Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

izzabachrulAvatar border
TS
izzabachrul
LANGSUNG SAJA, NAMAKU DILAN
LANGSUNG SAJA, NAMAKU DILAN
Dilan

Langsung saja. Namaku Dilan, jenis kelamin laki-laki, bernafas menggunakan paru-paru, sama seperti seekor paus. Tahun 1977, pernah ingin jadi macan, tapi itu gak mungkin.


Aku lahir di Bandung, dari seorang Ibu yang oleh anaknya dipanggil Bunda, kecuali kalau akunya sedang mau minta uang, aku memanggilnya “Bundahara” (seperti yang sudah Lia  ceritakan di dalam buku itu). Tapi aku pernah sekali memanggilnya Sari Bunda, yaitu pada kasus di saat aku ingin makan.


Asal tahu saja, ibuku, si Bunda itu, adalah Pujakesuma, tetapi bukan bunga, melainkan akronim dari Putri Jawa Kelahiran Sumatera, karena dia lahir di Aceh, tepatnya di kota Sigli, ibu kota kabupaten Pidie. Dia alumnus IKIP Bandung, jurusan Sastra dan Bahasa. Ayahnya seorang guru SD, yang dulu di daerahnya dikenal sebagai seorang penyair kelas lokal.  


Sejak nikah dengan Ayah, dia selalu dibawa pindah, yaitu ke berbagai daerah di Indonesia. Hidup ini, kata Einstein, bagai naik sepeda. Untuk tetep bisa di dalam keseimbangan, harus terus bergerak. Tapi bukan karena itu ayahku pindah, melainkan karena tugas dari komandan, salah satunya ke daerah Teluk Jambe, Karawang.


Waktu aku duduk di kelas 3 SD, kami pernah tinggal di Kabupaten Manatuto, salah satu kota di daerah Timor-Timur yang dulu masih bagian dari wilayah Indonesia sebagai propinsi. Terus pindah lagi ke Ambon, terus pindah lagi ke Manahan, Solo, tapi cuma sebentar, gak tau kenapa. 


Hidup berkembang, di saat anak-anak sudah mulai tumbuh besar, Bunda sudah merasa cukup baik untuk memilih tinggal di Bandung, yaitu di kota tempat dulu dia kuliah, sekaligus menjadi mungkin untuk bisa lebih dekat dengan saudara-saudara ayahku yang pada tinggal di Bandung, karena ayahku adalah asli orang Bandung. 


Waktu aku duduk di kelas 5 SD, ayah membeli rumah di komplek perumahan Riung Bandung, sebagai fasilitas untuk membangun rumah tangga yang sakinah dan mawardah di bawah iringan lagu-lagu Rolling Stones kesukaan si Bunda, dan suara gelak tawa dari kawan-kawan kuliahnya kalau mereka sedang pada ngumpul di rumah. 


Si Bunda tidak bisa ikut ayah yang harus tinggal di rumah dinasnya di Karawang, karena harus ngajar di salah satu SMA yang ada di Bandung. Melalui semua itu kami hanya bisa bertemu ayah kalau ayah pulang ke Bandung, yaitu setiap dia bebas tugas atau karena ambil cuti. 


Awalnya si Bunda hanya guru biasa yang ngajar bahasa Indonesia. Entah bagaimana, tahun 1989, dia naik jabatan menjadi seorang kepala sekolah di salah satu SMA yang ada di Bandung. Mengenai soal ini, ada yang harus aku syukuri, yaitu: si Bunda bukan Kepala Sekolah di SMA-ku. Sebab kalau iya, pernah aku bayangkan aku akan dimarah dua kali, ya di sekolah ya di rumah. 


Itulah ceritaku tentang si Bunda, ibuku. Jangan sampai banyak-banyak, biar buku ini tidak melenceng menjadi buku biografi si Bunda. Apalagi Lia sudah bercerita cukup banyak tentang si Bunda di dalam buku “Dilan, dia adalah Dilanku”. 


2

Sekarang tentang ayahku. Dia lahir di Bandung. Dulu aku mengira, pekerjaan ayahku adalah berpindah-pindah tempat, seperti nabi Ibrahim yang nomaden, nyatanya ayahku adalah seorang anggota TNI-AD yang suka lagu “What A Wonderful World” nya Louis Armstrong atau “My Way” nya Frank Sinatra dan ditambah lagu-lagu perjuangan Indonesia.   


