Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Anna471Avatar border
TS
Anna471
kejutan di Hari Spesial
Dua hari lagi ulang tahun pernikahanku dengan Mas Bimo. Sebenarnya sangat berharap mendapat kado spesial di anniversary yang kelima ini. Namun, aku gengsi jika harus mengatakan padanya. Meskipun dia akan menuruti segala yang kuinginkan. Juga senantiasa memberikan sebuah kejutan di hari yang sangat istimewa.

Pria yang menemani selama hampir lima tahun ini begitu menyayangiku. Apa pun yang kuminta pasti dituruti. Masih teringat dengan jelas empat tahun silam, ketika usia pernikahan kami yang kesatu. Aku telah mengecewakannya. Dia sudah menghias rumah dan menyiapkan candle light dinner dalam rangka menyambutku. Namun, aku malah pulang terlambat, karena memang sedang ada pekerjaan tambahan di kantor. Dia tidak marah, tapi raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. Pria berhidung mancung itu memang tidak pernah bisa marah pada istrinya ini.

Hal sama pun terjadi kala usia pernikahan yang kedua sampai keempat. Selalu gagal untuk merayakannya, lagi-lagi karena aku yang tidak bisa. Akhirnya, Mas Bimo melarangku bekerja, karena tidak bisa punya waktu banyak untuknya. Awalnya aku menolak, tapi karena didesak terus, akhirnya mengalah. Bukankah menyenangkan hati suami itu mendapat pahala?

Malam ini hawanya sangat dingin menusuk tulang. Aku duduk di teras, menunggu pria terkasih pulang. Sembari berselancar di dunia maya, menghilangkan rasa jenuh, bercanda dengan teman-teman di salah satu grup kepenulisan. Mereka sudah seperti keluarga.

Ketika sedang asyik membaca salah satu cerpen, tiba-tiba ponselku ada yang merebut. Aku pun berjingkat kaget.

“Mas Bimo? Sejak kapan pulang?” tanyaku sedikit bergumam.

“Sudah sejak satu tahun yang lalu!” Pria mata belo itu menatapku tajam.

Aku menunduk. Tak berani membalas tatapan pria berkulit kuning langsat itu. Aku merasa bersalah, karena terlalu asyik berselancar di dunia maya membuat tak sadar, jika suami sudah pulang.

Benar-benar lupa kalau Mas Bimo tak suka melihatku terlalu sering bermain ponsel. Padahal aku tidak sekadar bermain-main, tetapi belajar ilmu literasi. Namun, memang dasar pencemburu, setiap kali melihat istrinya menatap layar persegi pipih dikira sedang asyik dengan teman pria.

“Mas sudah sering bilang, ‘kan? Jangan bermain ponsel!” bentak Mas Bimo.

Suaranya sungguh Cumiakkan telinga, membuatku berjingkat. Mata tiba-tiba terasa perih dan panas, buliran bening meluncur satu per satu tanpa sadar. Aku langsung berlari menuju kamar.

“Rena! Rena! Berhenti, Mas belum selesai bicara!” teriak Mas Bimo.

Namun, aku tak memedulikan, terus saja berlari. Setiba di kamar langsung mengempaskan tubuh ke ranjang secara kasar. Suami aneh! Selalu marah tanpa sebab.

Kemudian, terdengar langkah mendekat. Aku memalingkan wajah. Mengusap air mata dengan kasar.

“Sayang, maafkan Mas. Bukan maksud mau marah-marah padamu.” Mas Bimo membelai rambutku dengan lembut.

Aku menepisnya. Semudah itukah mengucapkan kata maaf? Hati ini sudah telanjur kesal. Dongkol.

“Mas hanya nggak mau kamu berpaling. Mas sangat menyayangimu dan takut kehilangan.” Tangan kekar itu mengusap pipiku lembut.

Lagi-lagi aku menangkisnya.

“Halah gombal!” sentakku sambil mengerucutkan bibir.

“Ya Allah, Sayang. Mas nggak bohong, serius. Kalau nggak cinta mana mungkin menikahimu.” Mas Bimo menjawil ujung hidungku.

Sebenarnya aku tersanjung mendengar ucapan Mas Bimo. Namun, aku tetap tak acuh.

“Nggak usah ngerayu! Pasti karena ada apa-apa, kan?” Mataku menyelisik tajam wajah bersih Mas Bimo.

Terdengar Mas Bimo menghela napas panjang.

“Terserah mau percaya apa nggak. Sebentar lagi anniversary kita yang kelima. Mau merayakan di mana?” tanya pria jangkung itu dengan lembut.

Aku ingin pergi ke Pantai Kuta Bali. Akan tetapi, lidah terasa kelu, suara tercekat di kerongkongan. Malu jika dalam keadaan marah mengucapkan apa yang kuharapkan.

“Malah bengong. Gimana, mau liburan atau minta hadiah?” Mas Bimo menatapku dengan penuh cinta.

Hanya gelengan yang kuberi.

“Kenapa, Sayang?” Kedua manik hitam itu menyelisikku.

“Nggak apa-apa! Aku capek, mau tidur!” Aku menutup tubuh dengan selimut, lalu memejamkan mata dan membelakangi Mas Bimo.

Entah, aku tak bisa bersikap manis di depan Mas Bimo. Ada apa denganku? Padahal pria itu begitu tulus mencintaiku.

