- Beranda
- Stories from the Heart
Part 2
...
![adie.scottlang](https://s.kaskus.id/user/avatar/2016/06/03/avatar8799582_1.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
adie.scottlang
Part 2
|Flashback|
BERSAMBUNG
Quote:
Tahun 2010, tepatnya saat diriku menginjak kelas dua SMA. Aku mulai mengenal kehidupan malam yang penuh huru-hara, kemaksiatan, serta tipu daya setan. Sekolahku, merupakan salah satu sekolah favorit bagi anak-anak pintar. Nama sekolahnya adalah, SMA Pancasila.
Namaku adalah 'Iqbal Hanafi', teman-teman sering memanggilku dengan nama Hanafi, tapi ada juga yang memanggilku dengan nama Iqbal. Awalnya, aku sangat dibangga-banggakan oleh kedua orang tuaku, karena sanggup memasuki sekolah favorit itu. Tapi, aku yang sudah menginjak usia remaja—tak luput pula dari tergiurnya kesenangan dan kemaksiatan.
Di kelas dua aku mengambil jurusan IPA. Aku duduk bersama seorang teman yang agak berantakan—dari luar maupun dalam, dia bernama Doni. Doni merupakan murid yang tidak terlalu pintar dan juga tidak terlalu bodoh, sama halnya dengan diriku. Tapi, dia sering mendapat masalah di dalam sekolah, entah itu masalah perkelahian, memalak, sampai-sampai masalah dengan guru.
Awalnya aku menolak untuk duduk sebangku dengannya, tapi karena dirasa aman, aku mengiyakan. Doni mempunyai banyak teman di sekolah ini, terutama kakak kelas yang mendirikan geng sendiri. Geng itu sangat ditakuti di sekolah ini, bahkan sampai ditakuti di sekolah lain. Awalnya aku tidak terlibat, lama-kelamaan aku mulai terlibat dalam geng sialan itu.
Pagi itu, minggu ke tiga di semester dua, kelas dua. Aku duduk melamun di depan perpustakaan, binggung harus bagaimana karena kebetulan nanti malam, malam minggu—dan aku tak punya pegangan uang sepeserpun. Bukan hanya malam minggu biasa, melainkan malam minggu istimewa, karena kami akan merayakan hari jadi yang ke-6 bulan.
Vina, merupakan kekasihku, aku sangat menyayanginya, tapi demi kebutuhan lain, aku menduakannya. Aku dicap playboy oleh teman-teman di geng-ku, karena apa? Karena dalam waktu ini, aku sudah menggebet tiga cewek sekaligus.
"Hey, kau gila kawan, tiga cewek kau gebet, lah aku sendiri, malah belum satupun punya." Roni meledekku, dia merupakan kakak kelas yang menjadi anggota tertua di geng Arjuna.
"Ah, semua cewek di sekolah ini sudah di sikat semua sama si Hanafi. Makanya, kau harus belajar darinya, Ron." Doni ikut tertawa, meledekku. Aku diam, kesal melihat tingkah mereka yang selalu memojokanku dengan obrolan yang basi itu.
"Hey, bagaimana dengan si Puspa itu? Anak baru itu loh?" Roni sepertinya ingin menantangku.
"Puspa? Kelas berapa? Gue belum pernah lihat?"
"Kelas sepuluh satu-lah, cantik loh, anak orang kaya lagi. Kau bisa dapat cinta sekaligus uang berjalan." Roni tertawa, diikuti teman-teman lainnya. "Bagaimana? Lo tertarik? Atau jangan-jangan, lo gak punya nyali untuk deketinnya."
"Enak aja, tidak ada di dalam kamus hidup gue. Siapapun cewek di sekolah ini, pasti bisa gue taklukin hatinya."
"Tapi, ingat ya. Jangan sampai lo deketin satu cewek di sekolah ini." Roni mengancam, raut wajahnya mendadak berubah menjadi monster.
"Cewek siapa-lah? Kalau lo kasih tau ke gue, gue gak bakal deketin tuh cewek."
"Namanya Puspa, dia target gue. Kalau sampai lo deketin dia, gue gak segan-segan ngehajar lo sampai babak belur." Roni terkekeh.
"Apaan! kata lo tadi, gue disuruh deketin Puspa. Sialan lo." Aku kesal, lekas beranjak pergi dari depan perpustakan.
"Hey, mau kemana, tunggu!" seru Doni.
Ngomong-ngomong soal pacaran, jujur—detik ini aku punya tiga gebetan. Mereka berbeda-beda, yang pertama bernama Vina, dia memang kekasihku—sejak dari kelas satu SMA. Dialah yang aku seriuskan, karena baik, pengertian, serta bisa menerimaku apa adanya. Yang kedua, bernama Lisa, dia tidak cantik sih, menang body saja, seksi. Aku tidak terlalu suka dengannya, hanya karena uang saja, aku gebet dia. Dan yang terakhir, bernama Putri. Dia gadis yang aku dapatkan setelah teman-teman satu geng-ku menantangku untuk berlomba-lomba mendapatkan hatinya. Putri adalah gadis tomboy di sekolah ini yang agak pemalu, hobinya bermain basket, cukup sulit untuk mendapatkan hatinya, tapi bagiku, tak ada yang tak mungkin.
