Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

telah.ditipuAvatar border
TS
telah.ditipu
CERita PENgantar Tidur: Malam ini, Aku Tidak Bisa Tidur

CERita PENgantar Tidur: Malam ini, Aku Tidak Bisa Tidur

Dingin. Hawa pada malam itu membuat badanku menggigil. Padahal aku sudah pakai jaket cukup tebal dan bercelana jeans, tapi saat perjalanan pulang tadi angin menerpaku. Aku pun buru-buru membuka pintu, lalu memarkir kendaraanku di garasi. Secangkir teh atau kopi tampaknya bisa menghangatkan badan dan pikiranku lagi.
 
CERita PENgantar Tidur: Malam ini, Aku Tidak Bisa Tidur
 
Bukannya apa, siang tadi aku mengalami hari yang sangat menyita pikiran. Pekerjaan yang belum selesai, ditambah sikap beberapa teman yang menjengkelkan membuat otakku kelelahan.
Aku pun pergi melewati ruang tamu yang lampunya sudah padam. Lalu aku menoleh kanan kiri ke dalam beberapa kamar, dan menemukan bahwa semua anggota keluargaku sudah tertidur pulas. Kemudian aku pergi ke sebuah kamar untuk menaruh tas dan barang bawaan lainnya, lalu aku ke dapur untuk memanaskan air dan menuangkannya ke dalam secangkir kopi susu.
Kopi susu sachet yang kubeli di minimarket beberapa waktu yang lalu, mumpung ada promo. Setelah itu, kutenteng minumanku ke suatu kamar. Kamar ini tidak besar, mungkin hanya berukuran tiga kali tiga meter. Didalamnya ada sebuah tempat duduk, sebidang meja kecil, lemari yang kadang dipakai kadang tidak dan kasur yang ditutup sprei.
Aku menyeruput kopiku. Asapnya yang masih mengepul memenuhi lubang hidungku. Seketika itu tercium aroma khas yang menyegarkan pikiran. Rasanya juga membekas di lidah, manis setengah panas. Setelah cairan itu turun melewati kerongkongan, aku menaruh cangkirku di atas meja lalu kurebahkan badanku di atas kasur. Entah kenapa, malam ini aku tidak bisa tidur.
 
