Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ayaswordsAvatar border
TS
ayaswords
30 Days to Heal You
30 Days to Heal You
Illustration by: Zipcy


Day 1

Sembilan tahun berpacaran bukanlah waktu yang sebentar. Aku tahu benar untuk melupakan Putri, mungkin butuh waktu lebih lama dari itu. Dua kali lipatnya? Atau bahkan tiga kali lipatnya?

Aku menarik napas panjang, mengisi rongga dada dengan udara karena setiap kali mengingatnya, rasanya sesak seperti tersumbat.

Kubaringkan tubuh di atas rerumputan, lalu memejamkan mata karena langit siang ini kelewat menyilaukan.

Mencintai seseorang itu seperti menggenggam pasir, benakku tiba-tiba mengulang perkataan Putri. Kalau genggamanmu terlalu keras, bulir-bulir pasir itu akan terlepas dan akhirnya habis.

Dua bulan yang lalu, kami bertengkar hebat karena aku tidak setuju dengan keputusannya melanjutkan perkuliahan di luar kota Bandung. Alasannya tentu saja karena aku ingin dia tetap disini—berada di kota yang sama hingga aku menyusulnya lulus, mendapat pekerjaan, lalu menikah dengannya. Tapi Putri adalah perempuan yang berprinsip. Ia tetap memilih berpisah denganku dan pergi ke Jogjakarta. Sejak itu kami tidak pernah lagi bertemu, bahkan saling mengontak.

Kami berpisah karena keegoisanku. Karena itulah aku tak pernah memintanya kembali. Kalau itu terjadi, hubungan jarak jauh hanya akan menjadi beban baginya—karena ia tahu itu adalah beban bagiku.

Tiba-tiba, sebuah sentuhan di pipi membuyarkan pikiranku. Setengah kaget, tubuh ini bangkit terduduk. Di hadapanku, ada seorang gadis berambut coklat pendek yang memandangi dengan raut kasihan.

"Maaf," ujarnya pelan. "tadi, aku ... cuma mau menyeka air mata kakak."

"Hah?" Buru-buru kuraba pipiku. Ia benar, kedua permukaannya sudah basah karena air mata.

Kedua mata gadis itu memperhatikan lekat-lekat sampai aku merasa kikuk. Tepat pada saat aku hendak berdiri dan pergi, pertanyaannya yang tiba-tiba membuatku terkejut. "Kakak sedang terluka, ya?"

Aku tidak menjawab.

"Aku hanya menebak, habis kakak menangis tadi ...." tambahnya ragu-ragu.

Kenapa gadis ini berani sekali mencampuri urusan orang?Batinku gusar. Tapi bibir ini tetap tersenyum sopan padanya sebelum berlalu.

"Aku akan sembuhkan kakak!" Ia setengah berteriak saat langkahku sudah semakin jauh, membuatku terkesiap. Namun, aku sama sekali tidak menoleh dan berniat mengabaikannya sampai berteriak lagi, kali ini lebih keras. "Tiga puluh hari!" serunya. "Beri aku kesempatan untuk menyembuhkan kakak dalam waktu tiga puluh hari!"

***

Day 2

"Pagi," sapa gadis itu seraya menyunggingkan senyum lebar. Aku masih terkejut karena ia tiba-tiba saja muncul di pintu asrama putera pagi ini. Sebelah tangannya terangkat, menyerahkan sebuah tas kain berisi kotak makanan padaku. "Kakak belum sarapan, kan? Ini, aku yang buat sendiri."

Sebagai respon, aku langsung melihat ke sekeliling. Untunglah, belum ada siapapun yang keluar asrama selain aku yang memang berniat jogging. "Kenapa lo bisa tahu gue tinggal disini?"

"Tahu, dong." Ia tersenyum simpul, mencoba melepaskan tanganku yang tanpa sadar mencengkeramnya keras.

Belum sempat aku menanggapi, ia keburu meletakkan tas kain itu ke tanganku, tersenyum, lalu membalikkan tubuh pergi.

***

Gadis itu muncul lagi sore ini, tepat di depan kelas terakhirku. Aku langsung menariknya menjauh dari sana dan membawanya tempat yang sedikit sepi.

Aku mengeluarkan tas berisi kotak makanan pemberiannya dari dalam ransel.

"Gue nggak ngerti apa maksud lo. Tapi, kalau lo melakukan ini karena tertarik sama gue, sorry, gue sedikit pun nggak tertarik sama lo. Jadi tolong, mulai sekarang nggak usah ganggu gue lagi. Bisa?"