Geng Arjuna mengacungi jempol kepadaku, saat berhasil mendapatkan hati gadis tomboy tersebut. Bahkan mereka menepati janji dengan membelikanku sepeda motor matic versi baru yang harganya masih wah. Sepeda motor matic, bagi mereka sangat kecil, karena mereka merupakan anak-anak orang kaya, mungkin aku sendiri yang paling miskin di antara mereka. Motor matic yang masih ku pakai untuk pulang pergi berangkat ke sekolah—hasil dari taruhan yang aku menangkan dengan mudah.
Malam minggu, aku bersiap diri, menyisir rambut biar terlihat rapi, memakai kemeja cokelat kotak-kotak, celana jeans hitam. Aku menelpon Lisa, pacar keduaku yang bergelimang harta itu, aku mengajaknya bertemu malam ini di depan rumahnya. Dia sempat menolak, justru memintaku untuk jalan-jalan ke taman kota, tapi aku punya janji dengan Vina, bisa hancur rencanaku—karena rencanaku menemui Lisa, hanya untuk meminta uang saja.
"Butuh berapa?" Lisa memajukan bibirnya ke depan, tangannya bersedekap. Memasang wajah cemberut, karena baru saja aku menolak ajakannya.
"Tiga ratus ribu saja. Kalau gak ada, juga gak papa kok." Aku memasang wajah memelas.
"Tunggu sebentar." Lisa masuk ke dalam rumahnya, selang beberapa menit dia keluar dan membawa tiga lembar uang seratus ribu rupiah.
"Ikhlas gak?" tanyaku.
"Ya, ya, lain kali jangan tolak ajakanku ya. Oke, kali ini aku paham, kamu sibuk dengan lomba futsalmu itu. Semoga menang ya sayang."
"Doakan ya sayang." Aku lekas memakai helm, Lisa terlihat tersenyum, melambaikan tangan. Aku bergegas menuju ke restoran tempat kami berjanji dengan Vina, kekasihku yang sesungguhnya.
Lima belas menit, perjalanan dari rumah Lisa ke restoran. Aku memarkirkan motor di tempat parkir yang sudah di sediakan oleh restoran. Malam minggu, restoran terlihat ramai, banyak muda-mudi yang melepas rindu disini, begitu pula dengan diriku. Dengan mantap—karena sudah mengantongi uang hasil pemberian dari Lisa, aku melangkah dengan tenang menuju ke meja nomor-7 yang sebelumnya sudah di pesan oleh Vina jauh-jauh hari.
Aku lekas duduk, "Maaf ya, agak lama."
"Gak kok," jawab Vina singkat, sepertinya dia sedikit marah, karena lama menunggu.
"Tadi, ada urusan mendadak."
"Urusan dengan geng-mu lagi?"
"Hmm, bukan kok, tadi ibuku mendadak menyuruhku beli nasi goreng di warung depan gang."
"Oh, aku kira kamu gak inget kalau ada janji denganku malam ini."
"Siapa sih yang gak inget, ini kan malam minggu spesial sayang. Hari ini kan kita merayakan hari jadian kita yang ke-6 bulan." Tanganku mulai memegang tangan Vina di atas meja yang berisi minuman dan lilin cantik.
Vina tersenyum kecil, "Aku kira, kamu gak inget."
"Tentu saja, ingat dong. Oh ya, aku punya hadiah nih, buat kamu." Aku mengambil tas kecil yang ku taruh di paha, ku ambil sebuah benda spesial untuk kekasih hati, Vina.
"Apaan ini?" tanya Vina.
"Buka dong."
Vina meraba-raba benda berbentuk kotak kecil itu, dengan sampul berwarna merah. Perlahan ia membuka, dan betapa terkejutnya dia saat itu. "Ya ampun, inikan jam tangan yang aku suka, terima kasih ya sayang." Vina tersenyum, matanya berbinar-binar, lekas mencopot jam tangan lamanya, dan memakai jam tangan baru pemberianku.
"Kamu suka kan?"
"Suka sekali sayang. Sayang pengertian banget deh, romantis pula."
"Siapa dulu dong, Hanafi gitu loh."
"Iya, iya." Vina tersenyum, matanya memancarkan cinta yang begitu tulus dari dalam hatinya.
Tapi malam itu menjadi malam terakhir bagi kisah cinta kita. Mengapa? Karena beberapa hari kemudian, tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja dia memutuskanku melalui telepon. Aku tersedak, apa-apaan ini, seorang Hanafi, di putuskan melalui telepon begitu saja. Ini baru pertama kalinya dalam kamus hidupku, aku diputuskan oleh seorang cewek, biasanya aku sendiri yang memutuskan. Ada apa sih sebenarnya, sampai-sampai dia memutuskanku sembari menangis di dalam telepon? Aku harus cari tahu.
Mentari pagi, mulai menyongsong ke atas. Dedaunan basah mulai nampak menggering. Dengan cepat aku pamit pergi dari rumah tanpa sarapan, naik motor matic yang sampai detik ini masih belum ku jelaskan juga kepada Bapak dan Ibu.
"Dapat darimana motor itu?" Tanya Bapak menyelidik.
"Oh, nanti aku jelaskan Pak." Aku bergegas, pamit berangkat. Melaju kencang, menembus keramaian kota.
