Sempat santer menjadi isu yang kian berkelindan, pada akhirnya Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan Ibu Kota negara. Daerah Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kecamatan Sepaku Semoi Kabupaten Penajam Paser Utara, selanjutnya dipilih untuk menggantikan Jakarta sebagai calon Ibu Kota yang baru. Sontak, paska pengumuman tersebut, beragam opini masyarakat mencuat sebagai respons terhadap rencana pemindahan Ibu Kota.

Bagi mereka yang tidak setuju, salah satu alasannya, bahwa rencana pemerintah itu diyakini hanya menghambur-hamburkan uang. Bayangkan saja, ratusan triliunan dana diprediksi akan habis demi ambisi memindahkan Ibu Kota. Padahal dengan uang sebesar itu, akan jauh lebih bermanfaat bila digunakan untuk membantu rakyat yang masih membutuhkan. Dalam bahasa sederhananya, belum ada kondisi urgentyang mengharuskan perpindahan ini, ditilik dari sudut pandang apapun. Termasuk pertimbangan pertumbuhan ekonomi secara makro maupun mikro yang belum bergeliat menuju grafik positif dikancah nasional. Belum lagi siklus ekonomi global juga sedang mengalami resesi.

Walah, pokoknya ada aja alasan kalau emang nggak suka. Serupa alasan perempuan menolak jika ditembak sama kamu. Iya, kamuh...

Sedangkan bagi yang setuju, berkebalikan dengan yang tidak setuju, beranggapan bahwa perpindahan Ibu Kota dari Jakarta ke tempat yang baru, akan sedikit mengurangi beban Jakarta itu sendiri sebagai pusatnya pusat. Jakarta selama ini menjadi tempat paling sentral. Kota ini juga harus menanggung status sebagai pusat pemerintahan, pusat layanan bisnis, termasuk jasa.

Oleh karenanya, menimbang dari segala aspek, perpindahan Ibu Kota menjadi syarat mutlak supaya pemerataan pembangunan di segenap nusantara tidak sekedar blue printatau hanya wacana tekstual. Ia wajib direalisasikan. Meskipun korelasi antara pemerataan pembangunan dengan pindahnya Ibu Kota masih dalam ranah abu-abu.

Belum lagi jika kita mendengar pendapat dari para pakar yang pernah menyatakan tingkat penurunan tanah di Jakarta sudah lumayan parah. Dipertegas pula oleh indera penerawangan dari berbagai ahli nujum yang memprediksi bahwa kota yang dulu bernama Batavia ini, akan segera tenggelam. Bukan tenggelam dalam lautan asmara, tapi tenggelam sebenar-benarnya tenggelam. Lalu bagaimana dengan nasib personil JKT48 jika benar kota ini tenggelam?

Dalam catatan sejarah, Ibu Kota Republik Indonesia pernah mengalami beberapa kali proses perpindahan. Jangan bayangkan pindahnya Ibu Kota ke kota lain seperti kamu yang pindah ke lain hati ya? Situasinya berbeda.

Tertulis, pusat pemerintahan pernah berpindah dari Jakarta ke kota yang terkenal romantis, yakni Yogyakarta. Kondisi ini didasarkan karena Jakarta yang dikuasai kembali oleh Belanda selepas deklarasi kemerdekaan Indonesia. Atas dasar berbagai pertimbangan, Yogyakarta diputuskan menjadi Ibu Kota pemerintah untuk sementara.

Tidak hanya Yogyakarta, Bukittinggi, Sumatera Barat, kota yang terkenal dengan masakan gulai dan rendangnya yang aduhai ini pun, pernah menjadi Ibu Kota darurat karena Yogyakarta tak lepas dari penguasaan Belanda juga setelahnya.

Oleh karena itu, berdasarkan jejak sejarah pada masa silam, perpindahan Ibu Kota di negara kita tercinta tidak hanya sekali ini terjadi. Meski pada akhirnya ke Jakarta juga Ibu Kota kembali. Seperti lirik lagu dari grup musik lawas idola bapak saya, Koes Plus.

Negara yang memindahkan Ibu Kotanya, tidak hanya terjadi di negara kita. Beberapa negara di dunia pun pernah mengalaminya. Sebut saja Brasil, negara penghasil maestro sepakbola sekelas Romario, Dida, Cafu, Ronaldinho kembaran almarhum Cak Ronaldikin dan kawan-kawan. Dari kota Rio de Janeiro, Brasil memindahkan Ibu Kotanya yang baru ke Brasilia. Jika ada buku yang masih menyebut Ibu Kota Brasil adalah Rio de Janeiro, sudah dipastikan itu adalah buku lama yang belum di-update.

Selain Brasil, negara Kazakhstan juga pernah memindahkan Ibu Kota negerinya dari Almaty ke Astana. Melangkah ke negara tetangga, Myanmar tercatat pernah pula memindah pusat pemerintahannya dari Yangoon ke Naypyidaw.

Dengan demikian, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang berniat untuk memindahkan pusat pemerintahan atau Ibu Kotanya. Negara lain pun banyak yang melakukannya dengan berbagai alasan serta pertimbangan.

Terlepas dari segala pro dan kontra terkait dengan pemindahan Ibu Kota, pemerintah Indonesia sepertinya telah serius dengan rencananya. Penunjukkan pulau Kalimantan sebagai pusat pemerintahan baru, diharapkan dapat menjadi jalan terciptanya pemerataan pembangunan untuk wilayah Indonesia bagian timur. Kita pasti mafhum, jika selama ini pembangunan seakan tersentral di pulau Jawa dan sekitarnya.

Proses pemindahan Ibu Kota, diharapkan juga mampu mengurangi beban kota Jakarta yang selama ini harus ditanggungnya. Dengan demikian, segala persoalan pelik yang ditanggung Jakarta, selain sosial ekonomi, juga demi mengurangi tingkat polusi udara yang kabarnya dalam tingkat yang sungguh terlalu.

Jadi, mari kita doakan pemindahan Ibu Kota yang baru nantinya berjalan dengan lancar, berguna bagi masyarakat sekitar pada khususnya, dan bagi segenap penduduk Indonesia pada umumnya. Dan semoga pula, segala rahmat Tuhan senantiasa tercurahkan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai penutup tulisan ini, harapan besar tersemat agar pemerintah belajar dari pengalaman sebelumnya. Sebab, dengan pindahnya Ibu Kota ke Kalimantan Timur, secara otomatis daerah ini akan menjadi magnet bagi pekerja di pelosok Indonesia demi mengadu nasib ke Ibu Kota. Semoga kejadian macet, polusi dan seabrek persoalan lainnya, tidak terulang di Ibu Kota yang baru.