Nada bicaraku tinggi, aku sadar itu. Terlebih karena sekarang ia hanya memandangku dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.Tapi aku tidak peduli. Jujur saja, aku merasa sangat tidak nyaman dengan kehadirannya.

"Kakak nggak suka makanannya, ya?" tanggapnya, tidak memedulikan perkataanku barusan. "Besok pagi kubawakan yang lain, ya!"

Sebelum berbalik, aku melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Rupanya benar, aku terlalu keras padanya. Tapi apa boleh buat, aku harus membuatnya menyerah.

***

Day 8

"Cewek stalker?" Fandi terkekeh mendengar ceritaku. "Dion, Dion ... lebay banget sih lo. Dia kan cuma bikinin lo makanan."

"Ini udah satu minggu, Fan. Gue selalu nolak pemberiannya, tapi dia terus-terusan dateng. Kalau gue nggak muncul di waktu jogging pagi, dia bakal ngasih makan siang di saat gue ngerjain skripsi di perpus, atau ke depan kelas," jelasku panjang lebar. "atau nyamperin gue di padang rumput deket Fakultas Peternakan. Pokoknya dia selalu berhasil nemuin gue."

"Ya dia emang nyariin lo kali, makanya selalu nemu."

"Tapi, dia ini aneh Fan," sanggahku sambil mengikat tali sepatu olahraga. "Dari awal kenal, dia langsung tahu semua tentang gue.”

"Hmmm,” tanggap Fandi. "Mungkin semuanya cuma kebetulan?"

"Kebetulan?"

Fandi mengangguk. "Dia ini pasti junior kita, kan? Lo kan cukup terkenal di kalangan junior. Nggak susah buat tahu kalau lo tinggal di asrama, juga kebiasaan lo di sekitar kampus. Apalagi soal jadwal kelas. Ada berapa sih, mahasiswa tingkat akhir yang masih ngulang satu-dua kelas cuma supaya dapet nilai A kayak lo?"

Aku terdiam. Perkataan Fandi ada benarnya juga. Mungkin terlalu berlebihan kalau menganggap gadis itu stalker hanya karena ia seolah mengetahui segalanya tentangku. Bisa saja semuanya hanya kebetulan.

"Aaaah, hujan!" teriak Fandi tiba-tiba, melompat dari kasurnya. Pasti ada pakaiannya yang masih dijemur di balkon dan belum diangkat sejak kemarin sore. Aku sendiri pun kecewa karena turunnya hujan berarti rencana jogging pagi ini batal. Baru saja aku hendak melepas kembali tali sepatuku, ketika aku ingat sesuatu.

"Mau kemana, yon? Jadi jogging lo ujan-ujan gini?"

"Nggak, gue mau ke depan asrama sebentar!" jawabku sebelum menutup pintu.

***

Benar saja. Gadis keras kepala itu ada disana, berjongkok di bawah kanopi yang tidak menutupi seluruh bagian tubuhnya dari hujan, sehingga ia setengah basah kuyup. Sebelah tangan memeluk tas kain yang kemarin dibawanya, sebelahnya lagi memeluk dirinya sendiri. Ia tampak kedinginan.

"Hei!" panggilku keras. Gadis itu menoleh dan langsung berdiri. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum lebar menyambutku. "Ngapain disini?"

"Ini, sarapan buat kakak."

"Kan dari dulu udah gue bilang nggak usah! Lo ini maksa banget, sih?" hardikku marah. Ia mundur selangkah karena terkejut dengan nada suaraku. Sedetik kemudian serangan rasa bersalah tiba-tiba muncul di hatiku. "Lo kebasahan, ayo, masuk dulu."

Ia mengangguk, menangkap isyarat yang kuberikan untuk mengikuti ke dalam. Aku menyuruhnya duduk di sofa lobby dan menunggu—sementara aku berjalan ke kamar di lantai atas untuk mengambilkan jaket dan payung agar ia bisa segera pulang. Namun sekembalinya dari sana, betapa terkejutnya aku mendapatinya yang sudah terbaring lemas di atas sofa.

"Lo kenapa? Hei!" Aku mengguncang bahunya, berusaha membangunkan. Wajah dan bibirnya pucat pasi—aku baru menyadarinya.

