Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

blackrosestAvatar border
TS
blackrosest
TEROR DI MALAM PERSAMI
TEROR DI MALAM PERSAMI


TEROR DI MALAM PERSAMI
Pict by Pinterest



TEROR DI MALAM PERSAMI


Aku pulang dengan perasaan dongkol setelah mendengar pengumuman di sekolah. Seluruh murid kelas tujuh diwajibkan mengikuti kegiatan Pramuka Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu). Sungguh tidak ada kegiatan yang paling kubenci selain berkemah. Itu adalah kegiatan konyol. Untuk apa menderita tidur di dalam tenda jika kita bisa lebih nyaman tidur di atas kasur sambil menonton TV? Namun, sayang sekali. Kegiatan ini wajib dan tidak ada toleransi sedikit pun. Kecuali untuk anak yang sedang dalam perawatan dokter.

Sekarang, di sinilah aku. Tengah sibuk mendirikan tenda bersama teman satu kelompok lainnya.

“Yud, dari tadi lo ngegerutu terus! Kapan kelarnya nih tenda?” Azmi mulai protes karena sedari tadi aku memang terus menggerutu.

“Tau lo, kayak kakek-kakek aja,” timpal Bara yang kemudian disambut tawa dari yang lainnya.

“Serah gue lah, mulut-mulut gue. Masih bagus gue mau bantuin. Nih, tinggal dikit lagi juga kelar.” Segera kukencangkan ikatan di ujung tenda, dan memastikan rumah baruku sudah benar-benar berdiri kuat.

Acara demi acara terus berlangsung dan aku mulai sedikit menikmatinya. Seperti makan siang bersama, itu sungguh mengasyikkan meski menunya sangat sederhana. Berbanding terbalik dengan apa yang biasa kulakukan di rumah. Hampir setiap hari makan sendirian, atau berdua dengan Bi Minah karena Ayah dan Ibu terlalu sibuk dengan bisnisnya dan baru pulang saat larut malam. Bahkan, waktu sarapan pun mereka seolah-olah dikejar waktu.

**

Kubaringkan tubuh di samping tenda, menatap hamparan langit yang penuh gemintang. Seindah ini kah malam? Yang selalu berlalu tanpa sedetik pun kunikmati kerlipnya. Secantik ini kah bulan? Yang keindahan cahayanya selalu kuabaikan. Setelah ini, mungkin akan kuluangkan waktu untuk lebih mengenal malam, menerima damai yang alam berikan. Itu lebih mengasyikkan daripada berkutat dengan games.

Ah, ternyata kegiatan Pramuka tak seburuk yang aku bayangkan. Hampir semua kegiatan dilakukan bergotong royong. Mereka mengajarkan arti kebersamaan, tanggung jawab, dan jiwa patriotisme. Hal yang selama ini belum pernah aku miliki. Aku bahkan lebih suka menyendiri, sebagian banyak waktu hanya berkutat dengan film dan games. Akan tetapi, di sini aku bisa tertawa bebas bersama teman-teman yang lain. Suka dan duka ditanggung bersama. Semua terasa seperti saudara.

Malam terus merangkak, kulihat jam yang melingkar di pergelangan. Pukul 22.15 WIB, mataku susah untuk diajak kompromi. Sebetulnya sudah lelah dan ngantuk, tetapi mungkin karena ini pengalaman pertama tidur di luar rumah hingga menimbulkan sedikit kegelisahan. Ditambah serangan nyamuk yang sedari tadi tak mau menyerah meski sudah kuolesi lotion anti nyamuk di sekitar kulit yang terbuka.

Sekadar menghilangkan pengap, iseng aku keluar dan jalan-jalan di sekitar perkemahan.

Tiba-tiba, di antara rimbunan pohon pinus, kulihat ada bayangan seseorang seperti tengah mengendap-endap. Lumayan jauh di luar batas area perkemahan. Penasaran karena gerakannya begitu mencurigakan. Kuberanikan diri mulai mengamati pergerakannya dengan melangkah perlahan mendekati sosok itu. Namun, tepukan tangan pada pundak sebelah kiri sontak mengagetkanku.

“Yudi! Sedang apa kamu di sini? Bukankah sudah kami bilang, dilarang keluar dari zona perkemahan!” Ternyata, Roman–kakak kelasku– tengah melakukan patroli.

“Maaf, Kak. Saya gak bisa tidur, jadi jalan-jalan deh,” jawabku. Kalaupun kuceritakan perihal sosok tadi, dia pasti tak akan percaya.

“Ya sudah, sana kembali ke tenda dan tidur! Besok kita masih banyak kegiatan.”

Di dalam tenda pikiranku terus melayang memikirkan sosok siapa yang kulihat tadi, dan untuk apa dia mengendap-endap seperti seorang pencuri? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepala.

Udara malam semakin dingin, menembus selimut tipis yang menutupi tubuh. Kupaksakan menutup mata, berharap bisa segera terlelap.

Srek ... srek ... srek ....

Dalam keheningan malam, tiba-tiba terdengar suara aneh dari luar tenda, semakin lama kian jelas seolah-olah sedang mendekat. Itu seperti suara langkah yang diseret, sesekali terdengar bunyi ranting patah terinjak. Sepertinya ada seseorang yang mendekati tenda kami. Kupikir mungkin itu kakak kelas yang sedang patroli, mengawasi area perkemahan. Jadi, dengan tenang aku segera keluar dan memastikannya. Baru beberapa langkah meninggalkan tenda, dari arah belakang seseorang membekap mulutku dan sempat tercium bau menyengat sebelum semuanya gelap.

