rykenpbAvatar border
TS
rykenpb
Anniversary Di Hutan Palasit





Pada sebuah telaga ....

Langit senjaΒ  mulai temaram. Wajah pucatnya semakin tenggelam di antara rupa senja yang sesaat lagi akan dewasa dan menua pada hari ini. Mata yang terbiasa melukis langit tentang pelangi di lembah sunyi, tentang ribuan tangan yang berontak mencakar tirai, tentang prinsip-prinsip; kalah oleh perhentian tanpa persetujuan harus digagalkan satu suara yang sudah sangat dihapal olehnya.

"Asela!" Tanpa menoleh gadis itu masih membisu melanjutkan lukisannya yang buyar.

"Berhentilah melukis kekosongan!" ucap sosok itu lagi.

Perkataan itu menghentikan gadis itu melukis pikirannya. Sejenak batin itu mencari kebenaran.

"Benarkah itu hanya kekosongan?" Rona wajah datar itu masih saja tak menoleh.

Entah telah sekian kali pertanyaan itu dilontarkan. Sekian itu pula hatinya tak mempercayai bahwa ia menanyakan hal sama berkali-kali. Karena ia selalu percaya di dalam kekosongan ada makna, ruang, jiwa terbelenggu yang meminta keadilan.

"Asela. Kita telah sekian kali membahas ini. Apakah itu belum cukup memberimu kesadaran bahwa kita hampa?"

"Kita tak hampa Rom, kita hanya sunyi yang kedinginan," tegasnya.

"Baiklah! Mungkin kamu butuh api malam ini. Lihatlah pucuk malam mulai mekar. Apa kamu ingin melewatkan begitu saja kenangan kita. Ia menanti kita, Sayang!"

"Tentu saja aku merindukannya. Kenangan indah kita sekaligus ...."

Rom begitu memahami dan ia memilih melerai kesedihan yang mulai merinai. "Apa kamu sudah siap, Sayang?" Masih dengan kelembutan sama yang menjadi ciri khasnya, "bumi perkemahan menunggu kita!"

Satu anggukan mengakhiri jejak keduanya di keremangan telaga.


🌳🌳🌳🌳🌳


"Mengapa hutan ini yang dipilih, bukankah hutan ini santer kabar mengerikan?" Asela bergidik saat mengeluarkan kata-kata itu.

"Tak berani? Kamu 'kan seorang pramuka! Jika kakak pembinanya lemah begini bagaimana bisa mengarahkan para anggota sangga!"

Meskipun seorang pembina tapi 'kan tetap perempuan dan aku juga tak seberani yang lain. Rutuknya dalam hati. Dan satu kebiasaannya yang tak pernah hilang adalah ....

"Tuh bibir jangan dimanyungin napa?" Dan, "ini kuku jari jangan digigit, kebiasaanmu itu kapan lepasnya?!" Romi melepas jari yang bertengger di bibir kekasihnya itu.

Hal itu memang sesuatu yang refleks Asela lakukan apabila ada yang menegur dirinya.

"Kenapa kalian selalu berbarengan datangnya?" Satu pertanyaan bersuara bariton mengagetkan keduanya. Tatapannya penuh selidik.

"Kami sedaerah," tegas Romi.

"Sedaerah? Sejak kapan? Bukankah Asela dari kota Hujan sedangkan kamu Kabupaten Rindang Timur?" Alis tebal Bondan yang bertaut kian menjadikan kulit wajahnya makin menghitam dan rautnya, batu pun bisa pecah bila ditatap olehnya.

"Eh,Β  kiii ...."

"Sejak kemarin. Aku baru saja pindah." Romi sengaja memotong ucapan Asela.

Sepertinya Asela paham bila ia harus diam. Mengingat karakter Bondan yang keras. Dan terlebih lagi Bondan adalah mantannya.

"Apa kalian berdua pacaran?" Bondan mulai curiga.

"Bon, kegiatan kita apa ada tambahan?" Romi berusaha mencairkan suasana. Setidaknya bisa menghindarkan Asela dari sesuatu yang tak menyenangkan.

"Tidak ada. Tadi hanya beberapa laporan dana."

"Oke. Sel, kita harus memeriksa situasi. Kami duluan, Bon!" serunya pada Bondan yang masih menampakkan wajah kecut.


🌹🌹🌹🌹🌹


"Eh, ada kakak pembina yang cantik. Met malam kakak," sapa slengean dari salah satu anggota kelompok.

"Selama ini kamu di mana bila ada pelajaran tata krama? Kamu kelompok mana?" Ketegasan Romi menciutkan nyali salah satu anggota tersebut.

"Kelompok Rajawali, Kak," ucapnya takut-takut.