Selain sebagai seorang prajurit sejati yang lumayan cukup galak, ayahku bisa berubah menjadi seorang pria yang manis, dan juga romantis. Dia tidak pernah lupa nulis surat untuk kami di saat mana dia sedang jauh di tempat tugasnya. Seperti yang bisa kuingat, dia nulis kira-kira begini: “Jangan kuatir, ayah hanya jalan-jalan. Di sini, ayah terus gembira karena Ayah yakin akan segera bertemu dengan kalian. Ayah tidak punya musuh. Ayah membela Indonesia dari mereka yang mau ganggu”


Ayahku orang yang tegas kalau bicara tetapi cepat untuk tertawa. Dia dapat berkomunikasi dengan anak-anaknya di dalam berbagai cara. Suatu hari, waktu aku masih duduk di kelas 6 SD, aku pulang ke rumah terlalu malam karena ada acara bersama teman-teman. Aku kaget, karena pintu rumah dibuka oleh ayah. Kupikir dia tak akan pulang ke Bandung malam itu.  Aku benar-benar berhadapan dengan ayahku yang berdiri kokoh menghadang:  

“Siapa kamu?!”, tanya dia seperti kepada orang asing. Tangannya berkacak pinggang. Mukanya serius. Matanya menatapku dengan pandangan yang tajam. Awalnya aku bingung, setelah aku merasa harus ikut permainannya, kujawab dia dengan sambil memandangnya:

“Dilan!”

“Siapa ibumu?”

“Bunda!”

“Siapa ayahmu?”

“Kamu!”, jawabku spontan. Aku tidak bermaksud untuk menjawab tidak sopan. Itu, aku menjawab dengan refleks karena dia bertanya cukup cepat. Ayah langsung ketawa dan kamu jadi tahu dia tidak benar-benar serius menginterogasi. Aku selalu memiliki beberapa momen terbaik bersamanya. 


Sepertinya dia tahu dia memiliki waktu yang sibuk sehingga merasa harus menghemat waktu yang baik untuk keluarganya. Jika ada waktu, kami suka pergi ke tempat-tempat wisata di bawah jaminan tiket diskon khusus untuk keluarga anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI). 


Atau jalan-jalan ke tempat-tempat yang ada di Bandung. Aku pernah diajak ke tempat billiard di daerah Kiara Condong. Sebagai seorang anak SMP kelas satu, tentu saja itu bukan tempat yang baik menurut para pakar pendidikan, tapi malam minggu itu ayah mengajak aku dan kakakku pergi ke sana.


Apa yang aku dan kakak aku lakukan hanya duduk minum Green Spot dan kacang goreng sambil nonton ayah bermain billiard. Masih bisa aku ingat waktu itu ayah main billiard bersama Abah Apeng (S E N S O R dari Cicadas) dan Kang Ceper (penguasa tempat itu). Tentu saja aku mengenalnya karena ayah pernah cerita tentang mereka. 

“Kalau Abah Apeng itu, bandar judi”, kata Ayahku di perjalanan kami pulang

“Gak boleh judi, Ayah”, kata Bang Landin

“Iya dong. Gak boleh,” jawab Ayah. “Ayah cuma berteman”

“Ayah ikut judi gak?”, kutanya

“Ayah sudah bilang cuma berteman”, jawab Ayah

“Iya”

“Jangan bilang ke Bunda, kita dari tempat billiard,” kata ayahku kemudian. 

“Jangan bohong, Ayah”, kata kakakku.

“Oh iya”, jawab ayahku. “Bilang ke Bunda udah dari tempat Billiar, terus nanti kita janji gak 

akan ke sana lagi”


Sesampainya di rumah, si Bundanya sudah tidur, sehingga yang buka pintu Bi Diah. Besoknya Bunda tidak bertanya dari mana kami semalem. Syukur alhamdulilah, sehingga dengan itu kami jadi gak perlu janji ke si Bunda untuk tidak akan pernah datang lagi ke tempat billiard. 


Tahun 1997 (kalau gak salah), yaitu waktu aku sudah tingkat akhir kuliah, ada khabar bahwa tempat billiard itu diserbu oleh kelompok tertentu, kemudian aku tidak pernah melihat tempat itu lagi sampai sekarang. 


Aku tidak mau memberi pandangan tentang apa yang dilakukan oleh kelompok agama itu, yang  pasti, biar bagaimana pun, tempat itu menjadi salah satu saksinya untuk banyak kenangan yang pernah aku alami bersama ayah. 


Mau gimana lagi, apapun yang kau katakan, secara pribadi aku berterimakasih kepada Ayah bahwa aku pernah punya kesempatan untuk pernah datang ke tempat itu dan aku tidak pernah datang lagi ke tempat seperti itu sampai sekarang. 


Setiap aku mengenang ayah, aku masih ingat bagaimana ayahku begitu riang dan nyanyi dengan suara keras di kamar mandi, seolah-olah dia tidak akan pernah lupa untuk melakukan hal itu setiap kali sedang mandi:

“Hampir malam di Jogya

Ketika keretaku tiba

Remang remang cuaca

Terkejut aku tiba tiba”


Kalau ada anaknya yang cemberut disebabkan karena ngambek oleh masalah yang sepele, biasanya dia datang untuk duduk di sampingnya dan aku masih ingat dia pernah bicara: 

“Tak ada yang selesai dengan menangis”, katanya.

“Aku gak nangis”

“Masa ada air matanya?”

“Gak tau”, kataku langsung telungkup di atas sofa, sambil menghapus air mata diam-diam. Aku masih TK waktu itu.

