lapautekchy01Avatar border
TS
lapautekchy01
True Story
#Rintihan_Wafa

“Tolong ambil nyawaku Tuhan, aku sudah tidak sanggup lagi. Jika kematian memberi kebahagiaan, jadikan itu penebus dosa-dosaku,” lirihnya dalam tangis yang terisak.

Tubuhnya bergetar, ketika kepiluan mengalahkan lebam dan goresan luka di wajah dan lengannya. Gadis itu mengusap hidung, namun membiarkan air mata luruh ke pipi. Dia memasukkan berapa potong pakaian ke dalam tas sekolahnya.

Sakit akibat tendangan, lecutan hanger, bahkan pukulan balok kayu sudah tidak mampu membuat dia meringis, tetapi hardikan dan kalimat yang keluar dari mulut lelaki yang dia panggil Ayah, kali ini sangat melukai batin gadis tersebut. Itu yang membuat dia ingin pergi sejauh mungkin dari keluarga yang tidak pernah mengharapkannya.

Wafa. Gadis berbaju putih abu-abu itu memilih pergi, dari pada mendengarkan caci maki orang yang seharusnya memberi kasih sayang dan perhatian terhadapnya.


Kemarahan lelaki itu bukan tidak beralasan, melainkan akibat perbuatan Wafa sendiri. Dia baru saja mencuri kalung sang Adik, namun, diketahui Ibunya.

Kelakuan buruk Wafa bukan hanya sekali ini, sering dia melakukan kesalahan yang sama. Mencuri uang yang akan digunakan Ibunya untuk bayar kontrakan, untuk beli pengantar nikahan Bibinya juga pernah diembat. Semua itu dilakukan demi sedikit perhatian, seulas senyum dan sejenak pelukan.

Sayangnya, semua perbuatan yang dilakukan Wafa pasti diimbali dengan pukulan dan tendangan, bahkan tidak segan-segan Ayahnya menginjak tubuh pendek, kurus dan hitam tersebut, rasa sakit itu sudah menjadi makanannya sedari usia tiga tahun, bukan nasehat yang bisa membuat dia berpaling dari kesalahan yang sudah menjadi penyakit di jiwanya, Kleptomania itu sudah mengakar semenjak Sekolah Dasar dan sampai hari ini.

Mungkin karena jarak usia antara Wafa dan Adiknya Aldi, membuat ibunya berat mengurus mereka. Apalagi ibunya bekerja sebagai buruh cuci, sementara sang Ayah yang bekerja sebagai kuli bangunan tidak pernah bersikap lembut, sangat temperamental. Mungkin keterbatasan ekonomi, lelah dalam bekerja membuat kedua pasutri itu tidak bisa menjaga emosi melihat tingkah laku anak-anak mereka.

Wafa menggigit bibir, beberapa potong pakaian telah masuk ke dalam tas. Gadis pendek itu menyeret langkah ke luar kamar, meninggalkan luka di tempat tidur yang baru berapa bulan ini dia tempati.

Di ruang tamu berukuran sempit rumah kontrakan itu, sang ayah menatapnya bengis. Tidak adakah sedikit rasa untuk menyayangiku, Ayah? Batinnya merintih.

Selama ini Wafa tinggal dengan neneknya, karena memang Ayah dan ibunya tidak mau mengurus anak tersebut. Tetapi bagi Wafa itu lebih baik, semua kebutuhan sekolah, uang jajan ditanggung sang Nenek, hanya saja Wafa kurang dikontrol. Di Usia kelas dua SMA keperawanannya telah hilang diambil paksa, namun, dia nikmati bersama anak kost yang tinggal di rumah mereka dan itu terus berlangsung sampai neneknya meninggal tiga bulan yang lalu, itu sebabnya Wafa pindah ke rumah orang tuanya.

Ah, jika ini hukuman atas kesalahannya itu, Wafa siap dibunuh, tapi jangan cerca dirinya, dia sebenarnya butuh perhatian dan kasih sayang orang tua, tidak yang lain.

Gadis itu menyeret langkah, perih di ujung bibir masih terasa. Jemarinya meraba bagian yang terluka, cukup lebar, seperti apakah mukaku sekarang?

“Biarkan saja dia pergi, dasar anak An ... ing!” Ibu yang sedang memandikan adiknya ikut bersuara, parah sekali umpatannya.

Belum lagi kakinya sampai ke pintu, sebuah tendangan mendarat di tungkai. Wafa menggigit bibir melawan perih, belum lagi tubuhnya terhuyung ketika tangan sang Ayah mendorong punggungnya keluar.

Tidak air yang luruh ke pipi, tidak ada kesedihan, semuanya berganti kebencian kepada dua orang manusia yang telah membuatnya hadir ke fananya dunia.

Menyusuri jalan berdebu dari batas pagar rumahnya, mengumpulkan tekad akan ke mana dirinya melangkah, Wafa menarik napas panjang. Menghapus jejak air yang ada di pipi, dengan telapak tangan.

Kakinya terasa berat melangkah akibat pukulan dan tendangan si Ayah yang membuat pergelangan kaki dan pahanya bengkak.

Hanya harapan yang membuat gadis itu bertahan, semoga di tempat sahabatnya dia bisa lepas dari kekejaman ayahnya.

