Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

noviepurwantiAvatar border
TS
noviepurwanti
Pelakor Diseruduk Kambing
Pixabay

Matahari tertidur lelap. Gelap pekat mengelilingi rumah Sapto. Akibat tadi siang wanita itu lupa beli token listrik. Padahal suara tat tit tat tit sudah menjerit selama beberapa hari. Sapto muring-muring (marah-marah) kepada Marni. Asap ngebul dari dua lubang hidung yang besar.

"Marni! Gelap! Peteng ndedet kayak gini. Token itu mbok ya jangan lupa, Mar. Kamu itu istri ra nggenah," umpat Sapta.

Kegiatannya melihat vidio si 'Gendut Tersayang' dari ponsel jadi terjeda. Maklum dari kemarin hapenya boros batrai, harus selalu dekat colokan kalau mau mainin. Ia heran, kenapa batrai jadi unjuk rasa, padahal selama ini baik-baik saja.

Marni diam seribu bahasa. Lha wong dia sedang ngorok di di kamar. Sementara Sapto mojok di ruang tamu. Mendekatkan diri dengan colokan listrik.

"Apakah batrai ini kena azab ya? Ngewangi (membantu) aku bermesum ria sama Wulan. Ah, gendutku itu bikin ora tahan. Lemaknya itu lho, sekseeeh. Ora sabar menunggu hari esok, aku bakal ketemu sama Dik Wulan, janjian di bawah pohon gayam." Sapto bicara dalam hati sambil nutul-nutul ponsel. Bibirnya tertarik ke atas, ia terkikik sendiri.

"Marni, aku mau beli token dulu." Sapta beranjak sambil meraba-raba dalam gelap menuju kamar. Ia mengambil dompet dalam kantung celana yang dicantolkan di belakang pintu.

"Iya, Mas. Aku nitip, yo?" Marni rupanya terbangun, suaranya terdengar malas.

"Nitip opo?"

"Tumbaske tahu campur, lontong kikil sama mi goreng."

Sapta heran, "Wedan tenan! banyak amat makanmu? Biasanya ora doyan makan, diet-diet terus biar badan langsing selalu."

"Aku pingin gendut, Mas. Ben empuk kalau dicolek."

"Ojolah, jangan. Aku ora seneng kalau melihatmu gendut. Bagus begitu, langsing aduhai kayak gitar sepaneng."

"Wuss. Rayuan gombal rombeng. Bilang aja kalau pelit."

Bibir Marni mecucu maksimal. Heran dengan tingkah Sapta. Kalau dia suka body langsing kenapa selingkuh sama sapi glonggongan? Sungguh sebuah misteri yang haqiqi. Laki-laki memang susah dimengerti.

"Ya udah, Mas. Kalau gitu aku tidur duluan. Besok mau jalan-jalan sama Pur seharian."

"Iya, pokoknya ora usah macem-macem, ingat, kamu itu wanita yang sudah bersuami. Jaga kehormatan dan nama baik keluarga."

"Iya, iya. Sudah sana beli token dulu. Aku sudah sumuk, Mas. Mau nyalakan kipas lagi."

Marni mendengar langkah Sapta perlahan menjauh. Hatinya dag dig dug, besok ia akan menjalankan rencana bersama Pur : menangkap basah Sapto berselingkuh.

"Enak saja aku disuruh setia, dianya yang mendua. Awas kamu, Mas!"

***

Pagi-pagi setelah makan cumi asam manis, Marni berpamitan kepada suaminya.

"Mas, aku berangkat dulu. Tolong piring kotornya dicuci, rumahnya dipel dan cucian baju di belakang itu dijemur."

"Siap, Bos. Sana-sana segera berangkat."

Sapta mendorong tubuh istrinya menuju motor. Mereka dadah-dadah, cium jauh sebelum Marni melesat membelah jalan.

