Orang tua kerap menanyakan kepada kita mengapa cucu kita belum bisa naik motor padahal sudah kelas 8. Hal ini wajar karena mungkin di kampung mereka anak seusia itu sudah mondar mandir dengan sepeda motornya. Tetapi menurut saya anda memberikan senjata pembunuh paling utama pada anak anda, tanpa dibekali kemampuan dia secara emosional, mapan, dan matang.

Saya memang melarang dua anak saya naik motor sebelum waktunya. Setidaknya ketika mereka sudah berusia 16 tahun baru boleh membawa sepeda motor untuk mobilitasnya. Itu pun dalam jarak pendek. Selama itu mereka mengandalkan ojek, angkutan umum, atau sepeda.



Sering saya khawatir ketika ia bersepeda ke rumah saudara atau ke lapangan basket dekat rumah. Namun saya lebih khawatir kalau ia membawa sepeda motor. Ketika terlibat kecelakaan dampaknya akan lebih besar karena bias melibatkan pihak ketiga. Saya kadang cerita kasus kecelakaan di Tol Jagorawi yang melibatkan anak di bawah umur dan menimbulkan banyak korban beberapa tahun silam. Beruntung anak tersebut punya bapak terkenal. Kalau orang biasa?

“Sabar, ya,” hanya itu yang bisa saya katakan ke anak—anak. Mereka mengerti, meski dalam hati siapa tahu? Saya pernah hampir marah ketika si sulung belajar sepeda motor dari temannya. Lalu saya jelaskan bahwa persoalannya bukanlah kemampuan membawa sepeda motor, tapi tanggung jawab di balik membawa motor. Bagaimana kalau ia menabrak orang?

Beruntunglah, selama menunggu itu, si sulung tidak berbuat hal—hal yang “aneh aneh” sebagai pelampiasan karena keinginannya tidak terpenuhi. Ketika ia sudah waktunya mengendarai sepeda motor, perilakunya bisa diandalkan. Tertib pada aturan lalu lintas. Setidaknya itu yang saya tahu saat membonceng dia. Semoga si bungsu bisa meniru jejak kakaknya. 

Jadi mengemudi itu bukan hanya fisiknya tapi kesiapan mentalnya dia, emosi, ini yang menyadari bahwa mengemudi itu adalah salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Kesabaran tidak sesederhana mampu menunggu, tapi bagaimana berperilaku selama menunggu.