Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

stef.mjzAvatar border
TS
stef.mjz 
Pilihanmu Sudah Tepat
Quote:


Hai ~ balik lagi dengan ane si penulis yang menjunjung tinggi prokrastinasi alias suka posting yang mepet deadline! emoticon-Leh Uga
Ijinkan ane berbagi kisah manis yang ane kemas dalam bentuk fiksi, pernah ane posting di forum sini(COC Cerpen Hari Guru, tapi gak menang emoticon-Ngakak (S)), oleh karena itu untuk meramaikan event Kaskus Kreator, akhirnya ane rubah sedemikian rupa supaya teduh untuk dibaca di bulan Ramadhan yang penuh berkah dan damai emoticon-Kiss (S)
~ Selamat membaca ~


Pilihanmu Sudah Tepat
oleh : stef.mjz emoticon-Cool


Waktuberjalan manusia tak mungkin diam. Setengah usia kuhabiskan demi ini. Koper berat kuajak menghadang jalanan batu. High heels tak kulepas meski tahu jalanan ini tak bersahabat dengan sandal mahalku. Perlahan pipiku memgembang, mataku menengadah mengamati bagaimana sunyi pelabuhan. Aku kembali, aku pulang. Aku datangi kampung halaman. Rindu bersua bersama keluarga. Bukankah ini hasil kerja keras? Seberapa butuh uang tuk bertahan, aku datang sebagai perantau yang handal. Paras tak selusuh awal aku datang ke ibukota. Segalanya berubah, apa yang kupakai dan kumakan tak sama ketika aku berada di sini. Wanita metropolitan. Mungkin itu sebutan yang tepat untuk aku yang sudah lama tak menginjak tanah kelahiran. Aku benar-benar kembali! Di ujung jauh dari ibu kota, telusuri lebih dalam menuju perkampungan Padang, aku datang bersama dengan ribuan tanya---sampai kapan manusia mau hidup begini? Pergilah ke ibukota, pergi demi kehidupan yang baik, bukan terkurung dalam sempitnya perkampungan. Aku terkekeh dalam kemenangan, kembali berputar arah untuk masuk ke dalam mobil.

"Hebat benar Nona bawa mobil mewah kembali ke kampung."

Celetuk sopirku dengan raut lelah. Omong kosong katakan aku hebat, jelas saja ia kubayar mahal demi antar tapaki jalan terjal. Aku membuang muka, menyumpahi perkampungan yang bahkan tak berkehendak memberiku sinyal smartphone.

"Ada kepentingan apa sampai nyonya kembali pulang? Bukankah sudah bagus hidup mewah di ibukota?"

Senyumku merekah tajam. Sekali lagi ia bicara, mungkin saja sudah kusuruh turun dan aku yang akan mengendarai mobilku sendiri.
Pertanyaan bodoh untuk orang yang  ingin kembali dari perantauan. Aku butuh melihat dan menyentuh keluargaku, memastikan mereka baik-baik saja meski selama ini aku tak pernah absen memberi uang bulanan.
Ibukota memang indah, ibukota memang pengasup uang paling deras. Itu benar. Itu memang benar.

"Sopir, antar aku ke suatu tempat sebelum benar-benar kembali ke rumah."

"Kemana nona?"

Mataku menerawang jauh dari balik jendela mobil. Lambat-laun sesuatu yang merebak jatuh dengan lihai. Airmataku jatuh tanpa permisi. Hatiku sakit. Hatiku meradang dengan segala kebanggaan akan mudahnya mencari uang di ibukota. Satu hal yang pasti, satu alasan mengapa aku datang kembali ke rumah... aku butuh bertemu dengannya. Sahabatku. Satu-satunya yang menolak kuajak merantau hanya demi satu alasan basi.

"Aku mau mengabdikan diri jadi guru mengaji di desa ini."



◆◆◆


Tepat di depannya aku berdiri tanpa beban. Bagai dua kubu yang berbeda, wanita berpakaian mahal dan wanita yang hanya memakai kerudung sederhana. Kami saling memandang dengan napas tertahan.