Melihat istrinya pergi, Sapta ber-yess! Yess! Dia girang sekali. Lelaki itu masuk ke dalam rumah sambil goyang pantat maju mundur. Ia langsung menuju colokan listrik. Mengintip ponsel. Beberapa pesan masuk.

"Mas Sapta, jangan lupa nanti jam sembilan ya aku tunggu di tempat biasanya."

"Muaaaah."

"Kangen jenggotmu, Mas."

"Nduselmu bikin aku ngilu."

Sapta bersiul-siul. Membayangkan body super duper bohay bum bum pret anget nempel-nempel manja. Ia segera mengetik balasan.

"Tentu saja, Dik Wulan. Tunggu ya, aku akan membuatmu melayang ke ujung langit."

Tak menunggu jawaban, Sapta segera berlari ke belakang rumah. Menjemur seember baju yang ditinggalkan istrinya. Setelah itu membersihkan rumah dan mandi keramas pakai shampo urang-aring. Ia mengambil baju nuansa mocca yang dibelikan Marni lebaran tahun lalu. Banyak yang ngelem (memuji) Sapta ganteng koyo canteng kala memakainya, makanya baju itu jadi pilihan buat menemui Wulan.

Ia membayangkan Wulan akan semakin tersepona dengan kegagahannya. Ia berencana akan menunjukkan otot bisepnya yang sekuat ungkal watu (bahasa Indonesianya apa ya ungkal itu, itu lho alat untuk menajamkan pisau. Ekekeke.), menojol keras tak kalah dengan tokoh kartun si Brutus itu. Bukan brutu lho apalagi bruntus, tapi Brutus.

Biar wangi, Sapta menyemprotkan minyak wangi yang diberikan Marni kemarin. Srot srot srot! Ketek kanan, ketek kiri, ketek bawah juga kena semprot. Wiw geli! Bagian dada dan punggung.

Luar biasa wangi. Minyak aroma melati langsung berlari terbawa angin hingga radius ratusan meter. Membuat beberapa petani yang sedang mencabut rumput liar di sawah merinding ngeri. Dikiranya ada neng kunti kesasar tak bisa pulang.

Setelah semua siap, Sapta berangkat naik ojek. Motor satu-satunya dibawa oleh Marni.

Tibalah ia di lapangan tempat janjian dengan wulan. Musim penghujan seperti ini, lapangan dipenuhi rumput menghijau gendut-gendut. Mengakibatkan tempat itu mendadak menjadi tempat kambing memamah biak. Puluhan wedus asyik mengembik. Sepertinya senang dengan rasa rumput segar itu.

Tujuan Sapta bukan di lapangannya, tetapi di gerumbulan semak sebelah utara lapangan. Pohon-pohon gayam berusia puluhan tahun berdiri menjulang. Saat berkencan dengan Wulan--tepatnya menunggu wanita itu muncul--, ia mencari biji gayam. Sapta suka keripik gayam buatan Marni. Begitu kriuk serta krispi.

Rupanya Wulan belum nampak bulatan bokongnya. Kesempatan itu digunakan Sapta mengambil biji gayam yang berserakan di bawah. Memasukkannya ke dalam keresek hitam yang sudah dibawa.

"Mas, Mas Sapta." Bisikan manja membuat senyum Sapta mengembang. Ia meletakkan kresek yang sudah penuh di batang terendah.

"Au, Dik Wulan sudah datang. Sayangku ciprutku."

Sapta hendak menyosor Wulan tapi jari Wulan menghentikannya.

"Sabar, tho, Mas. Sebentar aku mau mbeber sarung dulu." Wulan mengambil sarung bau apek dari dalam tasnya. Lalu digelar di bawah pohon gayam. "Biar ora dirubung semut, Mas. Hihi."

Wulan berbaring miring, bodynya yang aduh lebar banget munduk seumpama gunung berlemak. Sapta melepas sandal, dia ndusel-ndusel di area ketek Wulan.