"Gun, sini!" panggilnya pada salah satu pradana.

"Siap, Kak!"

"Beri pengarahan padanya!" Sambil menunjuk peserta pramuka di depannya, "siapa namamu?"

"Doni, Kak." Ia yang kerapkali asal nyablak ciut juga nyalinya menghadapi kakak pembina satu ini.

"Oh, iya. Gun, tatar anak ini!"

"Apa perlu kena hukuman?" tanya Gunawan penuh senyum.

"Itu terserah dirimulah, Kakak Pradana."

Sepeninggal Asela dan Romi, peserta itu dihukum push up.
Asela menoleh ke belakang. "Apa itu tak terlalu keras?"

"Terlalu keras buat kekasihku yang diganggu itu pantas. Apa perlu kutambahi hukuman lebih berat lagi?" tanyanya dengan ekor mata sedikit menggoda.

"Kasian anak orang, Yang!"

"Ah, kamu emang berhati lembut," ucap Romi dengan mengacak-acak poni asimetris kekasihnya itu, "tapi kok kamu bisa jadi kekasih Bondan yang ... garang itu?!" lanjutnya tertawa.

"Ish, satirnya kumat deh." Sambil membenahi rambut yang kena acakan tadi. Topi yang sejak tadi dipegang kini dikenakan pula.


πŸ’™πŸ’›πŸ’™πŸ’›πŸ’™


Terlihat Bondan sedang sibuk mengatur ini-itu. Beberapa ketua ambalan memerintahkan ketua sangga mengumpulkan anggota kelompok untuk acara malam puncak. Sebagian lagi mengumpulkan kayu bakar untuk perapian api unggun. Seorang kerani terlihatΒ  berdiskusi dengan bendahara. Sebut saja Anggi dan Denar.

"Disampaikan kepada kakak-kakak pembina serta pradana-pradana dan jajarannya merapat ke kemah utama!" Suara bariton Bondan menggema di antara kesunyian malam padaΒ  mikrofon toa.

"Ada apa lagi si Bondan itu ngumpulin kita. Bukankah semua telah dibahas sebelumnya?" Suara protes Edi akhirnya terdengar juga.

Selama ini ia salah satu pembina yang terkesan cuek atas segala sikap bossy dan perintah Bondan.

Semua yang mendengar serempak menoleh ke arah suara. Yang dipandang hanya mengangkut bahu. Lalu berjalan ke arah Romi dan Asela dan berbisik, "Kalian terlihat serasi sekali," godanya dengan mengedip ke arah Romi.

Romi hanya tersenyum dan meninju bahunya.


πŸ’šπŸ’šπŸ’•πŸ’šπŸ’š


Di sebuah kemah utama rapat sedang berlangsung.

"Selamat malam semua." Bondan memulai rapat.

"Oke. Malam ini adalah malam terakhir kegiatan perkemahan ini. Dan kegiatan pengembaraan juga telah berakhir kemarin.

Berdasarkan rencana, kegiatan kita malam ini adalah malam puncak api unggun. Esoknya adalah hari kepulangan kita. Jadi, sebelum acara ini dimulai apa ada masukan di antara kalian?"

"Usul, Kak." Satu acungan dari Rindu. Salah seorang pradana termanis di perkemahan itu.

"Ya, silahkan!"

"Bagaimana bila kita mewajibkan seluruh peserta kemah untuk membuat laporan tentang perjalanan mereka dengan menceritakan kembali kisah pengembaraan mereka dalam bentuk cerpen atau puisi?"

"Wah! setujong eh setuju," seru Edi sambil cengengesan.

"Apa yang lain setuju?" tanyanya menyisir seisi ruangan yang diterangi lampu chargeran. Dan matanya terhenti pada sesuatu yang hampir saja membuat ia naik pitam. Namun, secepatnya ia coba redam. Di satu sudut ruangan terlihat Romi memencet mesra hidung dan merapikan rambut Asela.

"Setuju. Setujuu." Beberapa suara mengagetkan Bondan. Beberapa lainnya hanya mengacungkan jempol.

"Romi, Sela bagaimana dengan kalian?" tanya Bondan di antara deru napasnya.

"Kami berdua setuju-setuju aja!"

"Oke, sebelum rapat ditutup. Diharapkan kalian tetap mengawasi anggota agar tak ada yang melewati batas yang telah ditetapkan. Seperti yang kalian ketahui sebagian zona hutan ini berbahaya dan angker."

"Siap, Kak."