Padahal di kampung ini kami lahir dan tumbuh bersama. Menelusuri ladang sawit sambil bercerita tentang indahnya masa depan. Bersama-sama berjalan tanpa alas kaki, makan seadanya, belajar tanpa lampu, dan kini tersisa hanya kami yang mulai beranjak dewasa---dua sahabat yang sudah lama tak bertemu. Saling menatap, saling menumpas kenyataan bagaimana kejamnya waktu mendorong kami semakin tenggelam dalam keegoan. Aku menatap matanya tanpa sekalipun berkedip. Perlahan tubuhku membungkuk, memberi hormat dari palung hati paling dalam, memberi tahu dengan sungguh betapa berharga pilihan yang sudah ia ambil. Pilihan yang dulunya kusebut basi. Pilihan untuk menjadi guru di desa kami yang tertinggal jauh.

"Ba a kaba? Lai aman-aman se?" (Apa kabar? Baik-baik saja kan?)

Sapaku dengan tulus. Kulihat ia nampak meronta ingin segera memelukku. Namun keraguan mencegahnya tetap mematung. Sandal jepit dengan pakaian yang seadaannya telah membuat sahabatku malu tuk mendekat. Ya Tuhan, hatiku semakin meradang pilu.

"Sehat. Surang(sendiri) datang kemari?"

Ujarnya dengan lembut. Senyum manis menghiasi wajah kusamnya. Aku luluh dalam kebingungan. Rasa canggung membuat kami seperti orang asing. Namun segalanya segera kutumpas dalam satu kali waktu. Aku berlari dan menghempaskan tubuhku penuh arti. Aku memeluk guru muda yang hebat. Guru muda yang menurutku jauh lebih sukses dari aku sang perantau ibukota.

"Sudah jadi guru rupanya. Aku bangga dengan kau, Na."

Bisikku dalam gemetar. Kurasakan Ratna turut membungkam punggungku. Tiada lagi kasta membedakan siapa kami berdua. Apa yang kami pakai dan dimana kami menjejakkan mimpi. Kami tetaplah pemimpi yang lahir bersama di pelosok jauh dari kota Bukittingi.

"Aku salah sewaktu bilang mimpimu itu basi. Aku datang untuk minta maaf, Na. Maaf."

"Indak. (Tidak) Indak perlu minta maaf. Indak apa, indak apa.."

Tangisku tumpah-ruah. Ratna terus menggenggam dan menyakinkan bahwa aku tak perlu merasa bersalah.

Padahal...

Apa yang kuucap beberapa tahun silam sungguh tak patut dimaafkan....

Aku sudah berani menghina manusia dengan mimpinya yang mulia...

Seketika seluruh tubuhku melemas. Pelukan kami tak berarti apapun. Dibanding dengan pembuktian yang sudah ia tunjukkan padaku....

Aku semakin larut dalam rasa bersalah....

◆◆◆


"Bangga jadi guru?"

"Susah diajak merantau hanya karena ingin jadi guru?"

"Kamu bisa jadi guru sukses di ibukota, Na!"

"Jadi guru boleh saja, tapi perhatikan kesejahteraan kamu! Lihat! Punya berapa potong pakaian bagus? Ikut aku merantau, Na. Setidaknya kamu bisa meraih cita-cita dengan penghasilan yang cukup."

"Kalau guru tetap dan PNS sih enggak apa! Kamu mau memulai dengan mengajar ngaji anak-anak!?"

"Kamu terlalu nyaman tinggal di desa ini, Na. Aku semakin kasihan lihat kamu. Cita-citamu terlalu biasa. Jadi guru. Itu sesuatu yang mudah, kamu mau-mau saja dibayar murah."


.....

...

..

Benarkah Ratna sudah memaafkan aku? Rasanya mual mengingat mulutku yang bahkan tak layak mengomentari cita-citanya. Aku tahu bagaimana sulitnya menjadi guru. Tidak semua mahluk bisa menekuni profesi ini.