Ia membuka matanya pelan. Aku menghembuskan nafas lega. Tanganku yang menempel di bahunya merasakan hawa panas yang menguar dari tubuh mungil itu.

"Lo baik-baik aja? Badan lo panas tinggi, mau gue antar ke klinik?" tawarku cepat-cepat.

“Nggak usah, kak,” ia menolak. "Tapi kalau kakak nggak keberatan, boleh aku tiduran disini sebentar?"

"Tempat tinggal lo dimana? Gue antar aja kesana pake mobil."

"Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri," katanya. "Kakak kembali ke kamar saja. Aku juga sudah minta ijin sama bapak satpam itu."

Aku mengikuti arah telunjuknya, mendapati satpam asrama yang rupanya sejak tadi sedang memandangi kami.

"Aku bilang kalau aku ini adik sepupu kakak, mau mengantar makanan dan numpang neduh sebentar," bisiknya seraya tersenyum lemah. Ia pun meletakkan tas kain berisi itu ke tanganku. "Ini ... kalau kakak nggak mau terima, nanti dia curiga."

"Tapi ...."

"Terima saja," potongnya sambil tersenyum.

Akhirnya aku menyerah. Setelah menyerahkan jaket dan payung, aku pun pergi. Ketika sampai di kamar dan menaruh makanan pemberian gadis itu di meja, Fandi menghampiriku dengan wajah penasaran.

"Si stalker itu lagi?"

Aku mengangguk. "Gue bener-bener nggak ngerti maunya tuh cewek."

Fandi merogoh isi tas itu dan menarik keluar secarik kertas bertulisan yang tintanya sudah luntur karena tetesan air hujan. "'Semoga kakak mau makan ini. Semoga kakak bisa tersenyum hari ini. Dari P'."

"Apaan, sih!" Aku merebut kertas itu dan menggenggamnya dalam kepalan tanganku.

"Lo nggak mau? Kalau nggak biar gue, nih, yang makan."

"Makan aja." Saat bicara begitu, Fandi sudah menyuapkan kentang dan sosis ke dalam mulutnya.

"Dimana dia sekarang? Pulang? Ujan-ujan begini?" tanya Fandi dengan mulut penuh.

"Nggak tahu deh. Gue udah ngasih dia jaket dan payung, sih."

Tepat pada saat itu, bunyi chat masuk terdengar dari ponselku.

[Hai kak! Ini aku.]

Aku mendengus kesal. Dari mana lagi gadis itu bisa dapat kontakku? Tapi kuputuskan untuk membiarkannya. Kalau dibalas, bisa-bisa malah berkepanjangan. Namun, belum sempat aku menekan tombol kembali, chat darinya masuk lagi.

[Makasih banyak ya jaket dan payungnya, nanti kukembalikan. Makanannya dimakan, ya!]

"Ngomong-ngomong, P ini siapa? Lo nanya namanya nggak?" tanya Fandi.

“Nggak.” jawabku, sambil merebahkan diri di kasur dan berusaha kembali tidur.

***

Day 12

Selama empat hari berturut-turut gadis itu menghilang. Ia tak muncul dimana pun. Chat terakhirnya adalah yang ia kirim di hari itu, hari dimana ia jatuh sakit dan aku meninggalkannya begitu saja di lobby.

Rasa penasaran bergumul di hatiku. Tanpa sadar aku mulai bertanya-tanya kemana perginya gadis itu. Apa sakitnya berkelanjutan? Apa ia marah karena aku tidak membalas chat-nya? Apa ... ia memutuskan untuk berhenti menggangguku?

Perasaan ini begitu membingungkan. Di satu sisi, aku senang karena tak ada yang mengikutiku lagi. Namun di sisi lain, aku juga tak bisa berhenti memikirkannya. Maksudku, selama seminggu kemarin aku kelewat terbiasa melihatnya setiap hari. Jadi, saat ia tidak ada, rasanya jadi aneh.

Rasanya ... seolah aku kembali sendirian.

"Peduli amat!" teriakku pada udara. Aku kembali menghempaskan tubuh ke rerumputan dan memejamkan mata.

Belum satu menit aku berbaring, tiba-tiba sesuatu jatuh menutupi wajahku. Aku menarik benda yang rupanya jaketku sendiri itu, lalu sosok yang selama ini kucari muncul di hadapanku.

"Maaf baru sempat kukembalikan," kata gadis itu sambil menampakkan deretan giginya. Ia juga meletakkan payung yang dipinjamnya di sebelah tempatku berbaring. "Makasih ya, kak."

