Remi144Avatar border
TS
Remi144
Mengeluh "Belis Mahal" Hanya Dilakukan Orang Lemah, Adat Tetaplah Adat
Membahas tentang konsep belis orang Manggarai tidak terlepas dari bagaimana pemahaman dan pandangan orang Manggarai tentang perkimpoian. (Foto: @lipabatemose/@evitata/Net/Ist)

Penulis Remigius Nahal


Sebagai salah satu tujuan hidup hampir semua orang, pernikahan merupakan hal yang sangat diimpi-impikan. Maka ketika telah memiliki tambatan hati, seseorang akan segera merencanakan pernikahan.

Dalam hal ini, persiapan yang lebih harus dilakukan oleh calon mempelai pria. Karena dalam beberapa tradisi budaya yang ada di Indonesia, pihak laki-laki harus menyerahkan harta benda sebagai syarat untuk mempersunting calon istrinya.

Di berbagai daerah di Indonesia beragam ketentuan yang ada terkait pemberian mahar pada sang istri. Mulai dari mahar wajar yang mencapai jutaan saja hingga mahar yang kisaran puluhan juta. Salah satu daerah yang mematok mahar cukup tinggi adalah daerah NTT. Tradisi pemberian mahar yang disebut "belis" itu, bisa menghabiskan biaya hingga total puluhan hingga ratusan juta. Selengkapnya, akan dibahas berikut ini.

Pada kesempatan ini saya ingin mempersembahkan kepada anda soal "Belis" yang katanya mencekik leher kaum adam lebih khusus di bumi Congka Sae yakni Manggarai tercinta.

Dalam acara pernikahan masyarakat Manggarai, perempuan menjadi pihak yang diuntungkan. Sebab pihak mereka bisa menentukan besarnya mas kimpoi atau belisyang harus dibayar pihak laki-laki. Hal ini disebabkan karena kedudukan pihak pemberi wanita (keluarga perempuan) dianggap lebih tinggi dari kedudukan pihak penerima wanita (keluarga pihak laki-laki). Anggapan ini ada karena perempuan merupakan orang yang melahirkan generasi penerus selanjutnya.

Nampaknya, masalah "Belis" untuk saat ini menjadi momok dan banyak menjadi keluhan banyak orang. Duh, kan bisa repot jadinya.

Belis, adalah adat. Ini yang harus digarisbawahi. Dan keluhan hanya dimiliki oleh orang yang lemah alias tidak bisa berusaha. Ini menurut saya Bang.

Harus diketahui juga bahwa pemberian belis merupakan penghargaan bagi kaum perempuan. Wanita dianggap sesuatu berharga sebab darinyalah kehidupan rumah tangga bisa berjalan. Mulai dari mengurusi pengaturan kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, dan kebersihan papan hingga melanjutkan generasi penerus dengan melahirkan bayi. Karenanya niat tulus seorang ayah yang melepas putrinya kemudian diapresiasi dengan sejumlah hadiah (belis).

Perlu diketahui, kata"belis" adalah sebuah istilah dalam budaya Manggarai yang tidak bisa dipisahkan dari ritual adat (sakral) Manggarai dalam proses Perkimpoian, selain proses nikah menurut konsep agama.

Karena dalam budaya Manggarai menganut sistem budaya patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah), maka sudah barang tentu mas kimpoi adalah salah satu bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap keluarga kaum perempuan.

Jika dilihat asal muasal kata "belis" ini, dapat disimpulkan bahwa sebuah acara yang bermaksud membudayakan penghargaan terhadap perempuan dan perkimpoian itu sendiri.

Perkimpoian dalam adat dan budaya Manggarai belumlah valid jika proses pernikahan hanya sampai diproses nikah agama, lalu disempurnakan oleh ritual korban (material) berupa belis yang wajib dipenuhi oleh pihak laki-laki.

Padahal sejatinya, belis diberlakukan untuk menghargai kedua pihak. Baik pihak keluarga laki-laki maupun pihak keluarga perempuan berjumpa dengan "penghargaan tertinggi" yaitu cinta lewat ritual belis.

Membahas tentang konsep belis orang Manggarai tidak terlepas dari bagaimana pemahaman dan pandangan orang Manggarai tentang Perkimpoian.

