Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jkptievaAvatar border
TS
jkptieva
Inilah Yang Di Beritakan Media Asing Tentang Pemilu Curang Yang Di Katakan Prabowo
Inilah Yang Di Beritakan Media Asing Tentang Pemilu Curang Yang Di Katakan Prabowo

Berminggu-minggu setelah pelaksaan Pilpres 2019 tanggal 17 April lalu, kandidat oposisi Prabowo Subianto masih juga belum mengaku kalah. Bahkan, Klaim kemenangan Prabowo semakin ditingkatkan. Mantan jenderal ini juga sempat mengundang media asing untuk memberi tahu mereka tentang apa yang menurutnya kecurangan besar-besaran dalam pemilu kali ini. Namun, apakah mereka mempercayai Prabowo? 
Usai pemungutan suara Pilpres 2019 pada 17 April lalu, masyarakat Indonesia masih belum bisa bernapas lega, karena pengumuman resminya baru akan diumumkan pada 22 Mei mendatang. Sambil menunggu hasil resmi, kedua belah pihak pun mengklaim kemenangan. Terutama kandidat oposisi Prabowo Subianto.

Klaim kemenangan Prabowo bertentangan dengan hasil berbagai lembaga survei hitung cepat dan hasil resmi KPU sejauh ini. Badan Pemenangan Nasional (BPN) mengatakan bahwa mereka memiliki penghitungan suaranya sendiri yang memberikan kemenangan kepada kubu 02. Pada Selasa (14/5) kemarin, BPN pun menggelar acara Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pilpres 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta.

Beberapa waktu lalu, Prabowo juga sempat mengundang berbagai media asing ke kediamannya di Kertanegara. Tapi apakah media asing mendukung klaim kemenangan Prabowo?

Media Singapura The Straits Timesmengatakan bahwa klaim kemenangan Prabowo meningkatkan kemungkinan Indonesia akan terus terpecah, jika Prabowo terus menolak mengaku kalah. Pemungutan suaranya sendiri mungkin memang telah berlangsung dengan damai dan teratur. Namun proses itu menyisakan jejak kematian lebih dari 400 petugas KPPS dan petugas keamanan, sebagian besar akibat penyakit yang berhubungan dengan kelelahan.

Pemilu di Indonesia membutuhkan upaya yang sangat besar. Lebih dari 800.000 TPS disiapkan tahun ini dan sekitar tujuh juta orang disebar ke seluruh penjuru negeri, kebanyakan dari mereka harus bekerja selama 20 jam tanpa henti.

Meski begitu, pemilu tahun ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki semangat demokrasi yang besar, di mana pemilih yang memberikan suara mereka mencapai angka 81 persen dari 192 juta pemilih.

Walaupun berbagai masalah yang ada menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia adalah tugas yang masih harus diselesaikan, namun jika pemerintah bisa membantu menjaga kepercayaan rakyat pada “pesta demokrasi,” maka demokrasi kita belumlah terkalahkan.

Dalam artikel yang berbeda, The Straits Times mengatakan bahwa klaim dini Prabowo bahwa ia memenangkan pemilihan presiden pada Rabu (17/4) lalu dan penolakannya terhadap hasil hitung cepat—yang terbukti akurat dalam tiga pemilihan presiden sebelumnya—membuat banyak orang Indonesia teringat akan pengalaman Pilpres 2014.

Para pengamat mengatakan bahwa apa yang dilakukan Prabowo (67 tahun), bisa jadi merupakan murni kesalahan yang jujur atau sebagai upaya menyebarkan tipuan.

Dodi Ambardi, analis politik di Universitas Gadjah Mada, merasa bahwa jenderal purnawirawan itu mungkin telah mendapatkan informasi yang salah tentang penghitungan suara yang dilakukan oleh timnya sendiri. Ada juga kemungkinan bahwa tim kampanyenya mungkin telah menerima informasi yang meyakinkan mereka bahwa terdapat kecurangan masif dalam Pilpres 2019, tetapi mereka tidak memeriksanya terlebih dahulu.

“Kecurangan dalam pemilu selalu terjadi, tetapi itu tidak membuat pemilu batal jika tidak dilakukan secara sistematis, masif, dan struktural,” kata Dodi kepada The Straits Times, dilansir Minggu (28/4).

Prabowo menghadapi tekanan yang semakin besar untuk memberikan justifikasi atas klaimnya bahwa penghitungan suara timnya menunjukkan bahwa dia meraih 62 persen suara.