Hari ini adalah hari jum'at—dan kemarin sore, Vina kekasihku—mendadak memutuskanku. Aku ingin mencari tahu jawaban itu. Setibanya di sekolah, aku bergegas memarkirkan sepeda motor di area belakang sekolah.
"Pak, tolong rapikan motor saya ya." Aku berseru, melambaikan tangan kepada satpam jaga. Satpam hanya menggacungkan jempol. Berlari-lari kecil menaiki tangga sekolah. Kebetulan, kelas-ku dan Vina, ada di lantai dua.
"Lo kesurupan ya bro, berangkat pagi-pagi," seru ketua kelasku.
"Tidak, ada bisnis mendadak."
"Dengan siapa pula, pagi buta jam segini, ada bisnis mendadak." Dia menatapku ganjil.
"Adalah, seseorang pastinya, masa setan."
Tas sudah kutaruh di meja dengan rapi, aku bergegas keluar dari dalam kelas, duduk di teras depan kelas—menunggu sang puteri hati datang—yang tiba-tiba membuatku shock kemarin sore.
Lewat lima belas menit, Vina belum terlihat. Jam melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjuk ke pukul 06.45. Doni dan Roni sudah terlihat masuk ke dalam sekolah, tapi sosok Vina masih belum ku tangkap juga. Tak lama kemudian, sekitar jam 06.55, Vina datang juga. Hari ini, entah mengapa rasanya aneh, Vina yang biasanya berangkat pagi, eh, justru kesiangan.
"Hey playboy, tumben lo, jam segini udah berangkat?" sapa Doni.
"Ah, biasalah, ada sesuatu." Temannya ikut menimpali. Mereka berdua masuk ke dalam kelas, semua murid sudah terlihat masuk ke dalam kelas, hanya menyisahkan aku sendiri di lorong depan, menunggu kekasih hati yang mendadak memutuskanku tanpa jelas.
Vina sudah terlihat berjalan di lorong, menunduk ke bawah. Ku pandang lamat-lamat, dia masih setia memakai jam tangan pemberianku—minggu kemarin. Aku lekas berdiri, dan menyambutnya bagai ratu permadani yang sedang berjalan menuju ke istana menggunakan karpet merah.
"Selamat pagi, Vina."
Vina sempat menoleh ke arahku, walau hanya selintas. Dia berjalan melewatiku, aku bergegas memegang tangannya. "Vin—"
Vina berhenti, menoleh, "Ada apa lagi?"
"Kenapa kamu mutusin aku, aku salah apa?" Ku pegang erat tangannya, dan ku telusuri jawaban dari bola matanya yang indah.
Vina melepaskan pegangan tanganku dengan kasar, membalikan badan. "Maaf, aku tidak bisa lagi meneruskan kisah cinta yang penuh dengan kebohongan ini."
"Maksudmu?" Aku melipat dahi. Binggung mencerna perkataan dari Vina.
"Kau pikir sendiri." Vina kembali melangkah pergi, perlahan tubuhnya tenggelam di balik pintu kelas. Aku terdiam, mematung di lorong depan kelas yang semakin sepi. Suara bel yang berbunyi, bagai musik horror yang mengerikan, seakan berada di dunia vampire.
Berjalan masuk ke dalam kelas dengan lesu.
"Hey, lo kenapa?" tanya Doni.
"Vina, Don."
"Vina kenapa?"
"Dia memutuskanku tanpa sebab-akibat."
"Lah terus, apa masalahnya, kan masih ada Lisa dan Putri." Doni menyeringai.
"Vina beda Don. Dia tidak seperti Lisa dan Putri. Lagipula, si anak tomboy Putri, sudah ku putuskan dua hari yang lalu."
"Apa? Kau memutuskan Putri begitu saja? Gila lo ya." Doni geleng-geleng.
Percakapan kami terhenti, saat Pak Muhid, seorang guru fisika sekaligus wali kelas—datang. Tapi kali ini dia tidak datang sendirian, melainkan bersama satu murid baru.
"Selamat pagi, anak-anak." seru Pak Muhid.
"Pagi Pak..," jawab murid kompak.
"Ada anak baru di kelas kita, mohon kerjasamanya untuk membantu dia mengejar pelajaran yang tertinggal," ujar Pak Muhid memberitahukan kepada semua murid.
Seorang gadis yang susah jika tidak menyebut dirinya cantik. Semua mata anak laki-laki didalam kelas tertuju padanya, bahkan Doni, teman sebangkuku, yang biasanya anti dengan wanita, kali ini dia begitu terpesona. Bagiku sendiri, tak mempedulikan, aku fokus menyelesaikan masalah dengan Vina.
"Hey, Hanafi, cantik sekali dia." Doni menyikut lenganku. "Lo gak mau lihat?" Doni kembali menggoda.
"Tidak, aku tidak tertarik."
"Lo yakin? Kalau begitu, dia jadi target gue ah." Doni bersemangat.
"Ayo perkenalkan dirimu." Pak Muhid menyuruhnya.
Gadis itu berdiri mantap di depan kelas, menatap seluruh murid.
"Perkenalkan, namaku Dinda Aulia Rahma. Panggil saja Rahma." Dia tersenyum saat menutup kalimat. Senyum yang manis, ditambah lesung pipi yang menggoda, membuat kelas sedikit gaduh.