Ia kemudian berbalik, hendak pergi. Namun aku masih sempat bangkit duduk dan meraih tangannya. Badannya sudah tidak panas lagi, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit pucat. "Udah sembuh?"

Ia tersenyum. "Lumayan."

"Kemana aja kamu beberapa hari ini?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku tanpa bisa dikontrol. Setengah malu, aku pun cepat-cepat menambahkan, "Bukannya aku peduli, aku cuma—"

Perkataanku terhenti karena gadis ini tiba-tiba berlutut dan memelukku. Wajahnya bersembunyi di dadaku sehingga aku tak bisa melihat ekspresinya—membuatku bingung dan menebak-nebak apa maksudnya melakukan ini. Namun, ketika aku hendak melepaskan diriku darinya, aku menyadari tubuhnya gemetaran dan ia terisak.

Entah bagaimana, rasa sedih tiba-tiba menjalariku. Tangisan gadis ini menular begitu cepat. Aku sendiri tak mengerti apa yang kami ratapi—mungkin aku dengan kesedihanku yang selama ini terkubur dalam-dalam, dan dia dengan kesedihannya yang tak pernah ku tahu. Kami saling memeluk. Saling menghibur dalam diam dan isakan.

"'Aku', ya? Bukan 'gue' lagi?" tanyanya tiba-tiba, saat suasana akhirnya hening dan kami sudah saling melepaskan diri.

Wajahku memerah sampai ke telinga.

"'Putri' ….”

"Hah?" Aku tidak bisa menyembunyikan wajah terkejut mendengarnya tiba-tiba menyebutkan nama itu.

"Tempo hari aku mendengar kakak meneriakkan nama itu di sini. Waktu kita belum saling kenal. Pasti orang spesial, ya?"

Aku terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan.

"Besok akan kubuatkan makanan lagi," katanya tiba-tiba. "Dimakan, ya, kak!"

***

Day 20

Sejak hari itu, hubungan kami semakin dekat. Setiap hari aku selalu memakan masakannya, sampai lama-lama lidah ini terbiasa. Kami juga saling kirim chat dan kadang-kadang pergi bersama, seperti hari ini. Sedikit demi sedikit, aku mulai menerima kehadiran gadis ini di dalam hidupku. Kami jadi teman baik.

Ia merencanakan hari ini begitu matang—kami olahraga pagi bersama, menonton film di bioskop, makan siang bersama, dan saat ini kami sedang menghabiskan sore berjalan-jalan di taman binatang peliharaan. Dulu, aku senang sekali menghabiskan waktu disini, untuk sekedar menghirup udara segar sambil menyapa binatang-binatang peliharaan yang sedang diajak jalan-jalan tuannya.

“Kakak suka banget binatang, ya?” tanyanya sambil menemaniku yang sedang mengelus-elus seekor anjing husky. Anjing itu menggonggong girang padaku sebelum dibawa pergi lagi oleh tuannya. “Kenapa nggak pelihara satu?”

“Di asrama nggak boleh pelihara anjing.”

“Kalau kucing?”

Aku berpikir sebentar. “Kucing boleh, sih.”

“Tunggu disini, ya!” Gadis itu tiba-tiba berdiri dan berlari pergi, mengabaikanku yang berteriak memanggil namanya dengan kebingungan. Setelah menunggu selama kurang lebih satu jam, ia akhirnya kembali dengan pet cargo berwarna hijau terang di tangannya.

Aku membelalakkan mata kaget ketika ia mengeluarkan seekor kucing persia berwarna hitam dan mendekatkannya padaku.

“Ini betina, namanya Princess!” ujarnya dengan nada riang.

Dengan kikuk aku meraih binatang berbulu itu ke pangkuanku. Hati ini tiba-tiba dipenuhi rasa senang saat melihatnya. Kami bermain bersama sampai lupa kalau hari sudah semakin gelap. Kucing betina itu kelelahan dan tiba-tiba terlelap di pangkuanku, wajahnya benar-benar menggemaskan.

“Hei, lihat ini! Lihat gaya tidurnya!” Aku tertawa. “Lihat ini, Yang!”

Aku terkejut dengan apa yang baru saja kuucapkan. Ketika menengok, ia sedang memandangku dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Maaf, aku—”

“Nggak apa-apa, Kak. Wajar, kok. Kalau sedang bahagia, kita pasti ingat orang yang kita sayangi.” Ia mengalihkan pandangannya ke langit sebentar, lalu kembali padaku. Senyum hangatnya tersungging lagi. “Jaga Princess baik-baik, ya!”