Sebuah kelompok masyarakat sipil melaporkan Prabowo ke polisi pada Selasa (23/4), menuduhnya sengaja menyebarkan kebohongan dan memicu kebingungan publik yang berpotensi memecah-belah masyarakat. Perwakilan kelompok tersebut, Ade Armando, seorang dosen di Universitas Indonesia, mengatakan kepada awak media bahwa tindakan tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan.

“Prabowo mungkin belum ditangkap sekarang, tetapi setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil resmi yang membantah klaimnya dan terbukti bahwa ia memiliki niat buruk, Prabowo dapat menghadapi hukuman penjara maksimal 10 tahun,” tutur Ade.

Sebuah asosiasi rektor universitas juga mempertimbangkan masalah ini, mengeluarkan pernyataan tegas bahwa seorang kandidat presiden harus siap untuk menerima kekalahan, dan mendesak para pendukung kandidat untuk tidak melakukan tindakan apa pun yang dapat menimbulkan kekhawatiran di masyarakat.

Dalam Pilpres 2014 sebelumnya, Jokowi menang dengan meraih 53 persen suara, sementara Prabowo masih mengklaim kemenangan. Tim kampanye Prabowo saat itu mengajukan gugatan terhadap hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi dan menuduh bahwa Pilpres 2014 dipenuhi kecurangan. MK kemudian menolak gugatan Prabowo dan memutuskan bahwa kecurangan terjadi dengan sangat kecil dan tidak mempengaruhi hasil pemilu secara keseluruhan.

Tetapi beberapa pengamat termasuk Dr Alexander R. Arifianto, seorang peneliti program Indonesia di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, memiliki pandangan berbeda tentang Prabowo.

Para pengamat mengatakan bahwa jenderal purnawirawan yang secara luas telah dianggap memainkan kartu agama tersebut mungkin saja mengejar agenda tertentu dan memiliki kepercayaan diri yang kuat tentang hal itu.

Bukan tidak mungkin bahwa klaim kemenangan Prabowo yang terlalu dini dan penolakan terhadap hasil hitung cepat dilakukan karena dirinya berupaya menyebarkan tipuan, menurut para pengamat, mengutip inkonsistensinya dalam hal tersebut selama ini.

Dr Alexander mengatakan bahwa, “Para pendukung Prabowo adalah kelompok militan yang mudah dimobilisasi untuk turun ke jalan. Inilah yang membuat Prabowo percaya diri. Dia sekarang didukung oleh Gerakan 212.”

“Gerakan 212 ini sejak sebelum Pilpres 2019 mengatakan bahwa jika Jokowi menang dalam pemilu, mereka akan menggunakan kekuatan rakyat,” kata Dr Alexander.

Dalam artikel mereka pada tanggal 20 April 2019, South China Morning Post(SCMP), media yang berbasis di Hong Kong, bahkan sampai repot-repot mewancarai beberapa psikolog sekaligus untuk mencari tahu apa yang salah dengan klaim kemenangan Prabowo.

Profesor psikologi UI Hamdi Muluk yang diwawancarai SCMP mengatatakan ia tidak kaget dengan klaim kemenangan Prabowo. Hamdi mengatakan, jelang Pilpres 2014 ia telah mensurvei 204 psikolog tentang kepribadian Prabowo dan Jokowi.

“Kami menemukan kecenderungan delusi keagungan pada kepribadian Prabowo. Ia melihat dirinya sebagai sosok yang hebat, sehingga ia akan terkejut ketika kalah,” ujar Hamdi.

“Seorang negarawan sejati hanya akan mengatakan bahwa mereka adalah presiden setelah pelantikan,” lanjut Hamdi. Ia juga mengingatkan agar orang-orang yang dekat dengan Prabowo sebaiknya tidak memprovokasi pendukungnya untuk melanjutkan revolusi ala people power dan tetap setia pada konstitusi. “Biarkan dia saja yang memiliki delusi keagungan ini,” tegasnya.

Media Australia The Sydney Morning Herald bahkan mendorong Prabowo untuk menghadapi kenyataan dan sekali lagi menerima kekalahan. Media itu mengutip “hitung cepat” oleh berbagai lembaga survei terkemuka yang dirilis sesaat setelah Pilpres 2019 pada 17 April lalu, yang semuanya menunjukkan Presiden Joko Widodo mengalahkan Prabowo Subianto dengan baik. Perkiraan margin bervariasi dari 8 hingga 10 persen.

