Kurikulum dambaan








Anak adalah peniru ulung. Dia akan mengadopsi apapun di sekitarnya. Menyerap lalu mempraktekkannya. Anak pada dasarnya senang mempelajari hal-hal baru. Mereka senang bereksplorasi dari pengalaman-pengalaman yang baru didapat. Jadi tidak benar kalau menyatakan ada anak yang bodoh, dan ada anak yang pintar. Karena mereka semua pintar, dan siap menerima apapun juga sebagai bekal.

Masalahnya adalah bagaimana caranya agar materi-materi baru itu bisa terserap dengan baik oleh anak. Karena sebenarnya daya tangkap anak berbeda, gaya penerimaan mereka untuk hal baru itu tidak sama. Sedangkan materi yang disampaikan di sekolah-sekolah telah baku dan harus diadaptasi oleh anak. Padahal tiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda.





Ketika kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikandiganti menjadi kurtilas (kurikulum tiga belas), Ladita dan orang tua lainnya sempat bahagia. Karena kurtilas lebih cenderung pada praktek daripada hapalan. Tahu sendiri, 'kan, kalau anak-anak sekarang kebanyakan malas menghafal? Nah, anak Ladita termasuk yang tidak mau menghafal materi. Karena dia lebih tertarik kegiatan fisik daripada hafalan. Jadinya setiap materi yang ada baru bisa diterima dengan mudah kalau lewat praktek atau demonstrasi. Dan, anak ini cenderung tinggi minatnya pada olahraga juga pelajaran lain yang berkaitan dengan olah fisik, seperti menari.

Itu dibuktikan ketika kurtilas diganti lagi dengan KTSP nilai-nilai pelajarannya langsung anjlok lagi. Dari sini Ladita langsung menyimpulkan kalau anak kinestetik cenderung cocok dengan sekolah yang banyak kegiatan fisiknya, seperti sekolah alam. Terus terang, Ladita sangat memimpikan sebuah kurikulum yang sejalan dengan gaya belajar anak yang berbeda-beda.



Seperti yang kita ketahui, tiap anak memiliki gaya belajar berbeda. Pada umumnya, gaya belajar itu terdiri dari auditori, visual dan kinestetik.

Gaya belajar auditori,cenderung cepat menyerap materi dengan mendengar. Gaya belajar visual peka terhadap hal yang berkaitan dengan simbol, seperti matematika, bahasa yang penulisannya menggunakan huruf tertentu. Gaya belajar ini lebih mudah mengingat dengan melihat. Sedangkan gaya belajar kinestetik dalam proses belajarnya cenderung membutuhkan banyak gerak, semisal olahraga dan percobaan-percobaan.

Apabila anak diizinkan memilih pelajaran berdasarkan minat dan sesuai dengan gaya belajarnya, pasti materi akan terserap dengan baik. Sayangnya, belum semua sekolah yang ada di negara ini memiliki kapasitas yang bisa menunjang hal itu. Sekiranya semua sekolah bisa menjembatani dengan menyediakan kelas-kelas perbidang studi sesuai minat anak, Ladita yakin anak-anak akan lebih ekspresif dalam belajar. Mereka akan bisa mobiledengan memilih mata pelajaran yang diinginkan ke kelas-kelas tertentu. Tertekan karena materi pelajaran pun akan bisa dihindari karena kelas yang mereka pilih sesuai dengan minat mereka.

Di luar negeri cara belajar seperti ini telah diterapkan. Dan Ladita yakin, secara bertahap kurikulum kita pun akan menyamainya, bahkan lebih baik. Tentunya kapasitas para pendidik dan juga orang tua harus ikut dipersiapkan pula. Karena masalah pendidikan itu bukan tanggung jawab salah satu pihak saja. Pendidikan anak adalah masalah bersama, dan membutuhkan sinergi yang kooperatif dari semua pihak.

Anak tidak ada yang bodoh. Hanya tinggal bagaimana cara kita mengoptimalkan daya serap mereka tanpa perlu membebani. Karena segala sesuatu akan lebih mudah dilakukan dengan bergembira hati. Termasuk juga belajar. Semoga Indonesia semakin jaya dengan perbaikan-perbaikan yang lebih signifikan di bidang pendidikan.



Sumber: here