Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jonoswara1976Avatar border
TS
jonoswara1976
BREXIT, Opera Sabun dari Eropa
Serial asal Inggris yang ane demen itu salah satunya Mr. Bean. Tokoh kocak yang diperankan Rowan Atkinson ini benar-benar melegenda, mungkin hampir menyamai Charlie Chaplin. 

Namun, ada opera sabun yang lagi hits banget di Inggris dan benua biru lainnya nih. Sangking nge-hitsnya, pengusaha sampai pemain bola ketar-ketir gara-gara drama yang tak kunjung usai itu. Yak, opera sabun asal Eropa yang ane sebut ini adalah Brexit alias Britain Exit. 

Tidak ada opera sabun yang paling menarik selama libur Idulfitri selain kisah Brexit yang masih menggantung hampir 3 tahun terakhir. Puncaknya, Perdana Menteri Inggris Theresa May yang bertugas menyelesaikan Brexit mengundurkan diri pada pekan lalu.
BREXIT, Opera Sabun dari Eropa

Pengaturan relasi Inggris dan Uni Eropa di masa depan, termasuk terkait perbatasan dan bea cukai Inggris-Irlandia menjadi perdebatan negosiasi skema Brexit hingga May memutuskan untuk mundur.

Mentoknya negosiasi  antara May dengan parlemen hampir membuat Inggris terancam keluar dari Uni Eropa (UE) tanpa kesepakatan. Pasalnya, penolakan proposal May membuat Inggris melewati tenggat waktu yang telah ditentukan sebelumnya oleh UE yakni, 29 Maret 2019.

Brexit tanpa kesepakatan adalah hal yang ditakutkan oleh Inggris dan UE. Untuk itu, UE setuju untuk memperpanjang batas waktu Inggris keluar dari komunitas negara Benua Biru itu menjadi 12 April 2019.

Sayangnya, lagi-lagi May gagal mendapatkan lampu hijau dari parlemen hingga batas waktu Brexit kedua yang diberikan. Posisi May pun goyah karena diterpa mosi tidak percaya dan kepemimpinan yang lemah.

Di tengah polemik internal Inggris itu, UE setuju memberikan perpanjangan masa Brexit hingga 31 Oktober 2019 untuk Inggris. Harapannya, dengan tenggat waktu itu Inggris bisa menemukan solusi terbaik untuk Brexit.

Sebelum tarik ulur terkait skema Brexit, pemilihan perdana menteri Inggris untuk menggantikan David Cameron pada 2016 juga diwarnai drama.

Hasil referendum pada 2016 menunjukkan publik Inggris setuju Brexit karena gerah dengan banyaknya pekerja migran dari negara UE. Hasil itu pun membuat Cameron harus mundur dari posisinya sebagai perdana menteri.

Saat itu, calon kuat perdana menteri Inggris adalah Boris Johnson, juru kampanye Brexit jelang referendum. Namun, Johnson malah mundur di tengah jalan, calon perdana menteri yang tersisa tinggal Theresa May dengan Andrea Leadsom.

Entah beruntung atau buntung, May yang sempat mendukung Cameron agar Inggris tetap di UE malah terpilih menjadi perdana menteri. Pasalnya, Leadsom selaku pesaingnya mundur dari persaingan setelah mengutarakan komentar kurang bijak yang menyinggung May.

Sayangnya, nasib May menjadi perdana menteri hanya bertahan kurang dari 3 tahun. Johnson kembali muncul sebagai calon perdana menteri pengganti May.  Selain Johnson, ada Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt yang siap merebut kursi perdana menteri.

Johnson diprediksi bisa membuat Inggris keluar dari UE tanpa kesepakatan, sedangkan Hunt kemungkinan bakal negosiasi ulang dengan UE terkait Brexit.

Di sisi lain, Sementara itu, di tengah kondisi Brexit yang masih menggantung, Presiden Amerika Serikat (AS) hadir sebagai tokoh yang tidak jelas protagonis atau antagonis untuk Inggris.

Trump mendukung Inggris keluar dari UE. Bahkan, dia menekankan Inggris bisa saja memaksa Brexit tanpa kesepakatan demi kemerdekaan Negara Ratu Elizabeth tersebut.

Dia juga menjanjikan jika Inggris keluar dari Uni Eropa, AS siap membuat kesepakatan dagang baru dengan Ratu Elizabeth.

Alasan Inggris keluar dari Uni Eropa adalah peraturan komunitas negara kawasan itu yang terkesan mengekang perekonomian Inggris. Bahkan, perjanjian dagang bilateral pun tidak bisa dilakukan sendiri, tetapi harus dengan komunitas negara kawasan tersebut.

warga Inggris pun dikabarkan mulai setengah hati untuk Brexit. Bahkan, pada Maret 2019, sempat ada petisi untuk mencabut pasar 50 dan membatalkan Brexit. Konon, sudah ada 2 juta lebih tanda tangan yang dikumpulkan lewat petisi daring tersebut.

Memang, ketika referendum dilakukan, tingkat golput sangat tinggi. Jumlah partisipasi pemilihan suara hanya sekitar 71% dari total penduduk di Inggris.


Kejadian Inggris ini harusnya menjadi bahan pembelajaran untuk Indonesia. Jika status MEA sudah meningkat lebih tinggi menjadi Uni Asean seperti MEE menjadi Uni Eropa, Indonesia jangan sampai salah langkah. 

Bukannya menikmati manfaat ekonomi dari komunitas, malah mendapatkan dampak negatif kayak Inggris. Jadi, waspadalah-waspadalah

Sumber : Suryarianto.id



0
693
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.