MataPolitikAvatar border
TS
MataPolitik
Dikenang dengan Manis: Warisan Habibie bagi Reformasi Indonesia


Presiden ketiga Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia pekan lalu pada usia 83 tahun. Habibie adalah presiden yang tidak terduga, yang dengan ragu-ragu mengambil alih tampuk pemerintahan dari Presiden kedua Indonesia Suharto, dalam sebuah prosesi yang disiarkan televisi di seluruh dunia tanggal 21 Mei 1998 silam.

Tidak seperti pendahulunya yang berkuasa selama 32 tahun, Habibie tidak bertahan lama sebagai presiden. Masa kepresidenannya yang hanya berlangsung 17 bulan kurang satu hari adalah yang terpendek dalam sejarah Indonesia.

Meski demikian, Habibie adalah seorang presiden yang dengan segera memicu periode perubahan Reformasi di Indonesia. Dia memperkenalkan serangkaian reformasi besar-besaran dalam periode singkatnya di pemerintahan, termasuk Timor Timur yang pada saat itu diduduki. Habibie di awal era Reformasi bergerak begitu cepat di banyak bidang sehingga lawan-lawannya hampir tidak bisa mengimbangi laju perubahan yang membingungkan.

Beragam cerita penuh warna tentang Habibie beredar di Indonesia. Sejumlah anekdot menunjukkan ketertarikannya dengan teknologi, refleksi dari studi tekniknya di Jerman dan kemudian kariernya dengan perusahaan Messerschmitt. Habibie kembali di Indonesia pada pertengahan 1970-an, masih berusia tiga puluhan, dengan visi yang antusias tentang bagaimana teknologi modern dapat meningkatkan pembangunan di negara ini.

Dilansir Lowy Institute, Selasa (17/9), Habibie telah menginspirasi ribuan orang sarjana muda, pengusaha, hingga politisi untuk percaya bahwa pengeluaran yang lebih besar untuk teknologi modern akan membawa perubahan. Ketika mendengar bahwa Habibie telah berpulang, Profesor Budy Resosudarmo, mantan Kepala Proyek Indonesia di Universitas Nasional Australia, berbagi ingatannya tentang dua pertemuan dengan Habibie yang akan “selamanya mengubah arah karier saya.”

Tetapi pandangan Habibie sangatlah kontroversial. Para penasihat ekonomi untuk Presiden Suharto tidak begitu terkesan dengan rencana Habibie untuk menggunakan dana publik demi mendukung proyek-proyek ambisius.

Salah satu posisi mencolok Habibie dalam sejarah politik Indonesia adalah hubungan dekatnya dengan Suharto, meskipun Habibie tidak terjerat oleh dugaan korupsi atau hak asasi manusia yang sama besar. Suharto memanggil Habibie kembali ke Indonesia tahun 1974 untuk bergabung dengan jajaran pemerintahan Orde Baru.

Faktanya, ikatan antara Suharto dan Habibie telah terjalin bertahun-tahun sebelumnya.

Suharto, ketika masih menjadi seorang perwira militer muda, terlibat dalam operasi di Makassar, Sulawesi Selatan pada awal 1950. Selama operasi itu, Suharto mengenal keluarga Habibie dengan baik karena ibu Habibie berasal dari Yogyakarta di Jawa, dekat dengan tempat Suharto tumbuh besar.

Ikatan khusus terbentuk antara Suharto dan Habibie di Makassar. Dalam otobiografinya, Suharto mengenang bahwa pada suatu malam, Habibie yang kesusahan mengetuk pintu barak untuk mencari bantuan. Ayahnya menderita serangan jantung dan meninggal pada malam itu juga. Suharto bersama Habibie muda ketika ayahnya sekarat, mengingat bahwa, “Dia menghembuskan napas terakhir ketika saya bersamanya. Saya menutup matanya dan berdoa memohon ampun dari Allah SWT.”

Dua orang tersebut, Suharto, yang berusia 29 tahun pada saat itu, dan Habibie, yang baru berusia 13 tahun, akan menjadi presiden kedua dan ketiga Indonesia.

Mereka adalah pasangan yang sekilas tidak terlihat serasi. Suharto tumbuh sebagai anak desa yang miskin dengan pendidikan sederhana di Jawa tahun 1920-an dan 1930-an. Dia kemudian naik pangkat di militer Indonesia hingga menjadi presiden Indonesia tahun 1967.

Latar belakang Habibie sangat berbeda dari Suharto. Habibie adalah keturunan non-Jawa, seorang warga sipil dengan lingkungan keluarga kelas menengah yang beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan ke luar negeri tahun 1950-an ke Jerman dan lulus sebagai insinyur.

Terlepas dari perbedaan mereka, Suharto dan Habibie mampu bekerja sama dengan baik. Tahun 1978, Suharto mengangkat Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Suharto jelas merasa senang dengan kinerja Habibie, karena dia menunjuknya sebagai menteri kabinet selama tiga periode hingga tahun 1998. Habibie dengan demikian terus melayani kabinet Orde Baru Suharto sebagai Menristek selama 20 tahun. Itu adalah kinerja yang luar biasa.

Suharto memiliki satu jabatan terakhir untuk Habibie. Pada awal 1998, dalam persiapan untuk pemilihan ulang yang telah ditentukan sebagai presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat bulan Maret 1998, Suharto memberi tahu bahwa dia telah memilih Habibie untuk menjadi wakil presidennya.

Bahkan pada tahap itu, banyak orang di Indonesia tidak menganggap Habibie secara serius sebagai tokoh politik utama. Beberapa orang bahkan cukup sinis untuk menyatakan, alasan utama Suharto memilih Habibie sebagai wakil presiden adalah karena jelas bahwa Habibie tidak pernah bercita-cita menjadi presiden.

Tapi pandangan ini, yang dengan cepat menjadi jelas pada tahap akhir hubungan antara kedua pria tersebut, ternyata salah. Di bawah tekanan ekstrem gelombang demonstrasi massa bulan Mei 1998, Suharto tunduk secara tak terhindarkan dan mundur dari jabatannya. Alih-alih mengundurkan diri untuk mendukung Suharto, seperti yang diharapkan beberapa orang darinya, Habibie berdiri teguh dan ditunjuk MPR sebagai presiden berikutnya.



Spoiler for Sumber:



Mudah-mudahan punya presiden yang kayak Habibie lagi. Amin.
Diubah oleh MataPolitik 17-09-2019 15:19
0
436
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.7KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.