***

Day 30

Sepuluh hari sudah gadis menghilang, namun, aku sama sekali tak menyangka aku akan menemukannya di tempat ini.

Tubuhku seakan kaku melihat pemandangan di hadapanku. Gadis itu, gadis keras kepala yang kukenal sebulan yang lalu, sekarang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak selang di sekujur tubuhnya.

[Hello, Dion. Kamu bisa datang kesini?]

Itu adalah pesan terakhir dari ‘P’, nama gadis itu di ponselku, di bawah link google map yang menunjukkan arah menuju rumah sakit ini.

Di sebelahku, memakai baju pembesuk yang sama dengan yang kupakai, berdiri Reina, kakak perempuannya. Rupanya ia lah yang mengirim pesan itu padaku.

“Dia sering cerita tentang kamu.” Meski matanya menatap ramah dibalik masker penutup, namun aku bisa melihat kesedihan mendalam disana. “Kanker otaknya sudah di stadium akhir. Dokter juga sudah menjatuhkan vonis dan rumah sakit sejujurnya sudah angkat tangan. Sebulan terakhir kemarin dokter sudah melarangnya melakukan kegiatan apapun karena kondisinya bisa kembali memburuk. Tapi dia bersikukuh untuk tetap pergi ke kampus. Saya yang mengantar dan menungguinya setiap hari saat dia pergi menemui kamu.”

Aku tak sanggup berkata-kata. Mulutku terkunci dan mataku terpaku pada gadis malang itu.

“Sepuluh hari yang lalu sebelum jatuh pingsan dan koma, dia menulis sesuatu di buku catatan ini,” ujar Reina, menyerahkan buku catatan adiknya yang terbuka di salah satu bagian. “Ada tulisan untuk keluarga, teman, dan bagian paling bawah itu untuk kamu.”

Tanpa menunggu aku membacanya, dan air mataku jatuh seketika.


Untuk kak Dion,

Kakak tidak pernah benar-benar tahu siapa aku. Makanya, ijinkan aku bercerita sedikit.

Apa kakak tahu? Sebelum bertemu dengan kakak, penyakit ini membuatku begitu sedih sampai aku hampir saja kehilangan harapan.

Aku sudah siap kapanpun Tuhan memanggilku. Aku bahkan ingin itu terjadi dengan cepat.

Tapi hari itu, aku mendengar kakak meneriakkan namaku.

Apakah itu tanda dari Tuhan? Aku tidak tahu. Tapi saat itu, melihat kakak begitu terluka, aku jadi sadar kalau aku tidak sendirian. Aku bukan satu-satunya yang terluka. Aku bukan satu-satunya yang sakit.

Dan sejak saat itu, menyembuhkan kakak menjadi harapan baru bagiku. Aku mencari tahu semua tentang kakak, apa yang kakak suka dan apa yang kakak tidak suka. Kehadiran kakak membuatku lupa akan masalahku sendiri. Semakin lama, harapan itu semakin tumbuh. Aku jadi ingin hidup lebih lama lagi. Setiap hari aku berdoa kepada Tuhan semoga aku bisa hidup satu hari lagi.

Setelah hari ini, tinggal 10 hari lagi. Hari ini, aku pikir aku sudah berhasil menyembuhkan kakak. Mungkin aku benar. Karena kali ini, bahkan saat mengingat perempuan itu lagi, kakak tidak menangis. Kakak justru tersenyum bahagia.

Haaah... berarti tugasku sudah selesai, ya?

Bagaimana ini ... Aku ingin bersama kakak jauh lebih lama ...

Tapi tidak apa-apa, aku yakin setelah ini, kakak akan bisa hidup lebih baik. Aku juga meninggalkan teman baru untuk kakak. ‘Princess’, kuambil namanya dari namaku. Hahaha, kekanak-kanakan sekali, ya?

Jaga diri baik-baik, ya, Kak.

Aku sayang kakak.

Putri




- The End -
Diubah oleh ayaswords 24-09-2019 11:54
Mutimumut11Avatar border
jiyanqAvatar border
jiyanq dan Mutimumut11 memberi reputasi
2
745
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
KASKUS Kreator Lounge
KASKUS Kreator LoungeKASKUS Official
1.2KThread998Anggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.