Aku terdiam beberapa saat. Kuamati anak-anak
berpakaian lusuh datang satu persatu. Aku sengaja datang lebih awal untuk memastikan apa yang perlu diperbaiki untuk sekolah mengaji-nya. Aku mencatat dan memperhatikan,menghitung, mempertimbangkan berapa banyak biaya yang harus kudonasikan untuk kelancaran kegiatan mengajar. Buku, setelan seragam, alat tulis, hingga peralatan penunjang belajar mengaji sudah aku catat. Aku tahu hal ini tak akan pernah setimpal dengan apa yang sudah kulontarkan pada Ratna.
Seketika tubuhku bergeming, aku mendengar suara sepeda renta memasuki halaman sekolah. Aku mengamati dan menemukan Ratna tengah terengah karena sengatan matahari. Ia baru saja datang dengan sepeda. Tas kusam bersandar di bahu mungilnya, kerudungnya nampak rapi namun terlihat usang. Anak-anak mulai berteriak seolah-olah Ratna adalah idola mereka. Satu-persatu berebut untuk mencium tangannya. Hatiku semakin hancur.. aku menjauh dan menunggu Ratna keluar dari kelas. Satu batang rokok telah kuhisap,  aku menikmati udara panas dengan hati yang kalut.

◆◆◆


"Jadi guru itu memang indakbisa diprediksi. Semua berjalan dengan semestinya. Aku bahagia jadi guru, Nda. Sama seperti kamu yang berhasil jadi model di ibukota. Kamu juga bahagia kan?"

Senyumku mengembang makin lebar.

"Melihat murid-muridku datang dengan jalan kaki puluhan kilo sudah cukup jadi bayaranku mengajar. Ada ribuan mimpi dibalik teguhnya anak yang ingin bersekolah. Aku indak menyesal menjadi guru disini, Nda."

Kuhisap batang rokok terakhirku dengan puas. Ratna mengeluarkan botol air dari tasnya dan memberikan padaku.

"Honor memang indakbanyak. Tapi rasa lega dan syukur buat aku bertahan jadi guru, Nda. Aku bertekad memajukan pendidikan di desa ini sejak aku masih kecil. Sejak kita masih bermimpi kepingin kuliah di negeri China. Ini sudah mutlak cita-citaku."

Ratna memeluk tas lusuhnya dan tersenyum.

"Aku indak bisa membayangkan sedihnya jadi anak tanpa ilmu. Dan aku bisa merasakan hembusan lega dari orang tua yang anaknya bisa mengenyam bangku sekolah. Itu sudah lebih dari cukup."

"Untuk itulah kamu dengan mudahnya memaafkan aku?"

Sahutku dengan cepat. Ratna seketika mengangguk, mengusap lembut pundakku dalam diam.

"Aku paham kamu kecewa karena pilihanku, Nda. Tapi cita-cita tetaplah cita-cita. Besar kecil bukan jadi masalah. Apa yang sudah dicapai, apa yang jadi keinginan, itulah yang terpenting."

"Meski tanpa penghasilan yang cukup?"

"Tanpa harus dibayar pun aku tetap mau jadi guru, Nda."

Telak sudah jawaban yang Ratna berikan padaku. Aku diam tanpa sedikitpun berucap. Sampai menyadari sore tiba, Ratna mengajakku pulang sambil menuntun sepedanya.

"Bahagialah dengan cita-cita, Nda. Aku sudah melakukan itu. Aku harap kamu merasakan hal yang sama."

"Na."

"Ya, Nda?"

"Cita-citaku hanya satu."

"Apa?"

Ratna menghentikan langkah kakinya dan menatapku. Aku mengeluarkan sesuatu dari tas mahalku dan menyerahkan padanya.

"Berjuang memperkuat cita-cita sahabat, itu juga impianku."

Setelah mengatakan itu aku bergegas pergi dari pandangan Ratna untuk segera kembali masuk ke dalam mobil.
Kulihat Ratna masih terpaku dengan kertas pemberianku. Kertas bertuliskan nominal yang menurutku tak mampu menggantikan ketulusan Ratna menjadi guru di desa kami.

Quote:
Diubah oleh stef.mjz 26-05-2019 18:39
gabener.edanAvatar border
kelayan00Avatar border
anasabilaAvatar border
anasabila dan 2 lainnya memberi reputasi
3
837
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.