Tak jauh dari pohon, tampak dua orang perempuan yang berwajah tegang. Mereka melotot menatap perbuatan mesum dua sejoli itu. Marni geram bukan kepalang, ia ingin sekali mendamprat pelakor glonggongan yang sedang merem melek kegelian. Pur mencengkeram tangan Marni.

"Sabar, tho. Sebaiknya kamu rekam dulu perbuatan mereka sebagai bukti." Pur memberi saran.

"Aku ora sanggup, Pur." Suara Marni bergetar.

Pur mengambil ponsel dan merekam kasak-kusuk di bawah pohon gayam.

"Mar, aku punya ide, buat mereka kapok, yuk."

Marni hanya manggut-manggut lemas.

"Kamu tunggu di sini dan rekam terus, ya."

"Iya, Pur."

Pur tersenyum tengil. Ia memberikan ponsel ke Marni dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Menuju gerombolan kambing gibras yang sedang merumput. Pur yang ahli menggembala kambing--dia punya peternakan kambing langganan satenya Marni-- menggiring lima ekor kambing paling gemuk mendekati pohon gayam tempat mesum terjadi.

Manusia yang berselimut napsu tak akan sadar bahaya mengancam. Wulan dan Sapta asyik berciuman, ambung-ambungan sambil duduk, mereka tak sadar ada komplotan kambing lemu mendekat.

Mbeeek.

Hembikkk.

Eeeeeek!

Marni merekam adegan itu dengan hati berdebar. Ia melihat Pur membawa colokan dari besi mengkilat. Dengan sadis, Pur mencolok pantat kambing satu per satu.

Kambing-kambing itu kaget, mereka segera berlari ke depan tepat di bawah pohon gayam, tempat Sapta dan Wulan sedang bertukar air liur.

HEMBHEEK!!!

Embikan kambing menggelegar. Binatang-binatang itu menyeruduk pasangan terlarang. Membuat mereka tak bisa menghindar dari keterjengkangan.

Sapta kaget melihat kambing ngamuk. Ia berdiri dan segera berlari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Tak menghiraukan Wulan yang masih asyik dalam keterjengkangan nyata. Wanita super duper bohay kuadrat kibik itu kayal-kayal berusaha berdiri tetapi kepungan kambing ngamuk membuat ototnya lunglai.

"Tolooong, huwaaa!"

EMBHEEEK!

Suaranya kalah dengan ebikan wedus gibas.

Puas menginjak-injak Wulan, kambing-kambing itu akhirnya tenang, mereka kembali ke lapangan tempat merumput.

Marni keluar dari tempat persembunyian. Ia melihat Wulan dengan sadis. Berkacak pinggang di depan wanita yang hampir saja menghancurkan rumah tangganya.

"Marni, tolong aku. Huhuhu." Wulan memelas. Tangannya ndaplang minta tolong.

"Enak saja." Pur menimpali. "Itu hukuman buat pelakor koyok kowe."

"Awas ya berani mendekati mas Sapta lagi. Bukan wedus yang akan menginjak-injak kalian, tapi kebo-kebonya bapakku! Camkan itu. Aku juga sudah merekam perbuatanmu. Kalau masih selingkuh dengan suamiku, akan aku viralkan!" Marni berkata lantang sampai liurnya bermuncratan selayaknya hujan lebat.

Marni berbalik badan, meninggalkan Wulan yang masih menangis. Sementara di semak-semak, Sapta jongkok, mengintip kejadian itu. Ia tak mengira Marni tega melakukan hal kejam. Tengkuknya merinding, membayangkan dirinya diinjak-injak kebo hitam mertuanya.

"Ampun, Mar. Aku tobat."

Setitik air bening menetes melalui ceruk mata Sapta.

Ada jawaban syahdu di sebelah Sapta, "Mbhiiik."

Sapta menoleh, tampak wedus gendut menjulurkan lidahnya. Menjilat bibir Sapta. Laki-laki itu langsung pingsan.

End

jiyanqAvatar border
NoMaLzAvatar border
Kurohige410Avatar border
Kurohige410 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
4.2K
87
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.