Di tengah pesatnya media sosial saat ini, arus informasi menjadi sangat cepat dan kuat. Kabar bohong (hoaks) bisa membawa dampak yang panjang bagi masyarakat.

Hal ini seperti yang terjadi di Manokwari, Papua Barat, dalam beberapa hari ini. Kerusuhan di sana itu dipicu oleh sebuah kabar bohong mengenai tewasnya mahasiswa Papua di Surabaya.

Hal ini sebagaimana dibenarkan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Ia mengatakan aksi massa itu dipicu hoax adanya korban meninggal akibat insiden di Surabaya.

Di sisi lain, adanya pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya juga bermula dari beredarnya foto bendera merah putih yang rusak di depan asrama tersebut. Foto ini viral di sejumlah grup WhatsApp.

Perwakilan FPI mengatakan bendera tersebut dipatahkan dan dibuang ke selokan. Sementara itu, Juru Bicara yang mewakili para mahasiswa membantah bahwa pihaknya melakukan perusakan bendera.

Pengerusakan bendera itu tidak benar alias kabar bohong juga. Tapi opini yang digiring di luar sana telah menyebar luas sehingga menimbulkan kesalahpahaman terhadap mahasiswa Papua.

Atas insiden tersebut, FPI harus ikut bertanggung jawab karena mereka lebih mengutamakan emosi ketimbang menyerahkan pada aparat untuk mengatasi permasalah tersebut.

Mereka mengaku bela NKRI, tapi tindakannya tidak dapat dibenarkan dengan melangkahi aparat dalam bertindak.

Oleh karena itu, aparat keamanan harus bersikap tegas terhadap oknum-oknum FPI agar segera diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Karena ulah mereka itulah kerusuhan menjalar di berbagai tempat.

Insiden Surabaya dan Malang adalah upaya untuk membuat keributan dan perpecahan bermotif rasis pasca tak mempannya politisasi agama. Itu adalah taktik FPI untuk memecah belah NKRI dan menjalankan agenda ideologisnya.

Kita jangan mau diadu domba dan jangan mau dibodohi oleh mereka.