Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

adie.scottlangAvatar border
TS
adie.scottlang
3
|BAB 2 - FLASHBACK (MABUK)|


Aku merenung di depan perpustakan yang kebetulan ada di lantai dua, yang menghadap ke perkotaan langsung. Jadi, dari sini, biasanya para murid menghabiskan waktu untuk menyendiri, menenangkan pikiran, ada juga yang sedang membaca. Angin sepoi-sepoi yang menyejukan, membuat suasana menjadi damai, sedikit demi sedikit dapat menghilangkan stres.

Bel berbunyi kencang, menggema ke seluruh penjuru sekolah. Aku bergegas lari menuju ke kelas, tiba-tiba dari lorong lain, muncul seseorang, aku menabraknya hingga terjatuh. Aku langsung menghentikan langkah, menarik tangannya, membantunya bangkit. (Mirip adegan lazim di FTV gitu) "Eh, lo gak papa? Maaf ya.."

"Lo punya mata gak sih, kalau jalan lihat-lihat dong." Gadis itu menangkis tanganku, berusaha bangun sendiri, merapikan rambut yang mulai acak-acakan.

"Hey, gue kan dah minta maaf, lo kok malah marah." Aku melotot. Ini cewek, belum tahu siapa gue.

"Makanya, kalau jalan tengok kanan, tengok kiri dulu." Gadis itu masih sibuk membersihkan debu di seragamnya.

"Eh, gue dah berkali-kali bilang minta maaf, tapi kok lo malah nyolot ya."

Gadis itu mulai menatapku, aku tercengang, bukan main, cantik sekali dia, bukankah ini murid baru—satu kelas denganku. Aku berusaha mengkerdipkan mata, sadar dan kembali melanjutkan permasalahan yang belum kelar tadi.

"Eh, bukannya lo murid baru ya? Belum genap satu hari, udah bikin masalah aja."

"Kalau iya, emang kenapa? Masalah buat lo? Lagipula, siapa yang salah." Gadis itu mulai berjalan, meninggalkanku. Aku berusaha meneriakinya.

Saat kami berdua tiba di dalam kelas, semua murid bersorak ria, meledekku dengan gaya khas mereka. Ternyata di dalam kelas, sudah ada Pak Muhid. "Hey, kalian berdua. Macam magnet saja, berdua terus. Kenapa kalian baru masuk?"

"Tadi, dari perpus, Pak," jawabku mantap.

"Dari toilet, Pak." Gadis itu menunduk.

"Oke, kali ini aku maafkan. Lain kali, kalau diulangi lagi, Bapak tidak segan-segan membawa kalian ke BK."

"Ya Pak." jawab kami kompak. Semua murid tertawa, bahkan ada yang usil bersiul.

Hari itu benar-benar semakin rumit. Vina ternyata sudah memantau kehidupanku sejak lama, dia tahu semuanya tentang kedekatanku dengan Lisa, ataupun gadis tomboy—Putri. Ah, persetan dengan  mereka bertiga, lupakan, lagi pula masih banyak cewek yang masih jomblo di luar sana, dan satu hal lagi, aku mempunyai tampang yang oke dan kharisma yang top markotop, kata Doni, teman sebangkuku.

Jam 13.30, bel pulang berbunyi. Aku menaruh tas di punggung, menali sepatu yang lepas. Doni sudah keburu pulang duluan, entah mengapa. Sesampai di tempat parkir, aku terkejut bukan main, Doni sedang bercakap-cakap dengan murid baru sialan itu. Mereka tampak akrab, seperti sahabat yang sudah lama tak pernah bertemu, atau jangan-jangan, mereka itu.. ah tepis jauh-jauh, pikiran aneh-mu itu, Hanafi.

"Hey, Doni!" seruku.

Doni menoleh, begitu pula gadis itu. "Ya, ada apa?"

"Gue pulang dulu ya, ntar malam gimana?"

"Oke. Ya, ntar malam jadi, di tempat biasa kita kumpul."

Motor sudah siap, tarik gas, dan meluncur pulang ke rumah. Meninggalkan Doni yang sedang kasmaran dengan murid baru sialan itu.

***

Malam Jum'at, jam 20.00. Aku ada janji dengan geng arjuna di tempat nongkrong biasa. Soal urusan Vina, sedikit demi sedikit sudah bisa ku lupakan, walau masih membutuhkan proses.

"Mau kemana den?" tanya Bibi yang merupakan pembantu di rumahku.

"Ke rumah temen Bi, tolong sampaikan ke Bapak sama Ibu ya, kalau Hanafi sudah makan, dan mungkin, pulangnya agak larut malam."

"Iya Den."

Seperti biasa, aku siap dengan pakaian dan style yang kece abis, karena aku tahu, setiap kali ada acara besar geng arjuna—pasti banyak gadis-gadis cantik yang cari perhatian disana. Pasti mereka akan terpikat dengan kehadiranku.