Panas mentari membakar puncak kepala gadis itu, keringatnya membasahi seragam yang belum diganti semenjak pagi. Dia melenguh, dahaga semakin membuat tenggorokannya terasa pahit. Hampir sampai di perempatan untuk menunggu angkot, teriakan bernada keras menghentikan langkah.

“Pulang! Dasar anak tidak set*n!”
Gadis itu menoleh, sekarang keputusan ada di tangannya, pulang atau pergi.


Pudarnya Senyum Wafa

Air mata Wafa luruh ke pipi, jatuh ke tanah berdebu, hilang. Jerit beserta tangisnya tidak dipedulikan Hamdan, dia menyeret Wafa pulang.

“Dasar anak keras kepala, kau pikir bisa hidup di luar sana tanpa kami?” cerocosnya, sembari mengela paksa tangan sang anak.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut kering Wafa, kecuali isak tertahan menahan sakit.

Sakit yang dia rasa bukan hanya sekarang, tapi semenjak usianya empat tahun atau mungkin lebih kecil dari itu. Karena Wafa baru mengerti rasa sakit setelah amukan Ayahnya membuat tubuh kecilnya meringkuk dalam tangis sampai pagi di lantai tanpa alas.

Kenangan berapa tahun silam itu, kembali bersama debu dan angin jalanan yang menerpa wajahnya.

“Bu, aku lapar,” ucapnya ketika sang Ibu Hamidah baru pulang dari rumah majikannya.

Mata Hamidah melebar, lalu berjalan ke meja makan. Kebetulan tadi pagi dia memang tidak masak apa-apa kecuali nasi.
“Ini kan, ada nasi. Kau bisa makan pakai garam,” bentaknya.
“Tapi aku mau telur dadar, Bu,” rengeknya dengan menekan perut.

Sejak pagi Wafa belum menyentuh nasi, karena tidak ada lauk atau pun sedikit sambal.

“Banyak betul cerita, kau! Tidak tahu orang capek, kalau tidak mau makan, ya, sudah.” Wanita itu berlalu dari hadapan Wafa, bergegas ke kamar mandi untuk memandikan Aldi yang masih di gendongan.

Wafa kecil diam, namun, air mata mulai berjatuhan. Sampai akhirnya Hamdan pulang.

Wafa kecil berlari menyambut kepulangan sang Ayah.
“Ayaaah ...,” pekiknya ketika Hamdan tersembul di pintu.

Lelaki dengan baju berkubang tanah dan semen itu tidak menjawab, berlalu tanpa memedulikan sang anak yang menatap sendu kepadanya.

Napas Wafa tertahan, kepalanya menunduk. Mungkin Ayah capek pikirnya. Melihat sang ayah masuk ke kamar, lalu menuju kamar mandi, Wafa terus bungkam dan duduk di lantai dekat pintu. Perutnya yang keroncongan membuat anak itu menggigit bibir.

Wafa terlonjak, ketika perdebatan antara ayah dan ibunya terdengar nyaring.
“Kenapa kau tidak masak?”
“Saya juga harus berangkat pagi, Bang. Saya juga bawa Aldi, seharusnya Abang mengerti!”
“Alah, itu alasan kau saja, sekarang buatkan saya telur dadar atau apa saja yang bisa untuk teman makan nasi!” perintah Hamdan.

Tidak lama, Hamidah tergopoh keluar kamar dengan menggerutu, langkahnya tergesa. Tidak berapa lama suara minyak panas menggoreng sesuatu terdengar oleh Wafa.

Anak kecil itu bergegas ke dapur, kepulan asap dari telur dadar membuat air ludahnya encer.
“Aku boleh makan, Bu?” tanyanya penuh harap.

“Ambil seperempat, tinggalkan ayahmu.” Kemudian Hamidah berlalu.

Rasa lapar membuat Wafa lupa kalau dia hanya boleh makan telur seperempat bagian, namun, ketika Hamdan datang, telurnya tinggal separuh.

Laki-laki itu menatap garang kepada sang anak, Wafa menunduk dengan tubuh bergetar.
“Dasar Anak kucing, bagaimana saya mau makan, sementara telurnya tinggal sedikit. Kau tidak tau kalau tenaga saya sudah habis untuk bekerja?” hardiknya sembari memukul meja.

Tubuh Wafa mendesak ke sandaran kursi, matanya mengabur, bening yang tadinya bergelayut di pelupuk mata akhirnya jatuh jua.

“Dibilangin malah nangis,” bentaknya kasar.

Maka keluarlah kalimat cacian dan makian dari mulut lelaki kurus dan hitam itu, Wafa menahan isak.

Melihat Wafa menangis, laki-laki itu bukannya iba, malah menyeret anaknya ke kamar. Banget yang bergantung di pintu lemari dia ambil, sebuah lecutan mendarat di pantat Wafa.
“Ampun, Yah,” suara kecilnya terdengar pilu.
“Diam! Hentikan tangismu!” Cubitan mendarat di lengan kecilnya. Semakin Wafa menangis, semakin banyak pukulan mendarat di tubuh kecil anak itu.

Setelah puas, Hamdan meninggalkan anak itu sendiri di kamar tanpa menyalakan lampu. Wafa merintih, tangis tanpa suara membuat tubuhnya lemah. Anak itu tertidur dengan selimut air mata, sampai pagi menjelang.
0
244
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
KASKUS Peduli
KASKUS PeduliKASKUS Official
2.8KThread178Anggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.