Jillis Verheijen dalam kamusnya mengartikan "paca" sebagai emas kimpoi, pembayaran pihak laki-laki kepada pihak pengantin wanita. 

Paca dalam tradisi lazimnya diberikan dalam bentuk hewan dan kemudian ketika orang Manggarai mengenal uang juga dalam bentuk uang yang diistilahkan “pe’ang tana agu one mbaru” atau “wa loce” (apa yang ada di luar rumah berupa hewan dan dalam rumah berupa uang).

Pada galibnya, Perkimpoian merupakan sesuatu sakral dan diarahkan untuk mencapai kebahagiaan kedua mempelai, mempersatukan dua keluarga besar dan memperoleh keturunan.

Belis tidak lebih dari sarana dan tanda untuk menghargai rahim, mempersatukan ikatan Perkimpoian dan menjadi tanda bukti bahwa keluarga besar memiliki kemampuan ekonomis yang baik.

Khusus untuk tanda yang terakhir ini, kiranya perlu dicermati secara sungguh bahwa kemampuan ekonomi genetis dan berciri kelompok sosial mulai ditinggalkan.

Setiap pribadi sebenarnya memiliki potensi dan kemampuan yang bisa jadi lebih besar, oleh pengalaman dan pendidikan, dibandingkan yang disebabkan oleh faktor keturunan.

Karena itu, konsekuensi logisnya, mengukurkan kemampuan seseorang hanya berdasarkan faktor ekonomi komunal dan klan bukanlah tindakan yang rasional. Kendati demikian, perkimpoian membutuhkan tanda dan symbol-simbol tertentu.

Menghasilkan sebuah prosesi perkimpoian yang sacral, khidmat dan membahagiakan merupakan impian semua orang. Itulah sebabnya, kesadaran akan mempersiapkan perkimpoian dengan segala konsekuensinya, yang dimulai dengan perencanaan yang matang, jauh lebih baik daripada menyalahkan konsep budaya yang sudah ada.

Jikapun merunut pada konsep baku, salah satu sifat budaya adalah dinamis. Tak ada salahnya kita memperbaiki nilai-nilai tertentu dalam budaya untuk memenangkan kehidupan yang leibuh bermutu dan bermartabat.

Belis Merupakan Kewajiban Mutlak Pihak “anak wina” kepada “pihak anak rona.” 

Ada filosofi yang tersembul dalam ungkapan orang Manggarai “le Mbau teno” artinya, belis atau paca akan diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya (anak rona) sembari menanti hasi kerja suami istri.

Formulasi permintaan belis dalam upacara “Umber” sebelum peresmian adat misalnya; 2 ekor kerbau ditambah dengan 5 ekor kuda serta uang 40 juta. Misalnya disanggupi secara tertentu dalam; 1 ekor kerbau, 2 ekor kuda dan 1 ekor kerbau (kaba ute/ khusus untuk dimakan “lebong”).

Biasanya permintaan yang tertuang sebagai “Paca atau Belis" tidak harus disanggupi pada saat pengesahan perkimpoian adat, yakni saat “Nempung” atau “wagal”.

Karena belis Manggarai bukan suatu sistem “bayar tuntas” sebab merujuk pada filosofi “wae teku tedeng” atau mata air abadi.

Bagi pasangan yang dikukuhkan dalam pengukuhan adat dikenakan peribahasa: “du pa’ang le mai-cako agu reha lesak penong pa’ang.”(suatu pesta meriah yang melibatkan seluruh kampung). 

Si perempuan disanjung-sanjung dengan ritual “sendeng atau sompo.”

Terbersit bahwa dalam upacara ini ada penghargaan terhadap martabat wanita dan keluarganya.

Jawaban permintaan Belis ada Dua

Pertama, untuk menyatakan kesanggupan atas tuntutan adat ada tuturan adat sbb: “ho’o ca libo, dumpu ca sora mata, titut nggitu deng hitu, o hae gereng sala artinya hanya ada satu kolam kecil, kudapati satu udang kecil, terimalah dulu, sambil mencari yang lain kemudian”.

Itu berarti belis merupakan suatu kelanjutan yang menandai hubungan kekerabatan “Woe-Nelu.”