Setengah jam perjalanan, akhirnya sampai juga di tempat tujuanku, yakni di sebuah cafe mewah, milik salah satu anggota di geng arjuna. Roni yang menjadi pemimpin geng, sudah hadir disana, bersama dengan dua temannya dan dua wanita seksi. Mereka sepertinya sedang menikmati kebahagiaan dunia, dengan meneguk bir, minuman keras ber-merk. Dari sinilah, aku mulai mengenal minuman haram itu, mulai mengenal kehidupan malam yang penuh kemaksitan, aku tergoda bujuk rayu setan.

"Di mana Doni?" Tanya Roni sembari memeluk wanita yang mungkin pramuria di sisinya.

 "Gue gak tau Ron, mungkin sedang dijalan."

"Katanya, dia mau bawa cewek cantik. Gue jadi penasaran." Roni tertawa, kembali meneguk minuman haram itu. "Hanafi, ayolah, diminum, jangan sungkan-sungkan, hormatilah kami. Kita adalah saudara, kau susah, aku susah, aku senang, kau senang."



Untuk menghormati, dan berusaha ingin menghilangkan Vina dalam pikiranku. Perlahan ku teguk minuman haram itu, awalnya agak pahit, pusing, dan mual. tapi lama-lama menenangkan, melayang-layang di udara.

"Wah, itu si Doni, sama siapa dia, cantik sekali." Roni berdiri, menyambut kedatangan Doni bersama gadisnya. Aku masih terlentang, tak berdaya di atas kursi sofa.

"Di mana Hanafi?" tanya Doni.

"Dia disana, sedang merenung." Roni menunjuk ke sofa belakang. Doni lekas membangunkanku, "Hey, bangun, lo mabuk ya?"

"Apaan? Gue mau tidur dululah."

"Gue bawa kejutan nih, lo pasti terkejut dah." Doni memaksaku untuk bangun.

Dengan susah payah, aku memaksakan diri untuk bangun. Terlihat tubuh cantik, anggun, nan elok berdiri di hadapanku. Ku tatap lamat-lamat wajahnya, dia berpakaian seksi berwarna hitam, celana pendek jeans, rambut tergerai panjang di bahunya.

"Siapa dia?" tanyaku.

"Lo tanya sendiri saja."

Aku melangkah, mendekati sosok itu, tapi pandanganku masih limut, tak jelas. "Halo cantik, bolehkah aku berkenalan denganmu?" Aku mengajaknya bersalaman. Tapi, tiba-tiba dia menangkis tanganku keras. "Loh, kenapa? Kok gak mau? Kau lihat, aku tampan kan, kayak arjuna."

"Kau cowok gak punya mata, uh." Gadis itu menjawab ketus.

Aku sedikit curiga dengan suaranya, "Hey Don, sepertinya aku kenal suara gadis ini, siapa sih?"

"Menurutmu siapa?" Doni justru balik tanya.



"Oh ya, aku tahu sekarang, kau pasti murid baru kan. Si Rahma sialan itu." Aku menunjuk wajahnya dengan jari telunjukku.

"Kalau ya, kenapa? Masalah buat lo?" Rahma beranjak pergi, mengajak Doni keluar, entah kemana. Mataku mulai bisa menangkap dengan jelas, raut wajahnya.



"Hey, lo kenal dia?" tanya Roni.

"Kenal lah, dia murid baru, satu kelas denganku dan Doni. Kenapa?"

"Cantik juga ya, sepertinya Doni berhasil mendapatkan hatinya, lo kalah telak bro." Roni meledekku.



Aku mendengus kesal. Sialan, lo kira gue cowo apaan, kalah dari Doni. Kalau gue mau, udah gue gebet tuh cewek, tapi keburu males dulu.

Aku kembali terlentang di kursi sofa yang serasa kayak di kasur hotel bintang lima. Pikiranku kosong, entah kemana perginya. Hanya bisa melayang-layang, menikmati dunia fana ini.

***

"Bi, buka pintunya." Aku berteriak. Berkali-kali pintu rumah ku ketuk. "Bi..."

"Iya den sebentar." Terdengar suara Bibi dari dalam. Tak lama pintu pun terbuka.

"Lama amat sih, Bi." Aku mulai melangkah masuk dengan gontai. Karena dalam keadaan mabuk, jalannya pun tak seimbang. Bibi hanya mampu membantuku ke kamar yang letaknya di tengah.

"Aden mabuk lagi?" tanya Bibi. Aku tertawa lepas. "Bi, Bi, aku itu gak mabuk, tapi sedang terbang, melayang-layang bebas di udara. Tau gak tadi tuh aku habis dari surga dunia. Aduh Bi, ceweknya seksi-seksi sekali, dan menggoda pula. Aku mulai ngelantur, Bibi memberikan selimut, lalu pergi menemui orang tuaku yang kebetulan belum tidur, di kamarnya.