"Halo.. Rahma." Ketua kelas menggoda. Rahma mengangguk pelan, melempar senyum lagi.
"Kamu duduk di sebelah dia ya." Pak Muhid menunjuk ke bangku Tobi, seorang murid culun yang duduk sendirian di tengah.
Doni tiba-tiba mengangkat tangan, "Tunggu Pak, saya keberatan kalau kayak gini."
"Loh, keberatan kenapa toh?" Pak Muhid melonggok.
"Jelas keberatanlah, seharusnya, murid baru itu duduk di bangkuku." Doni memasang wajah sebal.
Pak Muhid memotong, "kan sudah ada Hanafi, gimana sih kamu."
"Mending Hanafi saja yang duduk disebelah Tobi, Pak. Cocok mereka berdua." Semua murid ikut tertawa mendengar banyolan Doni. Aku menyikut lengannya, dan memicingkan mata ke arahnya.
"Diam!" Pak Muhid menjatuhkan penggaris kayu besarnya ke papan tulis, sekejap menghentikan keramaian yang terjadi di dalam kelas. Adalah Doni, Biang keladinya.
"Keluarkan buku fisika, kerjakan soal nomor satu sampai lima belas." Pak Muhid memberikan soal, semua murid ber-ah sebal.
Di sela waktu, Doni selalu mencuri-curi pandang ke arah Rahma. Kadang senyam-senyum sendiri, kayak orang stres yang baru kabur dari rumah sakit gila.
***
Tanpa terasa, pelajaran pertama di hari itu sudah selesai. Dua jam yang terasa singkat. Aku memutuskan untuk tidur sejenak, sebelum guru biologi datang. Doni terlihat masih sumringah, senyam-senyum sendiri.
Tiba-tiba, sebuah pulpen melayang ke kepalaku. Aku terkejut bukan main, terbangun dari mimpi indahku. Saat melihat sekitar, semua murid sudah tertawa menyaksikanku, bagai melihat monyet bodoh sedang beraksi.
"Hanafi! Kalau kamu mau tidur, pulang saja sana!" seru Bu Fani galak.
"Maaf, Bu." Aku merapikan rambut yang berantak, menyeka mata, mengkerdip berkali-kali.
"Mana tugasmu yang kemarin?"
Aku segera membuka tas, dan mengambil buku tugas biologi. Lega rasanya, saat mengetahui kalau buku tugas sudah ku bawa dan ku kerjakan dengan rapi. Yah, walau dapat bantuan dari Lisa, kekasih keduaku.
"Hanafi, lain kali jangan di ulangi lagi, tidur di dalam kelas." Bu Fani kembali memperingatkanku. Ku tangkap beberapa murid ada yang menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan.
"Baik Bu." Aku tersenyum, balik badan, kembali duduk di bangku paling pojok. Ciri khas anak bandel.
Jam pelajaran selesai, kini jam istirahat tiba. Aku lekas keluar dari dalam kelas, menuju kelas sebelah—yang kebetulan kelas Vina. Tapi dia tidak ada di kelas. Kata temannya, dia pergi ke kantin untuk makan. Tanpa pikir panjang, aku bergegas lari ke kantin. Tapi sesampainya disana, hatiku hancur berkeping-keping. Seorang Vina yang ku kenal baik, ternyata mendua dengan kakak kelas. Mereka berdua sedang bermesraan sembari manikmati semangkuk bakso dan menyisipkan kata-kata cinta penuh gombal.
Aku lekas menarik tangan Vina, menyeretnya ke depan kantin. Sedangkan, laki-laki yang mungkin kekasih barunya itu, marah kepadaku, mengancamku dengan kata-kata kasarnya.
"Hey, jangan kasar sama wanita." Dia menangkis tanganku.
"Eh, lo gak usah ikut campur urusan ini." Aku mengacungkan jari terlunjuk ke wajahnya, sembari melotot.
"Eh, kau anak kelas dua, berani-beraninya kau menantang kakak kelas." Dia mendorongku hingga jatuh.
"Brengsek kau!" Aku bangkit, lantas mengayunkan kepalan tanganku, tepat ke wajahnya.
Brakkk!!
Dia terjatuh, tersungkur ke meja kantin dan menjatuhkan sebotol kecap penuh. Dia lekas bangkit, melompat sembari melepaskan pukulan keras ke bibirku.
Drappp!
Aku tersungkur. Perlahan darah mulai menetes, membasahi bibirku. Sebelum adu jotos itu berlanjut, Vina berteriak lantang memutuskanku, "Aku minta putus! Kamu sudah menduakanku dengan Lisa!" membuat seisi kantin mendengar keributan yang sedang terjadi. Sepertinya pemilik kantin akan marah besar padaku, akibat memecahkan botol kecap baru yang terbuat dari kaca.
"Lisa siapa? Aku tidak kenal dia?" Aku memastikan, mengusap darah di hidung, mencoba berdiri.
"Oh, jadi gini ya, kamu tidak kenal aku lagi, hah." Lisa tiba-tiba muncul dari belakang, membuat suasana menjadi kacau.
"Aarrrghhhh..!!" Aku segera pergi meninggalkan mereka, malu sekali hari itu. Seorang playboy kelas kakap, mendapat pukulan telak pagi itu. Setelah kuputuskan meninggalkan Putri, kini Vina ikut-ikutan, ditambah lagi Lisa yang memutuskanku di hadapan murid-murid kelas lain. Itu adalah momen ter-kampret sepanjang aku hidup.