🌺🌺🌺🌺🌺




Suasana memerah dari api unggun terlihat memenuhi sisi perkemahan. Beberapa peserta memenuhi leher mereka dengan kalung dari tutup botol, bungkusan makanan juga gelas-gelas minum teh gelas sambil bernyanyi beberapa lagu setelah menyelesaikan beberapa permainan hiburan. Puncak lagu dari kegiatan malam kemah adalah senandung dari lagu "Telah tiba berpisah" sambil saling merangkul. Kesedihan merajai di antara mereka malam ini. Tapi tidak bagi Bondan. Kegelisahan dan amarah memenuhi jiwanya. Apalagi sejak acara permainan ia tak melihat Romi dan Asela.

"Kemana mereka?"

Ia menghampiri Deri, "Der, pegang kendali acara!" perintahnya.

"Mau kemana?"

"Ada urusan!"


πŸ’”πŸ’”πŸ’”πŸ’”πŸ’”


Mata Bondan tak melewati sesenti pun sisi perkemahan. Namun, sosok yang dicari tak kunjung tampak. Ia akhirnya mengambil keputusan keluar zona perkemahan.

Dan di bawah pohon yang menjulang tinggi ia melihat dua sosok bayangan tampak bermesraan. Hal itu membuat Bondan geram.

"Hei! Apa yang kalian berdua lakukan di sini?" teriak lantang mendengung di telinga Asela. Sekejap kemesraan itu buyar.

Romi bangkit dari duduknya dan membantu gadisnya berdiri.

"Oh, kamu Bondan."

"Asela. Punya hubungan apa kamu dengan Romi? Semesra itu! Dan ciuman itu ...?"

"Kenapa dengan ciuman itu, Bondan? Kami punya hak melakukannya."

"Hak katamu! Romi, Asela masih milikku. Aku belum memutuskannya."

"Kita telah putus, Bon. Dan itu sudah kuucapkan berkali-kali. Hanya kamu yang tak mau menerimanya, 'kan! Dan ciuman itu. Itu hadiah anniversary hari jadi kami. Kado istimewa dariku untuk Romi. Kekasihku."

"Oh, iya. Aku lupa. Kamu pasti iri. Dulu kamu meminta hal yang sama 'kan. Tapi tak sedikit pun aku berniat memberi ciuman pertamaku padamu. Sebab apa? Kamu arogan. Kamu tahunya mengatur hidupku dan itu semua membuatku muak!" cerca Asela meluapkan emosinya yang terpendam.

Bondan mendekati Asela. Seketika Romi menghalangi. Bondan makin geram. Bayangan mereka berciuman menambah didih darahnya. Dan sekejap sangkur di pinggang telah berpindah di jantung Romi.

"Romiii ... tidaaak!!" Asela shock melihat Romi terbujur bersimbah darah.

"Kamu itu iblis, Bondan. Pesakitan!"

Bondan menjambak rambut Asela dan menariknya ke belakang. Tapi Asela tak gentar sedikit pun meski ia kesakitan. Ia makin benci melihat tampang wajah di depannya.

"Coba katakan sekali lagi Aselaku sayang!" Sambil menjambak rambut Asela kuat-kuat yang membuatnya berseru kesakitan.

"Kaaamu ... pesakitan!" tantang Asela dengan tatapan mata menyala-nyala di bawah cahaya rembulan.

Bondan tersenyum sinis. Dan ....

"Ini bukti kalo aku benar-benar pesakitan karena kamu." Sangkur yang sama menggorok leher Asela,Β  "dan itu hadiah terindah dariku buat anniversary kalian."

Suara ngorok terdengar dari tebasan leher Asela sebelum jiwanya mengucap salam perpisahan pada bumi perkemahan di hutan itu.


πŸ’žπŸ’žπŸ’žπŸ’žπŸ’ž


2017, Bumi Perkemahan Berdarah.

Tulisan yang tertera di sebuah papan terpancang.

Kini di hadapan Asela dan Romi terdapat tiga kuburan. Sepasang kuburan di tahun sama yaitu tahun 2015 bertuliskan Asela Praca dan Romi Guntur. Kuburan ketiga tak jauh dari tempat keduanya dengan nisan bertuliskan Bondan Prima di tahun 2016.

"Apakah ini masih suatu kekosongan?"

"Ya, kita masihlah tubuh dan jiwa yang hampa. Karena kita tidak bisa tersentuh bahkan oleh diri kita sendiri," tukas Romi.

"Dan jiwa yang terbelenggu pada bumi perkemahan berdarah," pungkas gadis yang lehernya selalu meneteskan darah.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Diubah oleh rykenpb 28-08-2019 11:44
dieq41Avatar border
zafranramonAvatar border
Ikan.SeluangAvatar border
Ikan.Seluang dan 27 lainnya memberi reputasi
28
6K
133
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThreadβ€’41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
Β© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.