storyharibawaAvatar border
TS
storyharibawa
Mengapa Saya Menulis Sampai Detik Ini?
Kehidupan ini membuat saya nyaris putus asa. Ya, saya terus mencoba bangkit. Setelah lulus SMA, saya mengambil pendidikan informal di Yogyakarta karena bapak tak sanggup mengirim saya ke universitas. Prestasi akademik saya juga tak menggembirakan. Itu sebabnya, pendidikan keterampilan kerja adalah pilihan terbaik.

Saya belajar bagaimana menjadi pelayan yang baik, menyambut tamu dengan ucapan ‘selamat datang’, ‘selamat pagi’, ‘selamat malam’, ‘bagaimana kabar Anda hari ini?’ lalu menuntun mereka ke meja makan. Setiap saat saya harus tersenyum seperti kena struk, dan jangan sampai hilang.

Singkat cerita, setelah lulus kursus saya bekerja sebagai pelayan restauran di salah satu armada kapal perusahaan Singapura.

Kemudian, awal tahun 2010 saya memutuskan resign. Saya memilih mengadu nasib di Jakarta dan mendapatkan pekerjaan baru sebagai staff cctv di sebuah perusahaan franchise. Karir saya memang bisa dikatakan kurang cemerlang. Gaji bulanan hanya cukup membayar kost dan makan sehari-hari.

Pada saat itu, saya berusia 23 tahun. Hobi membaca. Kebetulan tempat kerja saya dekat dengan toko buku. Pada saat jam istirahat makan siang, terkadang saya menyempatkan diri mampir ke toko buku. Yah, meski gaji pas-pasan, tiap bulan saya menyisihkan sedikit untuk membeli buku. Dari sinilah awal mula saya tertarik menulis dan tiba-tiba bermimpi menjadi penulis besar.

Karena lebih suka membaca novel, saya berpikir menulis novel akan sangat menyenangkan. Maka, pada bulan berikutnya saya merencanakan menghabiskan gaji untuk membeli perangkat komputer. Masalah bayar kost dan uang makan saya pikirkan belakangan.

Benar saja, pada awal bulan akhirnya saya mendapatkan seperangkat komputer butut seharga 700 ribu dari sebuah toko elektronik bekas di daerah Binus. Komputer itu saya letakan di kamar kost.

Setiap pulang bekerja, mulailah saya menulis. Pada saat itulah saya tahu bahwa menulis novel tidaklah semudah yang dibayangkan. Beberapa kali saya mengalami jalan buntu. Ide yang tadinya mengalir seperti air mengalir, tiba-tiba mampet. Saya berpikir, mungkin lebih baik menulis cerita yang baru.

Begitulah awal proses saya menulis. Menulis dari cerita satu ke cerita yang lain. Alhasil, tidak ada satu pun naskah terselesaikan dan saya mulai frustasi.

Akhirnya, setelah sekian puluh kali mencoba menyusun draft novel, mencari berbagai referensi mengenai teknik menulis, lalu berkonsultasi dengan beberapa penulis, jadilah novel pertama saya.

Tahu bagaimana rasanya menyelesaikan novel pertama? Rasanya saya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Percaya tidak percaya, saya sampai menangis haru.

Baiklah, novel sudah kelar. Itu artinya, sebentar lagi saya menerbitkan buku. Menjadi terkenal. Terima royalti. Dan, bisa jadi saya mendadak kaya raya. Itulah yang ada di benak pikiran saya pada saat itu. Maklum, saya bukan orang yang banyak makan garam di dunia literasi. Di sisi lain, saya tergolong manusia seperti katak dalam tempurung.

Pada hari berikutnya, terkirimlah naskah novel pertama saya ke alamat surel sebuah penerbit. Sejak saat itu perhatian saya pun tersita untuk memeriksa surel masuk. Okay, baru 3 minggu. Mungkin minggu depan saya akan mendapat balasan dari penerbit, begitu pikir saya.