Namaku adalah 'Iqbal Hanafi', teman-teman sering memanggilku dengan nama Hanafi, tapi ada juga yang memanggilku dengan nama Iqbal. Awalnya, aku sangat dibangga-banggakan oleh kedua orang tuaku, karena sanggup memasuki sekolah favorit itu. Tapi, aku yang sudah menginjak usia remaja—tak luput pula dari tergiurnya kesenangan dan kemaksiatan.
Di kelas dua aku mengambil jurusan IPA. Aku duduk bersama seorang teman yang agak berantakan—dari luar maupun dalam, dia bernama Doni. Doni merupakan murid yang tidak terlalu pintar dan juga tidak terlalu bodoh, sama halnya dengan diriku. Tapi, dia sering mendapat masalah di dalam sekolah, entah itu masalah perkelahian, memalak, sampai-sampai masalah dengan guru.
Awalnya aku menolak untuk duduk sebangku dengannya, tapi karena dirasa aman, aku mengiyakan. Doni mempunyai banyak teman di sekolah ini, terutama kakak kelas yang mendirikan geng sendiri. Geng itu sangat ditakuti di sekolah ini, bahkan sampai ditakuti di sekolah lain. Awalnya aku tidak terlibat, lama-kelamaan aku mulai terlibat dalam geng sialan itu.
Pagi itu, minggu ke tiga di semester dua, kelas dua. Aku duduk melamun di depan perpustakaan, binggung harus bagaimana karena kebetulan nanti malam, malam minggu—dan aku tak punya pegangan uang sepeserpun. Bukan hanya malam minggu biasa, melainkan malam minggu istimewa, karena kami akan merayakan hari jadi yang ke-6 bulan.
Vina, merupakan kekasihku, aku sangat menyayanginya, tapi demi kebutuhan lain, aku menduakannya. Aku dicap playboy oleh teman-teman di geng-ku, karena apa? Karena dalam waktu ini, aku sudah menggebet tiga cewek sekaligus.
"Hey, kau gila kawan, tiga cewek kau gebet, lah aku sendiri, malah belum satupun punya." Roni meledekku, dia merupakan kakak kelas yang menjadi anggota tertua di geng Arjuna.
"Ah, semua cewek di sekolah ini sudah di sikat semua sama si Hanafi. Makanya, kau harus belajar darinya, Ron." Doni ikut tertawa, meledekku. Aku diam, kesal melihat tingkah mereka yang selalu memojokanku dengan obrolan yang basi itu.
"Hey, bagaimana dengan si Puspa itu? Anak baru itu loh?" Roni sepertinya ingin menantangku.
"Puspa? Kelas berapa? Gue belum pernah lihat?"
"Kelas sepuluh satu-lah, cantik loh, anak orang kaya lagi. Kau bisa dapat cinta sekaligus uang berjalan." Roni tertawa, diikuti teman-teman lainnya. "Bagaimana? Lo tertarik? Atau jangan-jangan, lo gak punya nyali untuk deketinnya."
"Enak aja, tidak ada di dalam kamus hidup gue. Siapapun cewek di sekolah ini, pasti bisa gue taklukin hatinya."
"Tapi, ingat ya. Jangan sampai lo deketin satu cewek di sekolah ini." Roni mengancam, raut wajahnya mendadak berubah menjadi monster.
"Cewek siapa-lah? Kalau lo kasih tau ke gue, gue gak bakal deketin tuh cewek."
"Namanya Puspa, dia target gue. Kalau sampai lo deketin dia, gue gak segan-segan ngehajar lo sampai babak belur." Roni terkekeh.
"Apaan! kata lo tadi, gue disuruh deketin Puspa. Sialan lo." Aku kesal, lekas beranjak pergi dari depan perpustakan.
"Hey, mau kemana, tunggu!" seru Doni.
Ngomong-ngomong soal pacaran, jujur—detik ini aku punya tiga gebetan. Mereka berbeda-beda, yang pertama bernama Vina, dia memang kekasihku—sejak dari kelas satu SMA. Dialah yang aku seriuskan, karena baik, pengertian, serta bisa menerimaku apa adanya. Yang kedua, bernama Lisa, dia tidak cantik sih, menang body saja, seksi. Aku tidak terlalu suka dengannya, hanya karena uang saja, aku gebet dia. Dan yang terakhir, bernama Putri. Dia gadis yang aku dapatkan setelah teman-teman satu geng-ku menantangku untuk berlomba-lomba mendapatkan hatinya. Putri adalah gadis tomboy di sekolah ini yang agak pemalu, hobinya bermain basket, cukup sulit untuk mendapatkan hatinya, tapi bagiku, tak ada yang tak mungkin.
Geng Arjuna mengacungi jempol kepadaku, saat berhasil mendapatkan hati gadis tomboy tersebut. Bahkan mereka menepati janji dengan membelikanku sepeda motor matic versi baru yang harganya masih wah. Sepeda motor matic, bagi mereka sangat kecil, karena mereka merupakan anak-anak orang kaya, mungkin aku sendiri yang paling miskin di antara mereka. Motor matic yang masih ku pakai untuk pulang pergi berangkat ke sekolah—hasil dari taruhan yang aku menangkan dengan mudah.