Belis bukan “beli mati” melainkan suatu budaya yang melanggengkan hubungan itu.

Sida” (tuntutan adat) dari pihak peminta belis secara berkelanjutan akan meminta respon dari pihak penerima belis.

Kedua, untuk memohon pengertian baik pihak wanita karena si laki-laki tidak mampu; “eme tenang laku lalo, retang nanggong du kakor lalong. Eme nuk laku kasi asi, one ritak laing, momang koe, cala di’a diang, baeng koe, cala jari tai.” Intinya memohon pengetian baik dari pihak wanita agar tuntutan adat diperlunak mengingat hidup bukan hanya hari ini, mungkin besok keluarga ini akan menjadi baik.

Penentuan Belis Orang Manggarai

Pada zaman dahulu, pemberian paca disesuaikan dengan status sosial. Ada empat kelompok sosial dengan konsekuensinya masing-masing. Kelompok pertama, raja. Kelompok kedua, dalu. Ketiga, kelompok gelarang. Keempat masyarakat biasa. Konsekuensinya, besaran dan jumlah belis untuk keempat kelompok itu tidaklah sama.

Dalam perjalanan waktu, ada semacam adopsi otomatis terhadap tingkat sosial yang baru. Pahun dalam kajiannya memperlihatkan bahwa makin tinggi pendidikan dan kedudukan sosial seorang perempuan di Manggarai, makin banyak dan besar Paca yang diminta.

Bahkan jika dinominalkan angka uang mencapau ratusan juta rupiah. Hal mana dianggap sangat fantastic dan menakutkan para pria di Manggarai. Dalam kenyataan, ruang kompromi dibuka lebar.

Meskipun sudah diputuskan dalam upacara pongo/tuké mbaru tentang jumlah paca pada kenyataannya, karena factor-faktor ekstern, maka pihak yang berhak menerima mas kimpoi (anak rona), memahami kedaan pihak pemberi mas kimpoi (anak-wina).

Hal ini sangat diperjelas dalam ungkapan adat:  ”bom salang tuak-maik salang waé” (bukan jalan air tuak yang hanya memberikan airnya sesaat, tetapi sumber air yang senantiasa memberikan airnya sepanjang masa).

Ini berarti bahwa semua kekurangan atau “tunggakan” mas kimpoi atau belis akan diperhitungkan kemudian. Ada pengandaian bahwa mas kimpoi itu tidak akan hilang tetapi masih tersimpan baik di bawah naungan pohon teno.

Pepatah adat melansirnya secara padat dengan berkata “lé mbau teno”. Lé mbau teno itu sendiri mengandung arti yaitu belis atau paca akan diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya (anak-rona) menanti hasil kerja suami-isteri sendiri.

Di sinilah serentak diperlihatkan kelebihan dari proses perkimpoian adat, dimana pihak laki-laki (anak wina) secara resmi masuk minta/melalaui tahap pongo. Bila tahap ini dilalui secara baik, akan tersibak pula harapan bahwa pihak anak rona “mengasihi”(momang anak wina). Hal ini bukan rekaan. Tetapi ada pautan adat yang tersimpul dalam ungkapan “pasé sapu-sélék kopé, weda rewa tuké mbaru”.

Khusus untuk persoalan wanita yang diculik atau dibawalarikan, sudah terdapat tata aturan untuk pacanya. Dahulu hanya laki-laki yang kaya dapat menculik (roko, wéndo) seorang gadis.

Sebab bila pihak keluarga si gadis menyusul atau mencarinya maka pada saat itu pihak laki-laki harus melunasi belis atau mas kimpoi yang diminta oleh pihak keluarga si gadis (anak rona).

Terlebih bila si gadis sudah dipinang pemuda lain, dan sebagaian belis-nya sudah diterima oleh pihak keluarganya, maka pihak laki-laki harus melunasi mas kimpoi secara tuntas, seberapa saja yang dimintakan, mulai dari “belas gendang-biké nggong” sampai kepada “paca wekinya”.

Dalam kasus wanita yang sudah bersuami dibawa lari atau diculik oleh seorang laki-laki (roko wina data wéndo wina data), pihak laki-laki harus berani membayar belis dua kali lipat (tala tumpa), mengingat orang tua si wanita yang diculik harus membayar atau mengembalikan mas kimpoi suaminya yang pertama/yang ditinggalkannya.

