inal74Avatar border
TS
inal74
JATUH BANGUN TEORI EVOLUSI: Dulu dan Kini

Al-Jahiz (776-868 Masehi)                                          Charles Darwin (1809-1882)


Seorang ilmuwan Muslim pada tahun 800-an Masehi telah menuangkan gagasannya tentang evolusi dalam sebuah kitab berjudul: Al Hayawan. Dalam kitab tersebut, Al Jahiz alias Abu Uthman Amr Ibn Bahr Al Qinanih Al Fuqaymih Al Basrih (lahir pada tahun 776 di Basra, Irak) mencatat sekitar 350 spesies hewan yang terbagi dalam tujuh volume, serta dilengkapi dengan gambar-gambar dan penjelasan yang terperinci. Kitab ini merupakan buku pertama yang mengungkap berbagai aspek biologi dan dunia hewan, seperti klasifikasi binatang, rantai makanan, seleksi alam, dan evolusi. Al Jahiz meyakini bahwa satu spesies makhluk hidup bisa mengalami transformasi secara jangka panjang (evolusi) sehingga memunculkan spesies baru. Namun entah kenapa, gagasan tentang evolusi dari Al Jahiz ini tidak berkembang pesat dalam dunia Islam hingga Al Jahiz meninggal dunia pada tahun 868 Masehi. Menariknya, kurang lebih 1000 tahun kemudian, gagasan tentang teori evolusi ini muncul kembali di daratan Eropa.

Teori evolusi muncul kembali di daratan Eropa melalui hasil riset seorang naturalis bernama Charles Robert Darwin (1809-1882). Mirip dengan Al Jahiz, Charles Darwin dan teori evolusinya pun memandang bahwa semua jenis makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan, tetapi berasal dari nenek moyang sejenis dan menjadi beraneka ragam karena perubahan perlahan selama jutaan tahun akibat perbedaan kondisi alam. Berkat teori ini, para ilmuwan Barat masa kini menganggap Charles Darwin sebagai salah seorang pionir dalam bidang Biologi. Karya tulisnya yang sangat berpengaruh luas adalah:

1. The Origin of Species, By Means of Natural Selection, terbitan 1859 adalah tempat di mana Darwin membeberkan rancang bangun teori (building blockof theory) evolusi yang terkenal itu. Dari buku ini diketahui pula bahwa Darwin bersandar pada filsafat materialisme dalam membangun teorinya. Filsafat materialisme mengajarkan bahwa materi bersifat kekal, dan benda mati bisa menciptakan kehidupan (spontaneous generation alias abiogenesis).

2. The Descent Man, terbitan 1874. Dalam karyanya ini Darwin memandang bahwa orang kulit putih Eropa lebih maju dibandingkan dengan dengan ras-ras lainnya, karena ras-ras yang lainnya itu masih memiliki sifat kera. Karena itu pula Darwin berasumsi bahwa manusia memiliki hubungan kekerabatan dengan kera.

Darwinisme, teori evolusi beserta semua konsep-konsepnya (termasuk homologi) sebenarnya telah mendapatkan ujian berat sejak Louis Pasteur, Francesco Redi, dan Lazzaro Spalanzani berhasil membuktikan bahwa konsep biogenesis (omni vivum ex vivo) ternyata lebih logis secara ilmiah dibandingkan dengan konsep spontaneous generation alias abiogenesis. Tokoh pendukung abiogenesis diantaranya adalah:

1. Aristoteles (384-322 Sebelum Masehi). Aristoteles berasumsi bahwa terdapat ikan yang  tercipta dari lumpur.

2. John Needham (1713-1781). Ahli Biologi sekaligus pastor Katolik Roma dari Inggris ini berasumsi bahwa bakteri tercipta dari air kaldu.

3. Jean Baptista Van Helmont (1579-1644). Ahli fisika berkebangsaan Belgia ini berpendapat bahwa tikus berasal dari biji gandum dan keringat manusia. Berdasarkan hasil pengamatannya, baju yang kotor bekas keringat disimpan pada tempat penyimpanan gandum akan menjadi tikus setelah 20 hari. Tikus terbentuk dari fermentasi gandum dengan keringat manusia sebagai daya hidupnya.

Oleh sebab itu, beberapa ilmuwan pendukung teori evolusi kemudian menggelar sebuah pertemuan yang disponsori oleh Geological Society of America pada tahun 1941. Tujuannya adalah untuk membahas kiat-kiat memutakhirkan teori evolusi. Pertemuan tersebut berakhir dengan disepakatinya semacam pendekatan “Neo-Darwinisme” dengan teori lama berbungkuskan nama baru: The Modern Synthetic Evolution Theory(Teori Evolusi Sintetis Moderen). Namun pada tahun 1953, teori baru ini pun mendapat “tantangan” berat ketika James Watson, Francis Crick, dan Rosalind Franklin berhasil menemukan keberadaan DNA (Deoxyribonucleic Acid). Gambaran rumit luar biasa tentang informasi genetik makhluk hidup dari sebuah molekul DNA telah membuktikan secara ilmiah tentang adanya kelemahan dalam teori evolusi. Sebenarnya, memang tidak ada kemajuan fundamental dari teori baru ini. Salah satu buktinya, para pendukung Teori Evolusi Sintetis Moderen masih ber-hipotesis bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari kera dengan menyatakan bahwa, secara umum, skenario evolusi manusia tersusun berurutan dari 4 “bentuk transisi”, yaitu: Australopithecus, Homo Habilis, Homo Erectus, dan Homo Sapiens. Mari kita uji hipotesis tersebut dengan mencermati sekelumit fakta ilmiah di bawah ini.

