Di depan teras rumah.
Angin dingin yang berhembus malam itu menjadi penyeimbang Sahu panas yang ada terhadap pergulatan didalam dunia ide yang harus mencari titik temu antara realita dan Mimpi besar, setidaknya itulah yang dirasakan Syahrul sebagai tingkatan masyarakat Marginal yang kerap kali dikatan menjadi perhatian dan titik tolak pemerintah dalam menetapkan Kebijakan. Tapi ternyata hanya diperlakukan Macam ikan bodoh dan tidak berpengalaman, yang kata Kompeni kau umpani batu pun akan kena. Sebuah realita klasik yang tak kunjung sampai diperaduan dan menjadi probkema orang-orang sekelas Syahrul dan keluarganya.

Ia bernama lengkap Syahrul Aji, tak tau makna apa dibalik namanya dan tak penting pula menurutnya untuk menelusuri jejak yang sudah menjadi identitasnya selama 19 tahun. Tapi kepastian baginya adalah harapan serta doa, dan realitas kondisi ketika ia dilahirkan, tepatnya pada 1999 lalu dari rahim seorang ibu bernama Narti dan ayah bernama Hariadi ini dibesarkan disebuah pelosok desa yang disebut-sebut pembanguan telah merata, bernama desa Bungamayang disebuah kabupaten paling utara di Lampung.
Pak Hariadi dan Bu Narti merupakan sepasang orang tua yang sederhana bahkan dapat dikatan mereka hanya merasakan pendidikan sebelum sempat Aljabar menyibukan mereka untuk mengulik dan menerka X dan Y, hanya sekedar membaca dan menghitung setidaknya angka-angka nominal di lembar rupiah mereka kuasai. Itulah mungkin sebuah standarisasi atau bahkan telah terdapat bonus di dalamnya untuk keluarga Sekelas Pak Hariadi dan Bu Narti. Sebagai pekerja keras pak hariadi dan bu narti bekerja setiap harinya ketika matahari masih malu-malu menunjukan sinarnya dan kembali jam enam sore ketika senja talah Habis untuk dipandang dan banyaj jiwa telah berlari menuju peraduan dan melepas lelah di ujung ranjang Sebagai pemene tebu sebuah BUMN, tukang tebang tebu masyarakat sekitar mengenal profesi ini. Penghasilan tak menentu setiap Harinya, nominal menjadi sebuah kebalikan dari lelah dan banyaknya keringat yang membasahi lapis demi lapis baju sebagai pelindung dari teriknya matahari. Tak yakin apa yang dapat diperole dari pertukaran keringat dan lelah ini, tetapi yang membuat pak hariadi menekuni ketidak pastian tersebut adalah harus tetap bersyukur kepada sang penulis dan pentu takdir dan Nominal yang akan diperolehnya.

Tak tau berapa lama waktu yang telah Syahrul lakukan untuk menyediakan arena bagi realita dan mimpinya tersebut yang bergulat tak tentu. Gambaran-gambaran nominal menyempitkan mimpi syahrul untuk tetap menerima pendidikan disebuah perguruan tinggi ternama di Lampung. Dua buah solusi tergambar tapi lebih jelas lagi sebagai titik awal masalah baru, pertama ia berhenti kuliah dan membiarkan adiknya melanjutkan ke pendidikan sekolah menengah atas atau mereka tetap melanjutkan pendidikan namun tumpukan beban nominal untuk pak Hariadi dan Bu nartil. Pak hariadi dan bu nartu tidak pernah memberi gambaran atau bahakn pilihan tersebut, namun penalaran syahrul sebagai anak tertua harus tau akibat dari keputusannya tersebut, walau orang tuanya tak akan setuju akan dua solusi tersebut.
Terlalu cepat sepertinya syahrul memikirkan hal tersebut, namun masukan serta keputusan harus ia bunyikan. Setidanya ketika adiknya telah positif mendapat tempat untuknya melanjutkan pendidikan. Masih ada waktu bagi syahrul namun tak lama membuat kepalanya penuh sesak kemana ia harus berpihak kepada mimpinyakah atau beban realita. Besok pagi syahrul dan adiknya ke kota untuk mencarikannya sekokah yang akan menjadi lanjutannta selama space inilah waktu untuknya mencari solusi yang akan ia ambil dan kemukakan kepada orang tuanya....

Bersambung....



Sumber:

Isi/Thread>TS
Gambar>Google