Setiap malam saya buka isi surel. Tidak ada balasan. Hanya ada pesan spam yang masuk dan tidak pernah saya harapkan, dan itu membuat saya kesal. Setiap hari saya seperti cacing kepanasan, gelisah menanti kabar. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, harapan saya mulai pudar. Gairah menjadi penulis tiba-tiba saja drop, seperti ponsel kehabisan baterai. Mulailah saya frustasi lagi.

Pada suatu pagi, saya mendapat pesan melalui media sosial. Pesan itu berisi seperti ini:
Andre, kenapa kamu nggak coba menerbitkan indie saja? Atau sekalian self publish. Ya, itung-itung buat pengalaman. Siapa tahu dari pengalaman ini, kamu akan mendapat banyak pengajaran.

Ya, sebelumnya saya curhat pada salah seorang teman penulis, kenalan saya di dunia maya. Saya pikir, kata-kata teman saya itu ada benarnya juga. Menerbitkan sendiri, why not? Maka, mulailah saya mencari informasi mengenai penerbit indie di internet.

Sejak hari itu, kehidupan saya kembali bergairah. Saya seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Tidak hanya menulis, setiap hari saya mulai belajar mendesain sampul buku, dan melayout buku. Saya berencana mengerjakannya sendiri setelah tahu menerbitkan buku indie butuh biaya yang bagi saya tidak sedikit. Dengan mengerjakan desain sampul dan layout buku sendiri, mungkin akan meringankan biaya yang harus saya keluarkan.

Alhasil, motivasi menulis pun berubah. Saya tidak berpikir lagi bahwa menulis akan membuat saya kaya. Namun, dengan menulis saya menemukan dunia baru, semangat baru, dan harapan-harapan baru. Dengan menulis, saya menemukan jati diri saya yang sebenarnya.

Proses menulis saya cukup panjang dan tentu saja mengalami pasang surutnya semangat. Sebab itulah, awal 2012 saya melamar pekerjaan baru lagi. Puji Tuhan, sang Dewi Fortuna rupanya sedang berpihak pada saya pada saat itu. Saya diterima sebagai kru di salah satu perusahaan kapal pesiar Amerika.

Tiga tahun saya bekerja di perusahaan tersebut. Tahukah hal terbesar apa yang saya dapatkan? Uang berlimpah? Bukan. Tentu saya bukan itu. Namun pengalaman luar biasa dan tak terlupakan. Salah satu kenangan itu saya tuangkan melalui tulisan dan inilah hal terbesar yang pernah saya lakukan semasa hidup; menulis sebuah kisah.

Terbitnya novel "Cruise to Alaska" menjadi suplemen tersendiri bagi saya untuk terus menulis hingga detik ini. Terima kasih banyak buat semuanya yang bersedia meluangkan waktu membacanya.



Judul: Cruise to Alaska
Penulis: Andre Haribawa
Penerbit: Bhuana Sastra
260 halaman
BLURB
I
Begini kalau jomblo, aku belum pernah patah hati, tapi
MEMENDAM PERASAAN SUDAH TERAMAT SERING!
-Yudis-

***
Yudistira ingin membangun kembali rumah orangtua di desa yang terkena gempa bumi. Demi mewujudkan mimpinya, pria yang akrab dipanggil Yudis ini melamar pekerjaan sebagai pelayan di kapal pesiar. Yudis diterima dan berangkat ke San Francisco.

Akan tetapi, bekerja di kapal pesiar ternyata tidak seperti yang dibayangkan banyak orang. Meskipun begitu, ketika dia sakit, dia memilih untuk bertahan dan memohon dikembalikan ke kapal. Dia tidak ingin pulang sebelum berhasil mewujudkan cita-citanya: membangun kembali rumah orangtuanya. (Tersedia di toko buku Gramedia dan Togamas)
Diubah oleh storyharibawa 14-09-2019 12:53
Gueitusetia0101Avatar border
doctorkelinciAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan 3 lainnya memberi reputasi
4
791
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.