Pada tahun 1932, Louis Seymour Bazett Leakey, seorang ahli paleoantropologi pendukung teori evolusi, menemukan fosil manusia dari jaman sejuta tahun lalu (jaman Pleistosin Tengah) di wilayah Kanjera sekitar danau Victoria, Kenya. Setelah meneliti fosil temuannya, Leakey menyimpulkan bahwa Homo Sapiens(manusia jaman Pleistosin Tengah) ternyata sama dengan manusia moderen. Hasil riset Alan Walker (ahli paleoantropologi pendukung teori evolusi asal Amerika Serikat) di tahun 1980-an, membuktikan bahwa homo erectus adalah fosil manusia normal, tidak berbeda dengan manusia biasa pada umumnya.

Pada tahun 1990-an, 2 ahli anatomi pendukung teori evolusi kelas dunia Lord Solly Zuckerman (Inggris) dan Charles E. Oxnard (Amerika Serikat), serta 5 orang spesialis lainnya melakukan riset komprehensif terhadap fosil Australopithecusselama 15 tahun. Hasilnya, mereka menyimpulkan bahwa Australopithecus hanya spesies kera biasa dan tidak berjalan dengan dua kaki. Holly Smith, ahli antropologi pendukung teori evolusi dari Amerika Serikat, pernah menganalisis fosil Homo Habilis secara terperinci di tahun 1994. Hasil analisis Smith menyimpulkan bahwa Homo Habilis yang diklaim sebagai fosil “manusia setengah kera” adalah fosil kera Afrika biasa.

Bukti empiris lain yang wajib diketahui adalah masalah cara berjalan. Robin Crompton, ahli paleoantropologi asal Inggris, menyimpulkan lewat riset berbasis komputernya di tahun 1996 bahwa makhluk berkaki empat (quadripedal, contohnya kera atau simpanse) mustahil berubah menjadi makhluk berkaki dua (bipedal, contohnya manusia). Begitu juga sebaliknya. Itu berarti, fosil “manusia setengah kera” mustahil ada di dalam perut bumi.

Menanggapi klaim kemiripan genetik antara manusia dan kera. Sebenarnya, pada tahun 2002, hasil riset Roy Britten, ilmuwan dari California Institute of Technology, menyatakan bahwa berdasarkan cara baru dalam membandingkan gen, diketahui ternyata kesamaan gen manusia dan simpanse hanya sekitar 95%. Britten mendasarkan ini pada riset berbasis komputernya yang membandingkan 780.000 dari 3 miliar pasangan basa dalam DNA manusia dengan milik simpanse. Kemudian Britten pun menyimpulkan bahwa meskipun hanya berbeda 5 persen, namun ketidaksamaan tersebut menunjukkan perbedaan genetik yang sangat mendasar antara manusia dengan simpanse. Di samping itu, meski jumlah kromosom manusia (46 buah) berbeda sedikit dengan kromosom kera (48 buah), bukan berarti manusia berkerabat dengan kera. Karena dibandingkan dengan jumlah kromosom kera, ada makhluk hidup lain yang justru memiliki jumlah kromosom sama persis dengan manusia, yaitu: kentang! Tapi hingga kini, belum ada seorang pun ilmuwan yang berani mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah kentang.

Terakhir, pada tahun 2019, seorang profesor bidang Phylogenomicspendukung teori evolusi dari University of Bristol, Inggris bernama Davide Pisani memiliki pertanyaan yang membutuhkan bantuan dari para profesor pendukung teori evolusi lain untuk menjawabnya: “Take the nervous system: this is the key system that is ultimately responsible for our own consciousness. When and how many times did it evolve?” (“Contohnya sistem saraf: sistem ini merupakan sistem kunci yang bertanggung jawab mengatur kesadaran kita. Kapan dan berapa kali sistem saraf ini berevolusi?”)

“My whole concept of the animal kingdom would crash with this ctenophores-first idea”, (Claus Nielsen, Ahli Ilmu Hewan Evolusionis dari Denmark, 2019)


Hasil karya Al Jahiz dan Charles Darwin memang luar biasa. Tapi, teori evolusi adalah teori ciptaan manusia. Semua teori ciptaan manusia tidak ada yang bernilai absolut (100% benar selama-lamanya), sehingga ruang untuk koreksi akan senantiasa ada. Di samping itu, hal ini membuktikan apa yang pernah diungkapkan oleh Thomas Kuhn (1922–1996, Ahli Filsafat dan Fisika dari Amerika Serikat) 59 tahun lalu bahwa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, apapun itu ilmunya, akan selalu mengalami revolusi ilmiah dengan pertanda awalnya adalah terjadinya pergeseran paradigma (paradigm shift). Jadi, terjadinya pergeseran paradigma di bidang ilmu Biologi dan teori evolusi adalah hal yang wajar.


Sumber:
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, Second Edition, The University of Chicago Press, USA, 1970.
Elaine Morgan, The Scars of Evolution, Oxford University Press, New York, 1994.
Michael J. Behe, DARWIN'S BLACK BOX: The Biochemical Challenge to Evolution, The Free Press, New York, 1996.
Roy J. Britten, Divergence Between Samples of Chimpanzee and Human DNA Sequences is 5% Counting Indels, 2002.
Cara Giaimo, A Battle Is Raging in the Tree of Life: Which Came First, The Sponge or The Comb Jelly?, New York Times, 2 Agustus 2019.
Sumaya El-Zaher, The Father of the Theory of Evolution: Al-Jahiz and His Book of Animals, November 2018.


R
Diubah oleh inal74 05-08-2019 10:52
InRealLifeAvatar border
pakisal212Avatar border
pakisal212 dan InRealLife memberi reputasi
0
2K
23
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sains & Teknologi
Sains & TeknologiKASKUS Official
15.5KThread11.1KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.