CERita PENgantar Tidur: Malam ini, Aku Tidak Bisa Tidur
 
Lalu kunyalakan hapeku, membuka medsos dan seperti biasa, grup chatting yang aku ikuti berisi percakapan yang tak pantas untuk diingat. Lalu aku scroll beberapa status temanku, salah satunya menampilkan bahwa dia sedang naik gunung bersama teman-temannya. Di hashtagnya tersurat bahwa dia telah menaklukkan puncak setinggi 2.500 meter itu. Huh hanya segitu saja, pikirku. Lalu aku membuka galeri foto di hapeku, untuk melihat sebuah foto. Foto itu berisi aku dan kedua temanku yang lain, juga berada di puncak gunung namun lebih tinggi. Kami bertiga berhasil mendaki sampai 3.500 meter, tapi aku tidak memamerkannya di medsos seperti temanku tadi. Dia tak tahu kalau pencapaianku lebih tinggi darinya. Dadaku membusung dan kepalaku serasa membesar untuk sesaat, sebelum aku ingat pengalaman tak mengenakkan saat berada di gunung itu. Lebih tepatnya di daerah perbatasan dekat puncak. Aku tak mengira hal itu bisa terjadi, karena awalnya semua tampak berjalan sesuai rencana. Pendakian kami ke puncak itu sangat menyenangkan. Mulai dari packaging barang, lapor kepada petugas di pos, lalu mendaki sampai puncak dan menginap di tenda yang kami dirikan telah berjalan lancar tanpa ada halangan berarti. Tidak lupa kami foto bersama untuk dokumentasi. Sampai akhirnya kita mengemasi barang lalu turun untuk pulang. Di tengah perjalanan pulang, kami bercerita tentang pencapaian kami. Aku, Jon dan Mimi telah berhasil menaklukkan puncak setinggi 3.500 meter.
Bandingkan dengan teman kami yang kebanyakan hanya sampai ketinggian 2.500 atau 3.000 meter. Sangat jarang orang mendaki melebihi itu, karena tepat di ketinggian 3.250 meter terdapat batas berupa sebuah makam. Konon katanya makam itu adalah batas antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata. Hanya orang tertentu yang berani melewati makam dan terus mendaki sampai puncak. Kami bertiga bukan termasuk yang berani, tapi kami merasa mampu melebihi pencapaian teman-teman. Dan faktanya memang demikian. Jadi kami turun dengan mendongakkan kepala. Kami tak sabar mengunggah foto itu ke medsos dan memamerkannya ke dunia, membuat yang lain kalah dan merasa iri lalu mengakui kehebatan kami. Mimi ingin memamerkan foto itu untuk balas dendam ke temannya yang habis liburan ke luar negeri. Jon ingin mengalahkan temannya yang hanya mendaki sampai 3.000 meter. Sedangkan aku ingin membuktikan bahwa aku juga bisa mencapai sesuatu yang kucita-citakan kepada mereka yang sukses dalam karir dan kekuasaan. Kami bertiga pun tenggelam dalam lamunan berisi pujian dan pengakuan atas pencapaian kami. Tapi lamunan kami tiba-tiba buyar saat melewati perbatasan itu. Ada yang berbeda. Makam itu tidak ada, padahal kemarin kami melewatinya. Tanpa kusadari, kedua temanku yang dari tadi membuntutiku juga tidak ada. Jon dan Mimi menghilang. Aku tidak tahu dimana mereka dan aku berada. Di sekitarku gelap karena malam telah tiba, dan tidak ada bintang atau bulan yang terlihat. Oh celaka, aku tersesat. Rasa panik mulai menyelimutiku. Tenang.. Tenang.. Bisikku dalam hati. Aku menghentikan langkah sebentar untuk mengawasi keadaan sekitar. Hening. Sepi. "Jon! Mimi!" Tak ada respons. Lalu sayup-sayup kudengar sebuah suara. Awalnya suara itu hanya terdengar tipis di telingaku. Namun lama-kelamaan suara itu jadi lebih nyaring dan jelas. Aku mendengar suara gemericik air. Suaranya seperti air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Lalu aku dengar air itu berkecipak, seperti ada seseorang yang melangkahkan kaki di atas air. Bunyinya pyuk.. Pyuk.. Pyuk..
Aku mencari sumber suara itu. Kunyalakan senter lalu berjalan ke arah air tadi. Setelah beberapa langkah, aku menemukan sebuah sungai. Kali itu tidak besar. Lebarnya hanya sekitar satu meter. Dan juga dangkal, karena aku bisa melihat daun yang tenggelam di dasar sungai Kuarahkan cahaya senterku ke seberang sungai, namun hanya bayangan pohon yang terlihat. Kuletakkan tas ranselku yang berat itu di pinggir kali, lalu aku berjalan di sekitar sana untuk mencari kedua temanku, atau siapapun yang tadi terdengar lewat kali ini. Siapa tahu dia bisa membantu, pikirku.