Malam minggu, aku bersiap diri, menyisir rambut biar terlihat rapi, memakai kemeja cokelat kotak-kotak, celana jeans hitam. Aku menelpon Lisa, pacar keduaku yang bergelimang harta itu, aku mengajaknya bertemu malam ini di depan rumahnya. Dia sempat menolak, justru memintaku untuk jalan-jalan ke taman kota, tapi aku punya janji dengan Vina, bisa hancur rencanaku—karena rencanaku menemui Lisa, hanya untuk meminta uang saja.
"Butuh berapa?" Lisa memajukan bibirnya ke depan, tangannya bersedekap. Memasang wajah cemberut, karena baru saja aku menolak ajakannya.
"Tiga ratus ribu saja. Kalau gak ada, juga gak papa kok." Aku memasang wajah memelas.
"Tunggu sebentar." Lisa masuk ke dalam rumahnya, selang beberapa menit dia keluar dan membawa tiga lembar uang seratus ribu rupiah.
"Ikhlas gak?" tanyaku.
"Ya, ya, lain kali jangan tolak ajakanku ya. Oke, kali ini aku paham, kamu sibuk dengan lomba futsalmu itu. Semoga menang ya sayang."
"Doakan ya sayang." Aku lekas memakai helm, Lisa terlihat tersenyum, melambaikan tangan. Aku bergegas menuju ke restoran tempat kami berjanji dengan Vina, kekasihku yang sesungguhnya.
Lima belas menit, perjalanan dari rumah Lisa ke restoran. Aku memarkirkan motor di tempat parkir yang sudah di sediakan oleh restoran. Malam minggu, restoran terlihat ramai, banyak muda-mudi yang melepas rindu disini, begitu pula dengan diriku. Dengan mantap—karena sudah mengantongi uang hasil pemberian dari Lisa, aku melangkah dengan tenang menuju ke meja nomor-7 yang sebelumnya sudah di pesan oleh Vina jauh-jauh hari.
Aku lekas duduk, "Maaf ya, agak lama."
"Gak kok," jawab Vina singkat, sepertinya dia sedikit marah, karena lama menunggu.
"Tadi, ada urusan mendadak."
"Urusan dengan geng-mu lagi?"
"Hmm, bukan kok, tadi ibuku mendadak menyuruhku beli nasi goreng di warung depan gang."
"Oh, aku kira kamu gak inget kalau ada janji denganku malam ini."
"Siapa sih yang gak inget, ini kan malam minggu spesial sayang. Hari ini kan kita merayakan hari jadian kita yang ke-6 bulan." Tanganku mulai memegang tangan Vina di atas meja yang berisi minuman dan lilin cantik.
Vina tersenyum kecil, "Aku kira, kamu gak inget."
"Tentu saja, ingat dong. Oh ya, aku punya hadiah nih, buat kamu." Aku mengambil tas kecil yang ku taruh di paha, ku ambil sebuah benda spesial untuk kekasih hati, Vina.
"Apaan ini?" tanya Vina.
"Buka dong."
Vina meraba-raba benda berbentuk kotak kecil itu, dengan sampul berwarna merah. Perlahan ia membuka, dan betapa terkejutnya dia saat itu. "Ya ampun, inikan jam tangan yang aku suka, terima kasih ya sayang." Vina tersenyum, matanya berbinar-binar, lekas mencopot jam tangan lamanya, dan memakai jam tangan baru pemberianku.
"Kamu suka kan?"
"Suka sekali sayang. Sayang pengertian banget deh, romantis pula."
"Siapa dulu dong, Hanafi gitu loh."
"Iya, iya." Vina tersenyum, matanya memancarkan cinta yang begitu tulus dari dalam hatinya.
Tapi malam itu menjadi malam terakhir bagi kisah cinta kita. Mengapa? Karena beberapa hari kemudian, tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja dia memutuskanku melalui telepon. Aku tersedak, apa-apaan ini, seorang Hanafi, di putuskan melalui telepon begitu saja. Ini baru pertama kalinya dalam kamus hidupku, aku diputuskan oleh seorang cewek, biasanya aku sendiri yang memutuskan. Ada apa sih sebenarnya, sampai-sampai dia memutuskanku sembari menangis di dalam telepon? Aku harus cari tahu.
Mentari pagi, mulai menyongsong ke atas. Dedaunan basah mulai nampak menggering. Dengan cepat aku pamit pergi dari rumah tanpa sarapan, naik motor matic yang sampai detik ini masih belum ku jelaskan juga kepada Bapak dan Ibu.
"Dapat darimana motor itu?" Tanya Bapak menyelidik.
"Oh, nanti aku jelaskan Pak." Aku bergegas, pamit berangkat. Melaju kencang, menembus keramaian kota.
Hari ini adalah hari jum'at—dan kemarin sore, Vina kekasihku—mendadak memutuskanku. Aku ingin mencari tahu jawaban itu. Setibanya di sekolah, aku bergegas memarkirkan sepeda motor di area belakang sekolah.
"Pak, tolong rapikan motor saya ya." Aku berseru, melambaikan tangan kepada satpam jaga. Satpam hanya menggacungkan jempol. Berlari-lari kecil menaiki tangga sekolah. Kebetulan, kelas-ku dan Vina, ada di lantai dua.