Tetapi Prabowo dan tim kampanyenya sekarang menuduh kesalahan entri data di setidaknya 73.100 TPS. Mereka mengklaim bahwa 6,7 ​​juta orang tidak mendapat undangan untuk memilih, dan petahana telah menggunakan alat negara untuk keuntungannya. Misalnya, dua pendukung Prabowo menghadapi dakwaan makar karena mengklaim hasil pemilu itu curang.

The Sydney Morning Herald juga melihat pasangan calon wakil presiden Prabowo, Sandiaga Uno, berada dalam saat-saat yang sulit. Dia harus terlihat mendukung Prabowo dalam periode pasca-pemilu ini, terutama jika dia menginginkan dukungan politik dari Partai Gerindra Prabowo pada tahun 2024.

Tetapi Sandi juga berisiko merusak dirinya sendiri secara politis jika ia memprotes hasil pemilu terlalu keras, dan menyejajarkan dirinya terlalu dekat dengan protes Prabowo.

Yang jauh lebih jelas adalah masa depan bagi Prabowo, seorang mantan jenderal militer berusia 67 tahun yang telah lama merasakan bahwa sudah menjadi takdirnya untuk menjadi Presiden Indonesia.

Pada 22 Mei, ketika hasil pemilu diumumkan—kecuali adanya perubahan ajaib dalam penghitungan suara—dia akhirnya, dengan terhormat, harus mengakui kekalahan.

Asia Times, media asal Hong Kong, menyebut bahwa para analis memiliki dua pemikiran tentang apakah Prabowo benar-benar percaya bahwa dia adalah korban dari kecurangan pemilu besar-besaran, atau apakah dia justru akan mencari konsesi politik dari Presiden Joko Widodo dalam pembentukan pemerintahan baru.

Mencoba memahami pernyataan politisi mantan jenderal itu terkadang sulit, tetapi para pengamat menduga bahwa Prabowo mungkin ingin terus memberikan tekanan pada Jokowi dalam upaya untuk mendapatkan setidaknya sesuatu dari kemungkinan upaya terakhirnya maju dalam pilpres.

Dengan Prabowo mengancam revolusi kekuatan rakyat (people power), Jokowi mengatakan bahwa dia mengirim utusan untuk menenangkan keadaan. Tetapi ketika diketahui bahwa utusan itu adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan, ada kekhawatiran bahwa apa yang diharapkan menjadi makan siang yang tenang pada Minggu (21/4) akan berubah menjadi kekacauan.

Mengingat perpecahan agama dan etnis pada Pilpres 2019, para pengamat bertanya-tanya apakah memasukkan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo ke kabinet yang baru mungkin pada akhirnya akan mengarah pada upaya mempersatukan kembali bangsa.

Prabowo dan keluarganya—yang sebagian besar beragama Kristen—tentu hanya memiliki sedikit kesamaan dengan lobi Islam konservatif yang telah mendukungnya. Ini adalah penggabungan yang menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana pemerintahan Prabowo akan terlihat jika ia berkuasa.

Meskipun mitra koalisinya—Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN)—tidak banyak bicara tentang hasil pemilu, namun Prabowo tetap yakin bahwa hasil hitung cepat dan exit poll tidak menggambarkan kenyataan tentang apa yang ia klaim sebagai praktik demokrasi yang cacat.

Yang bahkan sempat menimbulkan kehebohan, media Australia The Australian menyebut Prabowo dalam judulnya dengan sebutan ‘loser‘ atau seorang ‘pecundang’ yang mengklaim kemenangan dalam Pilpres 2019. Hal ini sontak menjadi perdebatan di masyarakat Indonesia, khususnya di media sosial.

Media Amerika Serikat juga tidak ketinggalan dalam menuliskan berita tentang klaim kemenangan Prabowo. Dalam artikel tanggal 30 April 2019,Bloomberg menegaskan kemenangan Jokowi, menyoroti perolehan suara sementara yang dikumpulkan KPU. Tidak berlama-lama membahas pernyataan Prabowo, media itu mengalihkan fokusnya pada periode kedua Jokowi–yang dengan kata lain menerima hasil dari hitung cepat dan penghitungan resmi KPU yang disangkal oleh Prabowo.

Dalam sebuah artikel op-ed yang diterbitkan pada tanggal 9 Mei 2019, media Turki Daily Sabah menulis bahwa Jokowi berhasil mempertahankan posisinya. Retorika ekonomi Jokowi dianggap telah berhasil mengalahkan tawaran yang diberikan oleh Prabowo. Kampanye hitam terhadap Jokowi juga tidak berhasil mengikis kepercayaan rakyat terhadap Presiden.

“Pemilu telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia sangat menyadari keuntungan ekonomi dan disaat yang sama memahami bahwa kekuatan ekonomi tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam,” tulis seorang kandidat PhD, Muhammet Ali Güler, dalam op-ed tersebut. Güler menambahkan, kebanyakan orang Indonesia yang ia temui adalah pendukung Jokowi. Mereka mendukung Presiden kebanyakan karena alasan yang sederhana tapi nyata–yang belum berhasil diwujudkan Prabowo, seperti: peresmian MRT dan kesuksesan Asian Games yang diadakan tahun lalu.


Yang mungkin lebih menyakitkan bagi Prabowo dan pendukungnya adalah bahwa beberapa media asing bahkan tidak mau repot-repot membahas tentang klaim kemenangan Prabowo. Alih-alih, mereka langsung menulis berbagai artikel analisis tentang apa yang harus dilakukan Jokowi di periode keduanya–secara tidak langsung sudah mensahkan hasil hitung cepat dan hasil penghitungan resmi KPU yang menunjukkan kemenangan Jokowi.

Artikel analisis semi akademis dariIndonesia at Melbourne, Australia, mempertanyakan apakah Jokowi akan bisa membereskan masalah hukum Indonesia pada periode keduanya. Artikel yang diterbitkan pada tanggal 9 Mei 2019 itu membahas bagaimana undang-undang di Indonesia banyak yang tumpang tindih karena kurangnya regulasi. Tulisan itu menyerukan agar Jokowi membereskan kekacauan itu pada periode keduanya.

Bloomberg, yang pada dasarnya adalah media yang berfokus pada ekonomi, membicarakan tentang pemilihan kabinet baru Jokowi untuk periode keduanya. Media Amerika ini juga mengangkat fokus Jokowi tentang pemindahan ibu kota. Klaim kemenangan Prabowo tidak lagi dibahas.

“Presiden Indonesia Joko Widodo berencana untuk melaksanakan reformasi ekonomi yang lebih kuat, mengingat pemilu tidak akan lagi membebani dirinya,” tulis salah satu artikelBloomberg yang diterbitkan pada tanggal 10 Mei 2019. “Fokusnya sekarang adalah pada penanganan defisit neraca berjalan yang tinggi yang membebani mata uang negara, menutup badan-badan pemerintah yang berlebihan, dan membatalkan aturan yang menghambat investasi baru, Jokowi—yang siap untuk memenangkan masa jabatan lima tahun kedua pada Pilpres 2019—mengatakan dalam pertemuan tahunan dengan para pembuat kebijakan di Jakarta.”

Canberra Times, media Australia, merayakan terpilihnya kembali Jokowi. Mereka mengatakan, hal ini bisa menjadi awal baru untuk hubungan Indonesia-Australia. “Hasil resmi pemilu belum akan diumumkan sampai akhir bulan ini, tetapi berdasarkan hasil quick count, kemungkinannya Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo akan menikmati periode kedua, memberikan Indonesia stabilitas pemerintah yang berkelanjutan,” tulis mereka dalam artikel yang diterbitkan pada tanggal 7 Mei 2019.

Media Jepang itu membahas tentang Dirut PLN yang baru dijatuhi tuduhan korupsi, tapi di saat yang sama mengatakan, “Walau kasus-kasus baru-baru ini cukup memusingkan bagi Jokowi, namun reputasi Indonesia sehubungan dengan korupsi telah membaik sejak ia menjabat lima tahun lalu.”

Beberapa contoh artikel media asing di atas menunjukkan bahwa sebagian besar media asing belum dapat mendukung klaim kemenangan Prabowo, sampai hasil resminya ditentukan pada tanggal 22 Mei mendatang. Karena kurangnya bukti-bukti yang dipaparkan pada waktu penulisan, media asing juga belum dapat secara kredibel mengonfirmasi klaim kemenangan itu.

Media—baik asing maupun domestik—masih bersama-sama menunggu pengumuman hasil Pilpres 2019 yang akan diumumkan KPU dalam beberapa hari mendatang. Sampai saat itu, media hanya akan memaparkan fakta resmi yang ada di lapangan dengan analisis dari berbagai pengamat.

Keterangan foto utama: Kandidat presiden Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal, menghadiri upacara peringatan hari jadi Kopassus ke-67 di Jakarta minggu lalu.


suraliaAvatar border
suralia memberi reputasi
1
5.1K
63
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.2KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.