"Jon! Mimi!"
Tidak ada jawaban. Kupanggil kedua nama temanku lagi, tapi keadaan sama saja. Mereka tidak muncul, justru lama-lama suaraku juga ikut menghilang setelah berteriak memanggil nama mereka. Capek juga ternyata. Lalu aku duduk di dekat rasnselku. Kumatikan senterku untuk menghemat baterai, lalu kuletakkan senter itu disamping ranselku. Tak sengaja kulihat botol minumku sudah kosong. Aku pun mengambilnya lalu mencelupkannya ke dalam aliran sungai sampai terisi setengah. Hidungku membaui air dalam botol, tak berbau. Samar-samar kulihat airnya juga jernih, bahkan melebihi jernihnya air minum yang dijual di toko. Aku pun memberanikan diri menenggak air itu, tak berasa apa-apa. Hanya sensasi anyes di tenggorokan. Ah leganya.. Lalu aku minum lagi. Saat minum itulah tiba-tiba hidungku mencium bau sesuatu. Bau besi. Bukan. Ini lebih tepat bau anyir. Seperti bau darah. Tapi darimana asalnya? Aku tidak bisa melihat apapun karena di sekitar sungai itu gelap. Lalu aku minum air dari botolku lagi. Agak beda rasanya. Tadi cair tapi sekarang di lidahku rasanya agak pekat. Lalu aku cek ke dalam botol, ternyata yang kuminum tadi bukan air, tapi darah! Spontan kubuang botol itu ke sembarang arah, lalu aku berlari dengan panik menjauhi sungai itu. Ini gak beres, pikirku. Ini pasti gak beres. Aku berlari secepat yang kubisa walau di depan gelap gulita. Selama aku berlari tanpa tahu tujuannya kemana, aku merasa menabrak beberapa sesuatu, entah itu sesuatu yang nyata atau mungkin hanya perasaanku saja. Tapi aku tak peduli, yang penting aku jauh dari sungai darah itu. Di pikiranku hanya ada lari, lari dan terus lari. Sampai kakiku terantuk sesuatu, lalu aku jatuh terguling-guling ke depan. Tubuhku masih mendarat di atas tanah. Aku tidak segera bangun karena terlalu capai. Nafasku ngos-ngosan. Telinga dan hidungku dipenuhi udara. Kepalaku agak pusing. Dan otakku serasa berhenti.
Aku mencoba menghentikan hidupku sebentar agar bisa sadar lagi, sebenarnya ini ada apa? Setelah agak tenang, perlahan aku bangkit. Kutegakkan punggungku. Kugelengkan kepalaku. Kukerjapkan mataku agar bisa melihat sekitar. Tidak terlihat apa-apa. Dan kupastikan juga tidak ada suara air mengalir lagi. Segalanya tampak aman. Hanya saja hidungku masih dipenuhi udara. Hidungku mampet, saking mampetnya bau debu yang menempel di bajuku saja tidak bisa tercium. Mungkin karena habis lari tadi, batinku. Aku hirup lalu buang nafas lewat hidung. Lalu kulakukan lagi hingga beberapa kali, sampai udara di hidungku perlahan keluar sedikit demi sedikit lalu bisa normal kembali. Syukurlah. Aroma tanah mulai masuk lewat hidungku. Seperti aroma tanah yang habis kena hujan, khas sekali. Kulihat debu dan tanah banyak menempel di bajuku. Aku kebas-kebaskan bajuku agar tidak kotor lagi. Aku terbatuk kena butir pasir itu. Lalu tiba-tiba hidungku kembali mencium aroma sesuatu. Bau yang tidak asing. Wangi sekali tapi bukan parfum. Bau wangi itu hanya lewat sebentar, tapi muncul lagi dan sekarang wangi itu lebih terasa seakan-akan ada di depan hidungku. Aku tidak ingat wangi apa itu, tapi tampaknya hidungku sudah akrab dengan wangi itu. Setelah kuhirup beberapa kali, aku baru ingat kalau itu adalah wangi bunga kenanga. Bunga kenanga yang biasanya dipakai untuk memandikan mayat dan bertaburan di atas kuburan. Faktanya, setelah penglihatanku sudah mulai terbiasa melihat di tengah kegelapan, aku menemukan bahwa sekarang diriku sudah berada di tengah-tengah kuburan! Langsung saja aku berjingkat ke belakang, lalu berlari lagi ke segala penjuru yang bisa kutuju. Langkah kakiku kini terasa berat, entah karena habis berlari tadi atau karena terantuk batu nisan tadi. Yang jelas tidak hanya kaki saja, tapi punggungku juga serasa menggendong sesuatu. Setelah berlari beberapa lama, tubuhku tak sanggup lagi. Aku berhenti di bawah pohon besar, entah pohon apa namanya yang jelas daunnya lebat. Aku duduk di dekat akarnya yang besar, lalu