"Lo kesurupan ya bro, berangkat pagi-pagi," seru ketua kelasku.
"Tidak, ada bisnis mendadak."
"Dengan siapa pula, pagi buta jam segini, ada bisnis mendadak." Dia menatapku ganjil.
"Adalah, seseorang pastinya, masa setan."
Tas sudah kutaruh di meja dengan rapi, aku bergegas keluar dari dalam kelas, duduk di teras depan kelas—menunggu sang puteri hati datang—yang tiba-tiba membuatku shock kemarin sore.
Lewat lima belas menit, Vina belum terlihat. Jam melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjuk ke pukul 06.45. Doni dan Roni sudah terlihat masuk ke dalam sekolah, tapi sosok Vina masih belum ku tangkap juga. Tak lama kemudian, sekitar jam 06.55, Vina datang juga. Hari ini, entah mengapa rasanya aneh, Vina yang biasanya berangkat pagi, eh, justru kesiangan.
"Hey playboy, tumben lo, jam segini udah berangkat?" sapa Doni.
"Ah, biasalah, ada sesuatu." Temannya ikut menimpali. Mereka berdua masuk ke dalam kelas, semua murid sudah terlihat masuk ke dalam kelas, hanya menyisahkan aku sendiri di lorong depan, menunggu kekasih hati yang mendadak memutuskanku tanpa jelas.
Vina sudah terlihat berjalan di lorong, menunduk ke bawah. Ku pandang lamat-lamat, dia masih setia memakai jam tangan pemberianku—minggu kemarin. Aku lekas berdiri, dan menyambutnya bagai ratu permadani yang sedang berjalan menuju ke istana menggunakan karpet merah.
"Selamat pagi, Vina."
Vina sempat menoleh ke arahku, walau hanya selintas. Dia berjalan melewatiku, aku bergegas memegang tangannya. "Vin—"
Vina berhenti, menoleh, "Ada apa lagi?"
"Kenapa kamu mutusin aku, aku salah apa?" Ku pegang erat tangannya, dan ku telusuri jawaban dari bola matanya yang indah.
Vina melepaskan pegangan tanganku dengan kasar, membalikan badan. "Maaf, aku tidak bisa lagi meneruskan kisah cinta yang penuh dengan kebohongan ini."
"Maksudmu?" Aku melipat dahi. Binggung mencerna perkataan dari Vina.
"Kau pikir sendiri." Vina kembali melangkah pergi, perlahan tubuhnya tenggelam di balik pintu kelas. Aku terdiam, mematung di lorong depan kelas yang semakin sepi. Suara bel yang berbunyi, bagai musik horror yang mengerikan, seakan berada di dunia vampire.
Berjalan masuk ke dalam kelas dengan lesu.
"Hey, lo kenapa?" tanya Doni.
"Vina, Don."
"Vina kenapa?"
"Dia memutuskanku tanpa sebab-akibat."
"Lah terus, apa masalahnya, kan masih ada Lisa dan Putri." Doni menyeringai.
"Vina beda Don. Dia tidak seperti Lisa dan Putri. Lagipula, si anak tomboy Putri, sudah ku putuskan dua hari yang lalu."
"Apa? Kau memutuskan Putri begitu saja? Gila lo ya." Doni geleng-geleng.
Percakapan kami terhenti, saat Pak Muhid, seorang guru fisika sekaligus wali kelas—datang. Tapi kali ini dia tidak datang sendirian, melainkan bersama satu murid baru.
"Selamat pagi, anak-anak." seru Pak Muhid.
"Pagi Pak..," jawab murid kompak.
"Ada anak baru di kelas kita, mohon kerjasamanya untuk membantu dia mengejar pelajaran yang tertinggal," ujar Pak Muhid memberitahukan kepada semua murid.
Seorang gadis yang susah jika tidak menyebut dirinya cantik. Semua mata anak laki-laki didalam kelas tertuju padanya, bahkan Doni, teman sebangkuku, yang biasanya anti dengan wanita, kali ini dia begitu terpesona. Bagiku sendiri, tak mempedulikan, aku fokus menyelesaikan masalah dengan Vina.
"Hey, Hanafi, cantik sekali dia." Doni menyikut lenganku. "Lo gak mau lihat?" Doni kembali menggoda.
"Tidak, aku tidak tertarik."
"Lo yakin? Kalau begitu, dia jadi target gue ah." Doni bersemangat.
"Ayo perkenalkan dirimu." Pak Muhid menyuruhnya.
Gadis itu berdiri mantap di depan kelas, menatap seluruh murid.
"Perkenalkan, namaku Dinda Aulia Rahma. Panggil saja Rahma." Dia tersenyum saat menutup kalimat. Senyum yang manis, ditambah lesung pipi yang menggoda, membuat kelas sedikit gaduh.
"Halo.. Rahma." Ketua kelas menggoda. Rahma mengangguk pelan, melempar senyum lagi.
"Kamu duduk di sebelah dia ya." Pak Muhid menunjuk ke bangku Tobi, seorang murid culun yang duduk sendirian di tengah.
Doni tiba-tiba mengangkat tangan, "Tunggu Pak, saya keberatan kalau kayak gini."
"Loh, keberatan kenapa toh?" Pak Muhid melonggok.