Terdengar Mas Bimo mengembuskan napas kasar. Lalu, mengusap kepalaku dengan lembut. Hati terenyuh diperlakukan seperti ini. Buliran bening pun dengan bebasnya keluar dari sudut mata, membasahi pipi ini.

“Aku sangat mencintai dan menyayangimu, Sayang. Jangan pernah meninggalkanku.” Embusan napas Mas Bimo menggelitik daun telingaku.

Aku tetap bergeming. Kemudian, terasa sesuatu yang kenyal menyentuh keningku, merenda kasih seakan tak ingin lepas membuat jiwa menggelora penuh asa.

Sedetik kemudian, terdengar Mas Bimo berzikir. Namun, tak lama akhirnya hening. Setelah memastikan dia telah terbang ke alam mimpi, aku menoleh untuk memandang wajah suami tersayang. Lalu, memutuskan untuk tidur. Sebab, dua jendela hati sudah tak kuasa menahan rasa untuk menutup hari.

💔

Aku mengerjap-ngerjap, silau. Cahaya matahari menyusup melalui jendela yang ditutupi tirai tipis. Aku melihat benda bulat yang menempel di dinding. Jarum sudah menunjuk jam tujuh pagi. Mas Bimo sudah tidak ada di ranjang.

Aku segera beringsut dari kasur. Melangkah ke dapur, Mas Bimo pun tidak ada. Ke mana dia? Kenapa tidak membangunkanku dan pamit? Tidak biasanya seperti ini.

Lalu, aku menemukan sebuah surat yang tergeletak di meja makan.

(Sayang, maaf tadi tidak membangunkanmu, karena kulihat sangat lelap. Nanti malam aku lembur. Jadi jangan tunggu Mas, ya. Jaga diri baik-baik. Besok Mas akan beri kamu kejutan spesial. Aku sayang kamu, selamanya.)

Aku mendesah pelan. Kenapa rasanya ada yang aneh dengan hatiku? Seperti ada yang hilang ketika tak mendengar suara Mas Bimo di pagi hari. Biasanya dia selalu membangunkan dan mengucap kata-kata manis untukku.

Seharian aku tanpa Mas Bimo. Tak ada telepon maupun chat darinya. Harusnya bahagia karena tidak ada yang mengganggu. Akan tetapi, kenapa terasa ada yang hilang? Baru sehari tanpa suami rasanya sudah seperti satu tahun saja.

Tenang Rena, ini hanya sehari. Besok pagi Mas Bimo pulang, dan pasti akan memberi kejutan di anniversary kelima ini.

Hari pun berjalan dengan cepat. Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Berganti dengan bulan yang mulai menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. Dia tampak tersenyum. Seolah menertawakanku yang kesepian tanpa Mas Bimo.

Aku mendesah pelan. Lara merundung menyesakkan dada, sungguh hanya kekasih pelipurnya.

Malam semakin larut, aku pun memejamkan mata untuk terbang ke alam mimpi. Berharap bisa mengobati rasa yang membara di dalam hati.

💔

Terdengar burung-burung berkicau merdu. Hari sudah pagi, cahaya matahari menerobos ke dalam kamar. Aku meraih benda persegi di nakas, terlihat notif WhatsApp dari Mas Bimo.

[Sayang, pagi ini aku pulang, siap-siap, ya, kita pergi ke suatu tempat. Love you.]

Bunga-bunga bertebaran di sekitar kepala ketika membaca pesan darinya, tapi aku tak membalasnya. Membiarkan begitu saja. Akan tetapi, aku langsung bersiap-siap. Merias diri secantik mungkin.

💔

Hari ini tepat enam tahun usia pernikahan kami. Aku merayakan sendiri tanpa Mas Bimo. Membawa hadiah istimewa darinya.

“Mas, hari ini harusnya kita bahagia merayakan hari pernikahan yang keenam.” Di tanah pemakaman, tubuhku bertelut di dekat nisan, meratapi kepergian seseorang yang paling berarti dalam hidup.

Tepat di hari anniversary kelima setahun yang lalu, Mas Bimo meregang nyawa. Dia tertabrak mobil ketika menyeberang dari toko emas untuk mengambil kalung pesanannya yang bertuliskan B&R.

Kejutan di hari yang spesial, ternyata adalah kabar duka cita. Di saat aku belum sempat mengucapkan kata maaf, karena telah menyakitinya dengan sikap dan perkataanku yang selalu kasar.

Napas terhela berat. Tak seharusnya bersikap tak acuh pada suami yang dengan tulus mencintai. Dia yang begitu perhatian dan memperlakukan dengan begitu sempurna. Tak pernah sekalipun membentak, meskipun aku berbuat kesalahan. Mas Bimo senantiasa menasihati dengan lemah lembut. Oh Tuhan ... ampuni segala salah dan dosaku.

“Mas Bimo ... terima kasih atas apa yang telah kamu berikan padaku selama ini. Kamu sungguh suami terbaik, mencintai dengan tulus.” Aku mengusap nisan bertuliskan nama Mas Bimo.

Hati merana berderik laksana sungai kering mengungkung ikan-ikan penuh dahaga. Aku menghela napas panjang.

Tunggu aku di surga, Mas. Suamiku tersayang dan terkasih. Namanya akan selalu terpatri di dalam hati sampai kapan pun.

💔



--selesai--
0
105
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buat Latihan Posting
Buat Latihan PostingKASKUS Official
35.6KThread1.7KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.