kusandarkan punggungku di batang pohon itu. Keringat mulai mengalir kesana kemari, mulai dari dahi turun ke leher, membasahi punggung, dan area dibawahnya. Seluruh tubuhku bermandikan peluh keringat. Aku memutuskan untuk menunggu pagi disini, daripada aku berlari tanpa tujuan pasti yang ujung-ujungnya hanya membuatku capek, gerah dan kepanasan. Tapi ada yang sedikit janggal. Entah kenapa tiba-tiba tubuhku menjadi dingin seperti es. Dagingku mengeras. Rahangku kaku. Leher di bagian belakang tak bisa kugerakkan. Aku hanya bisa melirik kiri dan kanan. Segalanya gelap dan hitam. Tidak ada yang bisa kulihat. Baru saja aku mengembalikan pandanganku ke depan, tiba-tiba persis di belakangku terasa hangat, seperti ada seseorang yang mengeluarkan nafas melalui hidungnya, tepat di belakang bahuku. Begitu aku menoleh ke samping, tampaklah sepasang mata merah sedang memelototiku. Aku tidak berani menyebut makhluk itu apa tapi yang jelas kakiku sudah melangkah cepat lagi. Sampai tenagaku terkuras habis, lalu aku jatuh terjerembab di sebuah tanah kosong. Aku tak bergerak selama beberapa saat. Tubuhku terkulai lemas di atas tanah. Kali ini aku tak bisa lari lagi. Kedua kakiku sudah terlalu lelah untuk berlari bahkan berjalan. Jantungku berdegup cepat tak berirama. Degdeg.. Degdeg.. Degdeg.. Begitu keras bunyinya sampai memecah keheningan malam. Punggungku terasa agak berat, seakan aku habis menggotong sesuatu di belakangnya. Nafasku mulai ngos-ngosan lagi. Aku haus. Aku lapar. Tapi itu semua kalah dengan betapa capeknya mengalami kejadian aneh ini. Kupejamkan mataku sambil berharap ada pertolongan agar semua ini berakhir. Jon dan Mimi masih belum ketemu. Malam masih panjang. Belum ada tanda-tanda seorang petugas, warga sekitar, atau siapapun makhluk di sekitar situ yang peduli kepadaku. Anggapanku itu benar selama beberapa saat, sebelum sebuah sentuhan lembut tiba-tiba hadir dikakiku. Ada yang memegang kakiku. Setelah kulihat ternyata ada sepenggal kepala manusia tampak menyembul di bawah kakiku. Wajahnya penuh keriput. Rambutnya panjang. Matanya melotot tapi bibirnya tampak tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu aku sudah berada di pos pendakian, bersama petugas dan beberapa orang lainnya. Mereka, setelah aku tenang, menceritakan bahwa aku telah ditemukan warga sekitar pagi tadi di tengah hutan. Warga itu menemukan diriku yang terkulai tak sadarkan diri. Tidak jauh dari tempat itu, dia juga menemukan dua orang lagi dalam kondisi yang sama. Lalu dibantu warga lainnya, mereka membawa kami bertiga yang belum siuman itu turun ke pos terdekat. Lalu aku ceritakan pengalaman yang aku alami semalam, tentang sungai itu, tentang kuburan dan juga sosok wanita itu. Namun mereka meyakinkanku bahwa tidak ada sungai, kuburan dan wanita mengingat puncak itu sekarang sudah dipenuhi bangunan pabrik dan perumahan yang padat. Wajah serius mereka di satu sisi menenangkanku, tapi di sisi yang lain menjatuhkan ingatanku. Aku tidak tahu harus percaya kepada omongan mereka atau kepada pengalamanku sendiri. Karena setelah dicek memang benar di puncak itu sudah dipadati pemukiman warga, tapi aku juga tidak bisa menolak bahwa aku merasakan pengalaman itu. Hanya Jon dan Mimi, yang tidak menolak apa yang aku alami. Tentu saja mereka mendukungku karena kami bertiga habis foto bersama saat di puncak. Tatapan mereka menandakan bahwa mereka percaya omonganku, tentang sungai, kuburan dan wanita misterius itu. Anehnya, mereka berdua juga mengalami hal yang sama. Tapi lebih anehnya lagi, kalau memang sama kenapa kita tidak bertemu? Entah kenapa, malam ini aku tidak bisa tidur. Aku teringat kejadian beberapa waktu yang lalu.

CERita PENgantar Tidur: Malam ini, Aku Tidak Bisa Tidur

Sumber Gambar: WA & Kopi Susu

Diubah oleh telah.ditipu 23-09-2019 09:42
ceuhettyAvatar border
sebelahblogAvatar border
zafinsyurgaAvatar border
zafinsyurga dan 5 lainnya memberi reputasi
6
959
0
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84.3KAnggota
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.