Refleksi Filosofis dari Belis

Nilai-nilai filosofis Perkimpoian adat Manggarai dapat digambarkan dalam beberapa ungkapan berikut:

Pertama, Perkimpoian mengungkapkan kebutuhan dasar manusia untuk berada bersama dengan Yang Lain dalam suatu ranah kehidupan yang sejahtera, subur dan berkembang, seperti ungkapan “saung bembang ngger eta, wake seler ngger wa”.

Kedua, Perkimpoian bertujuan agar manusia dapat melanjutkan subsistensi dirinya lewat keturunan. Seperti suatu ungkapan seorang suami, “wua raci tuke, lebo kala ako” (istriku sudah hamil).

Ketiga, Perkimpoian membuka sosialitas manusia agar terhubung dengan Orang Lain dan kelompok lain sehingga terjalinlah suatu kekeluargaan dan persaudaraan manusia seperti ungkapan “cimang neho rimang, cama rimang rana, kimpur kiwung cama lopo (persaudaraan itu ibarat lidi yang tak mudah dipatahkan, kuat seperti batang enau)”.

Keempat, Perkimpoian merupakan ruang pembentukan keluarga yang nantinya akan menjadi ruang transimisi nilai budaya dan moral, seperti tanggung jawab dan jiwa besar. Itu tersembul dalam ungkapan “Nai nggalis tuka Ngengga (kearifan dan jiwa besar)” Atau ungkapan “Mese bekek, langkas nawa” (pribadi yang bertanggung jawab dan bermoral).

Kelima, perkimpoian menjadikan kebebasan manusia terlembagan dalam suatu tatana moral dan etika, seperti menghargai perempuan yang sudah bersuami. Seperti ungkapan “lopan pado olo, morin musi mai (sudah ada yang punya).

Makna dan Tujuan Belis dalam Perkimpoian Manggarai

Paca dalam adat istiadat orang Manggarai mempunyai tiga makna dan tujuan.

Pertama, merupakan bentuk penghargaan terhadap tuka wing de ende (rahim). Hanya perempuanlah yang memiliki rahim.

Dalam rahim kehidupan manusia pada awalnya terbentuk. Tidak akan ada manusia jika ia tidak bertumbuh dan berkembang dalam rahim perempuan. Karena itu, penghargaan terhadap rahim dinyatakan lewat paca.

Kedua, sarana pengukuhan kehidupan suami istri. Melalui paca secara resmi kehidupan suami-istri dikukuhkan. Dalam banyak pernyataan, permintaan paca juga dimaksudkan untuk menghindari perceraian atau anggapan yang menggampangkan Perkimpoian yang telah direstui.

Ketiga, sebagai bentuk tanda bahwa lelaki (dan keluarganya) berkemampuan dan dapat bertanggungjawab menghidupkan istri dan anak. Paca sebagai symbol kemampuan memberikan rasa aman kepada pihak wanita dan keluarganya.

Peran Belis dalam Perkimpoian Manggarai

Dalam kehidupan sehari-hari, belis dimanfaatkan untuk urusan adat istiadat yang dapat dinyatakan sebagai berikut:

Pertama, hewan yang diberikan pihak anak wina dipakai untuk memenuhi kebutuhan keluarga besarnya. Misalnya, kerbau yang dibawa anak wina dipelihara ataupun dijual.

Kenyataan juga memperlihatkan bahwa tak jarang jarang ko kaba paca (kuda atau kerbau) yang dibawa dijual untuk memenuhi kebutuhan keuangan dari acara perkimpoian.

Kedua, uangnya dipakai untuk menyelesaikan urusan perkimpoian yakni seremoni adat (memberi sejumlah uang kepada pihak anak rona, keluarga dan konsumsi) dan perayaan pesta perkimpoian (konsumsi, tenaga kerja, gedung, dekorasi, music, dll).

Dikumpul dari Berbagai Sumber
Diubah oleh Remi144 10-07-2019 19:06
0
9K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Citizen Journalism
Citizen JournalismKASKUS Official
12.5KThread3.3KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.