pulas, berubah produktif dan membuat sejumlah pasal revisi di Undang-undang KPK. Prosesnya dikebut seolah melintasi jalan tol yang bebas hambatan. Sialnya, jika dahulu mereka sering tertidur, sekalinya bekerja malah membuat pasal yang ngawur.