Goreng Gedang vs Dadang

Seperti biasa Anang dan Dadang berburu kuliner di pagi hari. Kocek mahasiswa yang serba minim mengharuskan mereka berhemat. Jadinya, tidak aneh kalau dua sahabat itu mencari sarapan yang banyak tapi mengenyangkan. Sayangnya, pagi ini mereka bangun kesiangan. Si bibi tukang nasi kuning langganan mereka terlihat sibuk beres-beres ketika dua pemuda itu tiba di tempat mangkalnya.

"Udah habis toh, Bi?" Anang bertanya seraya membuka tutup termos nasi. Setelah semalaman menahan lapar, perutnya kini menjerit-jerit minta diisi.

Dadang meninju bahu temannya yang tengah sibuk membuka-buka wadah. "Kamu tadi lelet banget di kamar mandi, sih," gerutunya, "ayo, kita cabut!" Dadang mendorong Anang.

"Kemana lagi kita? Uangku sudah tipis. Enggak sanggup beli yang mahal-mahal," celetuk Anang sambil menepuk-nepuk saku belakang yang kempes.

Dadang kehabisan ide. Akhir bulan seperti ini memang segalanya serba menyesakkan, harus berhemat. Akhirnya, pemuda itu hanya bisa mengangkat bahu.

"Alah, susah amat. Kita beli gorengan gedangaja di warung si
Mbok." Tiba-tiba Anang terlonjak dari lamunan dan teringat camilan menggiurkan itu.

"Gorengan gedang?" Dadang mengernyit. Otaknya langsung berputar, berusaha menelaah. "Mana ada gedang digoreng," ucapnya kesal. Dikiranya Anang bercanda.

"Weleh, kamu aja yang kuper. Itu gorengan terenak dan pasti ada dimanapun," Anang menyanggah tegas sambil memberi isyarat agar Dadang mengikutinya.

"Perasaan di warung si Mbok juga enggak ada, deh. Lagian mana bisa gedang digoreng, lembek atuh." Dadang bersikukuh mempertahankan pendapat.

"Semakin lembek, semakin enak. Semakin lembek, semakin manis." Dadang menimpali sambil cengar-cengir.

Alhasil, sepanjang jalan keduanya saling menimpali, bersikukuh dengan keyakinan masing-masing.

"Kamu ini hidup di dunia belahan mana, sih? Masa goreng gedang aja enggak tau!" Anang kesal sekali karena Dadang terus membantah.

Si Mbok sendiri tempat pelarian keduanya di saat keuangan genting. Untungnya, mereka kuliah di Bandung bagian kabupaten. Jadinya, harga-harga tidak semahal di kota.

"Untung gorengannya masih ada," Anang berseru gembira ketika melihat camilan itu masih memenuhi piring.

"Baru mbok angkat tuh barusan, masih anget." Si Mbok tersenyum mafhum ketika melihat keduanya.

Dadang tanpa banyak bertanya langsung menyerbu makanan di depannya. Matanya mencari-cari goreng gedang. Dalam bayangannya, camilan itu pasti ada samar-samar warna oranyenya. Aneh-aneh wae, masa pepaya digoreng," gerutunya dalam hati.

"Mana goreng gedangnya, Mbok?" tanya Anang, suaranya tidak jelas, terhalang bakwan.

Dadang mendelik, malu mendengar pertanyaan Anang. Pasti si Mbok nyangka dia aneh, omelnya. Pemuda itu heran ketika melihat si Mbok berjalan ke arah kompor sambil membawa piring yang hampir kosong.

"Ada nih. Bentar, mbok ambilkan."

Si mbok kemudian menyodorkan piring yang sudah penuh terisi ke depan kedua pemuda itu. Hidung Dadang langsung dipenuhi wangi pisang goreng.

"Mana gedangnya, Mbok?" Penasaran Dadang menyodok-nyodok goreng pisang dengan garpu. Mulutnya sendiri penuh dengan gorengan itu.

"Lah, itu di mulutmu gedang," Anang menertawai Dadang. "Kamu ini daritadi enggak percaya gorengan gedangada tapi dimakan terus."

Dadang berhenti mengunyah. "Ini mah goreng pisang atuh."

Si mbok dan Anang bertatapan. Kemudian keduanya memandang Dadang, seolah pemuda itu alien yang kesasar di planet bumi.

"Sontoloyo, gedang itu emang pisang, Ujang!" Anang berseru kesal.

Dadang megap-megap. "Gedang itu pepaya kalo di sini. Aku enggak salah, 'kan?"

Si mbok geleng-geleng kepala. Dia yakin, akibat tekanan akhir bulan otak Dadang jadi tidak secerdas biasanya. Sedangkan Anang hanya bisa menarik napas prihatin.