"Jelas keberatanlah, seharusnya, murid baru itu duduk di bangkuku." Doni memasang wajah sebal.
Pak Muhid memotong, "kan sudah ada Hanafi, gimana sih kamu."
"Mending Hanafi saja yang duduk disebelah Tobi, Pak. Cocok mereka berdua." Semua murid ikut tertawa mendengar banyolan Doni. Aku menyikut lengannya, dan memicingkan mata ke arahnya.
"Diam!" Pak Muhid menjatuhkan penggaris kayu besarnya ke papan tulis, sekejap menghentikan keramaian yang terjadi di dalam kelas. Adalah Doni, Biang keladinya.
"Keluarkan buku fisika, kerjakan soal nomor satu sampai lima belas." Pak Muhid memberikan soal, semua murid ber-ah sebal.
Di sela waktu, Doni selalu mencuri-curi pandang ke arah Rahma. Kadang senyam-senyum sendiri, kayak orang stres yang baru kabur dari rumah sakit gila.
***
Tanpa terasa, pelajaran pertama di hari itu sudah selesai. Dua jam yang terasa singkat. Aku memutuskan untuk tidur sejenak, sebelum guru biologi datang. Doni terlihat masih sumringah, senyam-senyum sendiri.
Tiba-tiba, sebuah pulpen melayang ke kepalaku. Aku terkejut bukan main, terbangun dari mimpi indahku. Saat melihat sekitar, semua murid sudah tertawa menyaksikanku, bagai melihat monyet bodoh sedang beraksi.
"Hanafi! Kalau kamu mau tidur, pulang saja sana!" seru Bu Fani galak.
"Maaf, Bu." Aku merapikan rambut yang berantak, menyeka mata, mengkerdip berkali-kali.
"Mana tugasmu yang kemarin?"
Aku segera membuka tas, dan mengambil buku tugas biologi. Lega rasanya, saat mengetahui kalau buku tugas sudah ku bawa dan ku kerjakan dengan rapi. Yah, walau dapat bantuan dari Lisa, kekasih keduaku.
"Hanafi, lain kali jangan di ulangi lagi, tidur di dalam kelas." Bu Fani kembali memperingatkanku. Ku tangkap beberapa murid ada yang menahan tawa, menutup mulutnya dengan tangan.
"Baik Bu." Aku tersenyum, balik badan, kembali duduk di bangku paling pojok. Ciri khas anak bandel.
Jam pelajaran selesai, kini jam istirahat tiba. Aku lekas keluar dari dalam kelas, menuju kelas sebelah—yang kebetulan kelas Vina. Tapi dia tidak ada di kelas. Kata temannya, dia pergi ke kantin untuk makan. Tanpa pikir panjang, aku bergegas lari ke kantin. Tapi sesampainya disana, hatiku hancur berkeping-keping. Seorang Vina yang ku kenal baik, ternyata mendua dengan kakak kelas. Mereka berdua sedang bermesraan sembari manikmati semangkuk bakso dan menyisipkan kata-kata cinta penuh gombal.
Aku lekas menarik tangan Vina, menyeretnya ke depan kantin. Sedangkan, laki-laki yang mungkin kekasih barunya itu, marah kepadaku, mengancamku dengan kata-kata kasarnya.
"Hey, jangan kasar sama wanita." Dia menangkis tanganku.
"Eh, lo gak usah ikut campur urusan ini." Aku mengacungkan jari terlunjuk ke wajahnya, sembari melotot.
"Eh, kau anak kelas dua, berani-beraninya kau menantang kakak kelas." Dia mendorongku hingga jatuh.
"Brengsek kau!" Aku bangkit, lantas mengayunkan kepalan tanganku, tepat ke wajahnya.
Brakkk!!
Dia terjatuh, tersungkur ke meja kantin dan menjatuhkan sebotol kecap penuh. Dia lekas bangkit, melompat sembari melepaskan pukulan keras ke bibirku.
Drappp!
Aku tersungkur. Perlahan darah mulai menetes, membasahi bibirku. Sebelum adu jotos itu berlanjut, Vina berteriak lantang memutuskanku, "Aku minta putus! Kamu sudah menduakanku dengan Lisa!" membuat seisi kantin mendengar keributan yang sedang terjadi. Sepertinya pemilik kantin akan marah besar padaku, akibat memecahkan botol kecap baru yang terbuat dari kaca.
"Lisa siapa? Aku tidak kenal dia?" Aku memastikan, mengusap darah di hidung, mencoba berdiri.
"Oh, jadi gini ya, kamu tidak kenal aku lagi, hah." Lisa tiba-tiba muncul dari belakang, membuat suasana menjadi kacau.
"Aarrrghhhh..!!" Aku segera pergi meninggalkan mereka, malu sekali hari itu. Seorang playboy kelas kakap, mendapat pukulan telak pagi itu. Setelah kuputuskan meninggalkan Putri, kini Vina ikut-ikutan, ditambah lagi Lisa yang memutuskanku di hadapan murid-murid kelas lain. Itu adalah momen ter-kampret sepanjang aku hidup.
BERSAMBUNG
Diubah oleh adie.scottlang 16-09-2019 13:52
![anasabila](https://s.kaskus.id/user/avatar/2016/06/30/avatar8914126_40.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
anasabila memberi reputasi
1
999
Kutip
1
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Urutkan
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya