• Beranda
  • ...
  • Domestik
  • Pasar Papringan, Pasar yang Hanya Buka Hari Minggu Wage dan Pon

babygani86Avatar border
TS
babygani86
Pasar Papringan, Pasar yang Hanya Buka Hari Minggu Wage dan Pon
Setiap pagi di hari Minggu Wage dan Pon, warga Dusun Ngadiprono di Kedu selalu sibuk bersiap diri menyambut tamu—tamu bulanan mereka. Minggu pagi itu akan jadi hari besar bagi warga setempat yang umumnya petani dan peternak. Desa mereka bakal kedatangan hampir seribuan Wisatawan yang akan menuju Pasar Papringan. Sebuah event wisata yang terbilang unik, sekaligus mampu mengangkat beragam potensi desa.

Lalu lintas seketika menjadi padat dan riuh karena banyaknya kendaraan bermotor yang terus mengalir masuk ke perkampungan. Akibat keterbatasan tempat, setiap jengkal tanah kosong di Ngadiprono dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Setiap kendaraan diatur rapi dan rapat, agar penggunaan lahannya efisien.

Datanglah sepagi mungkin agar mendapat tempat parkir kendaraan yang nyaman. Semakin siang, parkir akan semakin jauh dari pusat keramaian. Yang artinya, juga harus berjalan kaki lebih jauh lagi.




Bambu adalah mata uang Papringan, asalnya dari “pring”, yang dalam bahasa Jawa artinya bambu. Pasar ini memang berlokasi di sebuah lahan di pinggiran desa seluas 2.500 in dan ditumbuhi pepohonan bambu dewasa yang menjulang tinggi hingga 15—20 in.

Dari kondisi alam ini saja, tentu bisa dibayangkan syahdunya suasana alam di Papringan. Perpaduan rerimbunan pohon penghasil oksigen murni dengan sayup—sayup terdengar irama gesekan dedaunan bambu tatkala angin berembus.

Namun bagi orang—orang kota, yang lebih penting, nuansa hijau—hijauan ini sangatlah instagramable. Tak perlu banyak sentuhan filter—filter polesan, foto akan langsung cantik dipandang.

Potensi kekayaan bambu desa ini pula yang dimanfaatkan sebagai ciri khas Papringan yakni alat pembayaran. Pasar ini hanya mengenal “mata uang” bernama pring yang dihargai Rp2.000 setiap keping.

Pengunjung bisa menukarkan uang bambu di pintu masuk pasar, dengan minimal penukaran Rp. 40.000 (senilai 20 pring). Hanya saja, anda harus benar—benar cermat saat membelinya, karena pring tidak bisa ditukar uang (refund) jika ada kelebihan. Namun pring tetap berlaku pada event—event pasar selanjutnya.



Keunikan pasar ini segera terlihat dari kesungguhannya menggali potensi warga desa setempat, baik barang dagangan maupun segala aktivitasnya. Maka tak heran jika beraneka makanan tradisional jadi andalan. Di samping berbagai hasil pertanian, barang kerajinan, hewan ternak, aneka permainan, sampai pertunjukan kesenian.

Akan tetapi sepertinya mayoritas pengunjung sudah mafhum, tujuan utama mereka adalah menguji daya tampung lambung sampai batas kemampuan. Bahkan, sangat besar kemungkinan, mereka berangkat tanpa sarapan.

Karena itulah, saat pasar mulai dibuka, sekitar pukul 06.30, terasa sekali atmosfer persaingan sengit dari para pengunjung untuk mendapatkan makanan—makanan incaran mereka. Padahal lorong—lorong pasar cukup sempit. Suasana jadi cukup sesak.

Penikmat makanan tradisional tidak boleh ketinggalan berburu berbagai panganan nongluten, nonpengawet, dan nonpewarna sintetis di tempat ini, karena sepertinya segala makanan tradisional semua tersedia.

Makanan—makanan yang paling umum contohnya aneka jajan pasar, dawet, bubur sumsum, bubur kacang hijau, nasi kuning, soto, kupat tahu, gudeg, pecel, wedang tape, dll. Kabarnya ada sekitar 70 pelapak makanan di pasar ini.

Akan tetapi, menariknya, ada pula jenis—jenis makanan membuat alis kita spontan mengernyit. Mungkin terasa asing atau sedikit menerbitkan kecurigaan lantaran nama—namanya “eksotis”. Contoh, ndas borok, yang tak perlu diartikan secara harfiah, karena isinya parutan singkong serta, serta gula aren, lalu dikukus. Atau, wedangpring (artinya minuman bambu) yang komposisinya cengkeh, gula batu, kayu manis, akar alang—alang, serta rebusan daun bambu muda.


Mengingat makanan yang dijajakan sangatlah umum, maka soal rasa tentu akan sulit untuk dinilai apalagi diperbandingkan. Namun dalam hal harga, saya menilainya masih dalam batas wajar.

Untuk makanan—makanan ringan harganya 2—3 pring (sekitar Rp4—6 ribu), sementara yang agak berat berkisar 4—5 pring CRp8—1O ribu). Hanya saja, porsinya cukup “mini” dibandingkan porsi yang biasa kita temui di luaran. Namun positifnya, kita tidak terlalu kenyang dan bersemangat untuk berburu makanan selanjutnya.

Di luar makanan, ada juga jasa pijat. Wanto (usia 30—an) yang sudah tujuh tahun jadi pemijat, memasang tarif 13 pring (Rp26 ribu) untuk pijatan seluruh badan. Sangat mengesankan, karena bagaimana pun, tukang pijat juga termasuk potensi desa setempat.

Gendang gendut tali kecapi, jika perut sudah kenyang maka saatnya melihat—lihat sana—sini. Sungguh menarik, mengamati tingkah polah para turis lokal yang umumnya berasal dari berbagai daerah sekitar seperti Semarang, Solo, Yogyakarta, atau Temanggung. Tentu mereka ini harus berangkat pagi—pagi benar. Kalau tidak, pasti gak kebagian. Semua demi memuaskan rasa penasaran yang sudah lama ngidam kepingin ke Papringan. Keunikan pasar ini sudah Viral di media sosial.

Jika tidak makan, berbagai aktivitas lain bisa dicoba. Beraneka permainan tradisional seperti enggrang, dakon, jungkat—jungkit, atau ayunan. Bisa juga berfoto bersama rombongan kesenian jathilan. Atau, sekadar duduk—duduk sambil menikmati alunan lagu dari alat musik gamelan yang dimainkan warga setempat.



Menariknya, pasar ini rupanya mencoba untuk mengusung semangat ramah lingkungan. Segala peralatan makan, tak ada yang berbahan plastik. Hanya ada bahan gerabah, tempurung kelapa, dedaunan, bambu, atau beling. Peralatan makan itu pun digunakan pengunjung secara bergantian setelah tentu dicuci terlebih dulu. Situasi inilah yang menyebabkan pengunjung kadang harus sabar menunggu lantaran terbatasnya jumlah piring dan gelas.

Berbagai peralatan makan itu pun dicuci dengan lerak (Sapindus rarak De Candole). Sabun cuci tradisional puluhan tahun silam ketika orangtua kalian menggunakan sabun lerak cap Kumbokarno untuk mencuci pakaian.

Sebagian pengunjung yang pernah ke Papringan sebelumnya akan lebih siap. Misal, mereka bawa wadah makanan sendiri. Wadah—Wadah ini sangat berguna ketika makan. Atau untuk menampung makanan sisa, sementara kita tak ingin membuangnya.

Pelajaran lain adalah perlunya menyiapkan tas untuk membawa bungkusan makanan atau sekadar buah tangan. Karena kantong plastik kresek tentu diharamkan. Pengunjung juga bisa membeli tas anyaman bambu yang cukup cantic dan fungsional.



Semangat kembali ke alam itu tentu memberi kesan tersendiri bagi para pengunjung. Jika diperkaya dengan paduan budaya setempat, rasanya Papringan akan layak dijadikan alternative agenda wisata di Jawa Tengah. Sehingga Wisatawan tidak melulu membanjiri Yogyakarta atau Solo yang sepertinya sudah kelebihan muatan.

Acara ini mengingatkan kita pada kisah—kisah pasar tradisional masa silam yang pernah kita lihat di foto—foto hitam putih. Dengan areal pasar yang terbuka, barang dagangan yang berasal dari potensi masyarakat setempat, serta hanya buka pada hari pasaran tertentu.

Pasar yang digelar kali pertama pada Januari 2016 ini memang hanya buka pada Minggu Wage atau Minggu Pon saban bulan. Beruntungnya di zaman media sosial sekarang ini, kita cukup mengecek jadwalnya melalui akun Instagram Pasar Papringan di @pasarpapringan.

Salah satu kendala yang mungkin dirasakan pengunjung adalah soal lokasi pasar. Dari Semarang jaraknya sekitar 90 km, sementara dari Yogyakarta sekitar 80 km. Dari kota terdekat saja, yakni Temanggung, masih 13 km melalui Jalan Ajibarang — Secang.

Padahal acara boleh dibilang berlangsung cukup singkat. Sekitar pukul 10.00 atau cuma tiga setengah jam, beberapa pelapak makanan sudah membereskan dagangan karena habis.



Ketika banyak pelapak yang sudah berbenah, maka arus kendaraan yang akan masuk ke desa juga sudah distop. Sebab, kini giliran kendaraan pengunjung yang akan bersiap—siap pulang. Padahal, di gerbang menuju desa, masih ada pengunjung yang baru datang. Sayang sekali mereka terlambat.

Agar bisa menikmati Papringan tanpa merasa terburu—buru, alternatifnya adalah menginap semalam di Temanggung. Pilihan inilah pula yang banyak dijalani bersama keluarga. Sesekali bemalam minggu di kota tembakau ini juga rasanya cukup menarik untuk dicoba.


Spoiler for Referensi:


azidqiAvatar border
azidqi memberi reputasi
1
2.2K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Domestik
DomestikKASKUS Official
10.2KThread3.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.