“Heh, bangun anak muda!” Tepukan di pipi dan cipratan air perlahan mulai mengembalikan kesadaran yang sempat hilang. Meski mata begitu berat terbuka, tapi suara yang terdengar serak membuatku sadar jika aku tengah bersama orang asing. Bukan hanya itu, ternyata kondisi kaki dan tanganku pun dalam keadaan terikat.

‘Ini bahaya! Di mana aku?’

Mataku tak henti memindai sekeliling. Tempat pengap berdinding bambu, dengan atap jerami dalam keadaan kumuh serta cahaya dari lampu minyak yang temaram semakin menambah angker suasana. Semilir angin malam berembus, membawa aroma busuk yang menusuk penciumanku. Kalau saja mulutku tak tertutup lakban, mungkin semua isi perut sudah terkuras keluar. Entah, bau busuk apa itu, yang jelas sumbernya pasti tidak jauh dari gubuk ini.

“Sudah lama aku tak menikmati makanan lezat. Apalagi berasal dari anak muda sepertimu.” Ternyata suara serak itu berasal dari tubuh tinggi tegap berkulit legam.

‘Ya Tuhan, sepertinya dialah sosok yang kulihat mengendap-endap ke area perkemahan. Apa yang dia inginkan?’

Manusia itu menyeringai, seolah-olah bisa membaca pikiranku. Ia lantas mengambil sebuah kapak kemudian berlalu. Setiap langkahnya selalu menimbulkan suara, itu karena kaki kirinya yang cacat sehingga ia harus menyeretnya saat berjalan.

Selang dua menit, manusia hitam itu datang dengan menenteng sesuatu di tangannya. Kedua mataku melotot, lalu tubuh gemetar ketakutan saat kulihat ternyata yang ia bawa adalah sepotong kaki manusia berukuran anak-anak. Bau busuk tercium semakin menyengat, sesaat setelah si Hitam menenteng potongan kaki mungil itu. Seumur hidup, baru kali inu menyaksikan adegan yang sungguh menjijikkan. Bagaimana tidak, dari potongan kaki yang setengah busuk itu keluar puluhan belatung.

“Ini makanan terakhirku, selanjutnya akan kusayat daging dari tubuhmu itu!” Sambil berkata demikian, kapak ditangannya melayang mencincang kaki yang tadi ia bawa menjadi beberapa bagian. Kuperhatikan raut wajahnya, sama sekali tak terlihat raut iba layaknya manusia. Ekspresinya dingin menyeramkan. Bahkan ia sama sekali tidak terganggu dengan adanya belatung-belatung yang sudah berceceran.

‘Gila ... Ini gila!’ Air mata mulai deras mengalir dengan degup jantung yang berdetak semakin kencang.

Potongan yang ia cincang tadi kemudian dibakar, bau asapnya membuat perutku semakin bergolak minta dikeluarkan isinya. Terlebih melihatnya mulai menyantap dengan sangat rakus, seolah-olah itu menjadi makanan terlezat.

Manusia kanibal itu lantas mendekatiku, dengan kapak dan tangan masih dipenuhi darah berbau bangkai. Buliran keringat menetes dari kepalanya yang tak ditumbuhi rambut sehelai pun. Ia menyeringai, menunjukan jejeran gigi berwarna hitam. Sungguh menjijikkan. Sesekali air liur menetes, kedua tangan ditepuk-tepukkan ke perutnya yang membusung. Dia terlihat masih kelaparan. Sepotong kaki kecil tadi tak berarti sama sekali untuk perut sebesar itu. Ini pertanda buruk untukku.

Ia lantas meraih seutas tali dengan ukuran agak besar yang tergeletak di sebelahku, lalu jemari gendutnya itu mulai membuat ikatan di sebuah tiang. Kemudian, ia menggantung tubuhku di sana.

Sekarang, aku yang berkeringat dingin. Membayangkan siksa mengerikan dari manusia di hadapanku itu. Sedangkan semua usaha untuk lepas darinya berakhir sia-sia.

‘Tuhan, tolong aku.’

Rapalan do'a adalah usaha terakhirku. Sekelebat bayangan Ayah dan Ibu terus bergantian menambah deras air mata yang tumpah.

Mungkin, ini lah akhir dari hidupku saat tiba-tiba sebuah kapak besar melayang tepat ke arah dadaku.

Brash!

“Ah, sial! Ternyata hanya mimpi.” Aku langsung terduduk, merasa kejadian tadi begitu nyata. Bahkan keringatku masih mengucur deras hingga menembus jaket yang kukenakan. Pun dengan pipi yang basah kuyup. Jantung di balik dadaku pun masih berdegup tak keruan. Segera kutenggak air mineral agar bisa membuatku sedikit rileks. Namun, sesaat aku bergeming mendengar suara yang tak asing.

Srek ... Srek ... Srek ....

Juga terdengar bunyi ranting patah yang terinjak.

Tidak! Pasti aku masih bermimpi!

-End-

Rose
29.08.19
Diubah oleh blackrosest 29-08-2019 07:31
DeYudi69Avatar border
tuffinksAvatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan 3 lainnya memberi reputasi
4
630
5
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.