"Tuan, Nyonya, Hanafi sudah pulang," lapor Bibi. Ibu Hanafi segera keluar, sedangkan Bapak Hanafi mengikuti dari
belakang, sampai di kamar Hanafi. Ternyata Hanafi ada di kamar mandi.

"Huekk.." berkali-kali aku muntah, memuntahkan minuman yang telah ku minim. Efek mabuk dan kebanyakan minum-minuman haram.

Bapak segera masuk ke kamar mandi dan menarikku keluar, "Kamu mabuk lagi?" tanya Bapak, dengan nada yang tinggi. Tapi karena aku sedang di bawah sadar. Aku hanya tertawa, "Bapak lucu deh."



Bapak menutup hidungnya, tercium bau alkohol dari mulutku. "Sudah berapa kali Bapak bilang. Jangan pergi dengan anak-anak berandalan itu, nanti kamu seperti mereka. Kalau kamu merusak anak perempuan orang gimana?"

"Ah, Bapak makin lama makin gak jelas deh ngomongnya. Mana bisa Hanafi ngerusak anak orang. Hanafi kan bukan dokter bedah." Aku tertawa, tidak mengerti.

"Hanafi, kamu itu sudah sesat. Kapan sih kamu mau berhenti!" Bapak semakin keras mengomel.

"Aduh Pak, siapa bilang Hanafi sesat, buktinya, Hanafi sampai rumah dengan selamat."

Ibu menepuk bahu Bapak pelan, "Pak, dia lagi gak sadar, bicara dengan dia, sama saja bicara dengan patung. Sudahlah, kita lanjut besok saja," bujuk Ibu.

Bapak pun menghela napas lalu mengangguk, "Bi, tolong urusin Hanafi. Saya sudah pusing
melihatnya."

 Mereka pun keluar. "Ibu lakuin sesuatu dong, biar Hanafi tuh bisa berubah. Sudah capek Bapak, bolak-balik ngomong, tapi hasilnya apa? Dia masih mabuk-mabukan gak jelas."

"Iya Pak. Ibu akan bujuk dia."



"Kalau sampai dia mengulangi hal seperti itu, Bapak tak segan untuk mengusirnya dari sini. Memalukan martabat keluarga saja."

"Baik Pak, Ibu akan berusaha lagi."

***

"Hanafi! Bangun nak!" Suara Ibu, menyadarkan tidur lelapku. Aku mengucek mata, matahari terlihat sudah masuk ke dalam kamar, melewati jendela dan lubang-lubang lainnya. Aku lekas mengambil handuk, keluar dari kamar tidur-mandi, dan memakai seragam putih abu-abu, yang aku banggakan.

"Hanafi, duduk sini dulu nak, ada yang ingin Ibu bicarakan." Ibu berseru kepadaku, mengajakku ikut makan bersama di ruang keluarga. Akhir-akhir ini, aku memang jarang makan bersama keluarga di rumah, selalu menyendiri, sembari nonton TV di kamar.

"Ada apa Bu?" Aku melangkah malas.

"Duduk sini, ada yang mau ibu bicarakan."

"Tinggal bicara aja, apanya yang susah, Bu. Lagipula, bentar lagi jam tujuh, Hanafi harus berangkat dulu."

Ibu akhirnya mengalah, beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju ke arahku, aku sedang sibuk memakai sepatu.

"Bapak dimana, Bu?" Tanyaku.



"Bapakmu sudah berangkat, marah sekali dia semalam."

"Loh, marah kenapa?" Aku binggung.

"Sudah pastilah kau tidak sadar, Bapakmu marah, karena melihatmu mabuk lagi."

Aku terkejut, sial, baru sadar-kalau tadi malam aku mabuk parah. Bisa kena usir nih. Bapak pernah bilang, sewaktu menemukanku tergeletak lemah di halaman depan rumah, dia marah besar terhadapku—saat mengetahui kalau aku mabuk, apalagi, tadi malam aku mengulangi hal yang sama.

Ibu akhirnya menceritakan semua kronologinya, dan berusaha mengingatkanku, agar menjauhi benda haram itu. Aku mengerti maksud Ibu, beliau tidak ingin anak laki-lakinya ini di usir dari rumah, karena hal memalukan. Baik Bu, mulai hari ini, aku berjanji, untuk tidak mabuk lagi.

Sebelum berangkat, seperti biasanya, ku cium tangan Ibu. Walaupun aku anak bandel dan agak berandalan, tapi aku masih ingat untuk berbakti kepada orang tua. Pagi itu tak seperti biasanya, mentari terus menyengat tubuh ini. Jalanan kota padat rayap, mulai macet. Aku merangsek ke sela-sela, mengejar waktu.

BERSAMBUNG
adityasatriajiAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan adityasatriaji memberi reputasi
2
704
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.