“Bunda! Air mata siapa di pipi Dilan?”, Ayah nanya ke Bunda dengan agak teriak karena si Bundanya sedang ada di ruang tengah.

“Air matanya laaah!!”, jawab Bunda

“Bukan katanya”

“Diaaaam!”, kataku sambil terus telungkup.


Pada masa mudanya, ayahku cukup dekat dengan berbagai lapisan masyarakat. Selain dekat dengan Pak Asni, ulama di daerahku, dia juga dekat dengan preman-preman di wilayah tertentu yang ada di Bandung. 


Kadang-kadang ayahku sering nyuruh Mang Saman untuk ngantar dia ke tempat yang mau dia tuju, menjadi seperti sopir pribadi. Dan kamu harus tahu Mang Saman itu siapa, dia adalah salah seorang preman yang ada di daerah Buahbatu. 


Sesekali Mang Saman suka datang ke rumahku bersama istrinya, termasuk untuk membetulkan mobil Nissan si Bunda kalau mogok. Sedangkan istrinya akan diam di dapur untuk membantu Bi Diah membuat masakan. 


Kalau ayah lagi di rumah, kadang-kadang suka nyuruh Mang Saman ngajak aku dan Disa  jalan-jalan. 

“Asiiik!”, kata Disa. Kalau gak salah waktu itu Disa masih TK dan aku sudah kelas 5 SD (Aku hanya bisa ngira-ngira, karena benar-benar sudah lupa)


Kami pergi dengan Mang Saman menggunakan mobil Nissan. Tidak jauh, hanya menyusuri jalan di komplek perumahan yang belum rame kayak sekarang. Betul-betul masih sepi sehingga Mang Saman bisa nyetir dengan cara turun dari mobil. Entah bagaimana, dia bisa melakukannya. Dia benar-benar lari di samping mobil yang pintunya dia buka, sementara tangannya masih terus megang setir, sehingga mobil yang sedang maju pelan bisa tetap di dalam kendalinya. Aku ketawa menyaksikan akrobat yang hanya berlangsung sebentar itu:

“Lagiiii!!!”, kataku, setelah Mang Saman loncat dan duduk lagi di bangku sopir.

“Udah ah”, kata Mang Saman, “Nanti dimarah Ayah”

“Ayah di rumah!”, kata Disa tiba-tiba.


Tidak jarang Mang Saman ngajak kami untuk nongkrong di warung kopi yang dulu dikenal sebagai sarang preman, sehingga oleh itu kami bisa mengenal beberapa orang di antaranya. 

“Siapa, Man?”, tanya orang gemuk bertatto ke Mang Saman. Aku lupa namanya. Dia memakai jaket jeans belel yang bagian tangannya digunting.

“Anak Pak Ical”, jawab Mang Saman

“Oh?”, kata dia. 

“Siapa namamu?”, tanya orang itu ke aku dengan muka yang ramah

“Aku Dilan, kelas 5 SD”, kujawab dengan lantang.

“Waah”, katanya

“Aku Disa!”, Disa menjawab 

“Dilan, Disa”, katanya. “Mau jajan apa?”

“Krupuk!”, kujawab sambil mengacungkan krupuk yang sebagiannya sedang kukunyah.

“Ambil aja ya. Nanti Om yang bayar”, kata dia kemudian kepadaku.  


Sekitar tahun 1983, preman-preman itu habis karena dibunuh oleh para penembak misterius atau Petrus, entah bagaimana hatiku merasa seperti berhenti saat itu. Banyak orang menduga Petrus adalah operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto untuk menanggulangi tingkat kejahatan. 


Selama persitiwa itu, Mang Saman sembunyi di rumahku. Dia selamat, tapi yang lain tidak. Mayoritas yang tewas adalah preman yang tubuhnya dipenuhi oleh tatto. Jenazahnya dimasukin ke dalam karung dan dibuang di tempat umum, salah satunya adalah kang Oji. Aku sedih karena anaknya Kang Oji adalah temanku, namanya Uung. Istri Kang Oji datang ke rumahku bersama Uung dan menangis di teras rumah di saat mereka sedang ngobrol dengan Bunda. 


Aku sangat dekat dengan Mang Saman, aku pikir dia adalah temanku. Dia meninggal tahun 1988 disebabkan oleh karena dia sakit. Sebelum meninggal dia dikenal sebagai orang yang agamis dan menjadi pengurus DKM di salah satu masjid yang ada di daerahnya. Siapa akan nyangka di ujung hidupnya Mang Saman menjadi orang yang baik sekaligus dikenal sebagai seorang Muadzin. Aku melihat ayah menangis di kuburan Mang Saman sore itu.


Itulah ayahku, sebagian tentang dia sudah Lia ceritakan di dalam buku “Dilan, Dia Adalah Dilanku”. Biar bagaimana pun, aku merasa cerita di atas perlu aku sampaikan untuk bisa memahami bagaimana aku tumbuh. 
Diubah oleh izzabachrul 27-05-2019 15:13
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
3
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.